BAB 3.1 - Pertemuan Kami

58 2 7
                                    

Aku tidak tau harus bagaimana memulai tulisan ini. Namaku Alyssa Flannery Hee, namaku indah sekali, 'kan? Untuk ukuran orang perancis, memang indah.

Begini, beberapa bulan terakhir ini, aku berkenalan dengan seorang pemuda Indonesia di forum diskusi keagamaan, namanya 'Izzuddin', aku menulis 'Ezzdden'. Dia pemuda yang mengagumkan, wawasannya tentang agama Islam maupun Kristen sangat sangat luas. Aku seringkali memujinya, "Kamu itu luar biasa, Ez."

"Tidak, aku biasa saja, kalau kamu mengenalku lebih dalam, kamu akan terkejut."

"Iya kah?" tanyaku penasaran. Lalu dia bercerita panjang lebar tentang dirinya, terutama ketika di sekolah. Katanya, "Aku ini tergolong siswa yang pemalas, aku tertidur hampir di setiap pertemuan, datang terlambat sudah jadi kebiasaanku."

"Kenapa kamu seperti itu?" tanyaku.

"Aku tidak suka dengan suasana sekolah, tidak menantang. Aku lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku yang kusukai, meskipun pelajaran di sekolah tertinggal," begitu katanya. Dia sangat berbeda denganku, Aku selalu menuruti perkataan ayahku, "Kamu harus juara kelas!" serunya. Tetapi, pemuda seperti ini terlihat menarik, dia menjadi dirinya sendiri, dia mengikuti kata hatinya, walaupun teman-temannya sering meremehkan.

Di suatu malam yang cerah, ketika bintang berkedip menyaksikan bumi, ketika Paris sudah mulai tenang dari hiruk-pikuk, Ezzedden bercerita kepadaku tentang Nabi Muhammad, setiap kata yang diucapkannya aku perhatikan dengan seksama, cukup logis penjelasannya. Sebagai gadis dengan pendidikan Eropa, tentu saja aku harus memeriksa argumen-argumen dia. Setelah lebih dari sepekan menelaah argumennya, aku mendapat satu kesimpulan, yakni nabinya itu benar-benar luar biasa. Dia lahir di tengah bangsa Arab yang tertinggal dalam ilmu pengetahuan, dia tumbuh di sana, besar di sana. Melalui ajaran yang dia bawa, bangsa Arab menjadi maju, bahkan menjadi pusat keilmuan pada zamannya. Kata Ezzedden, ayat al-Quran yang pertama kali diturunkan berbunyi, "Bacalah!", "Bacalah dengan nama Tuhamu yang menciptakan," katanya. Sebuah peradaban yang besar dimulai dari membaca.

"Kenapa dalam ayat itu kita disuruh 'membaca dengan nama Tuhan'?" tanyaku.

"Agar bacaanmu membuatmu semakin dekat dengan Tuhan, agar Tuhan ikut membimbingmu."

"Dalam agama Islam, jika kami melakukan sesuatu karena Tuhan, maka itu dinilai sebagai ibadah," begitu katanya. Makin hari aku makin mengagumi agama Muhammad ini. Mungkin saja Izzuddin kaget ketika aku mengatakan kepadanya, "Aku mulai tertarik dengan Islam."

Bukan dengan Islam saja, aku pun mulai tertarik dengan pemuda yang satu ini, dia sangat cerdas, walaupun dia mengaku sebagai siswa yang bermasalah di sekolah. Sebenarnya kami tidak melulu berbicara mengenai agama, seperti anak muda umumnya, kami juga membahas tentang cinta, aku mendapat banyak pengetahuan baru darinya tentang cinta, yang belum pernah aku dapatkan selama ini.

"Kamu tau, apa beda antara 'cinta' dan 'mencintai'?" tanyanya,

"Menurutku sama saja."

"Bukan, 'cinta' itu kebetulan, mencintai itu pilihan."

"Aku tidak mengerti."

"Cinta itu terjadi karena kebetulan, ketika kamu jalan-jalan di taman kota, kamu 'kebetulan' melihat laki-laki yang menarik, secara tidak sadar kamu akan menyukainya, mungkin ingin berpacaran dengannya. Ini dinamakan dengan 'cinta pada pandangan pertama', ada juga yang bilang, 'jatuh cinta', intinya sama saja, akal tidak tidak berfungsi dengan baik ketika itu."

"Kalau mencintai?"

"Mencintai itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan alasan yang sangat kuat."

"Ketika memilih pasangan, kita mustinya tidak hanya 'cinta' kepadanya, tapi juga 'mencintainya' dengan segala kesadaran dan pertimbangan akal sehat kita."

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang