Bab 6.1 - Ibu Kita

21 1 0
                                    

Sekarang masih pagi, tepatnya pukul 09.23 A.M., aku tidak langsung mengajak Alyssa ke Citamiang, aku mengajaknya ke Taman Riung Gunung dulu, untuk menyaksikan keindahan panorama kebun teh yang terbentang seperti tikar, naik-turun. Di jalan menuju Riung Gunung ini, ada hal yang cukup unik, yakni ada tangga di tengah jalan yang melintang ke arah bukit di kirinya. Menurut cerita, tangga itu merupakan akses menuju vila persinggahan milik Bung Karno dulunya. Benar atau tidaknya, aku tidak tahu pasti. Tapi menurut cerita memang begitu.

Sesampainya di Riung Gunung, Alyssa langsung melonjak-lonjak girang, wajah blasteran Eropa dan China ini terlihat samakin menawan ketika sumringah. Wajah simetrisnya begitu menawan, apalagi dibalut dengan pashmina bewarna navy, uwu cantik.

Kami melakukan tea-walk, yakni berjalan-jalan di kebun teh. Kami berjalan bersisian, dia berada di kiriku, tangan kanannya berpagutan erat dengan tangan kiriku, kami terus berjalan sambil sesekali tangan kami yang berpagutan kami ayunkan, terkadang kami berlari-lari kecil, berkejar-kejaran lalu saling gelitik. Jika lelah, kami bersandar di sebatang pohon di tepi jalan kecil itu, aku bersandar di batangnya, sedangkan dia bersandar di dadaku, kepalanya kurangkul agar tidak terlalu ke bawah, wajah kami saling pandang, ah indahnya.

"Kamu pilih mana, melihat wajahku sesaat ataukah melihat pemandangan seperti ini selamanya?" godanya sambil tersenyum.

"Aku memilih melihat wajahmu selamanya." Kataku sambil membelai-belai kepalanya yang terbalut pashmina.

"Kamu curang, pilihannya hanya dua, melihat wajahku sesaat atau melihat pemandangan ini selamanya," dia mencubit lunak daguku.

Aku tersenyum, "Kamu juga curang, Sayang." Kataku sambil mencubit kecil puncak hidungnya.

"Pertanyaan kamu tidak logis, kamu membandingkan dua hal yang tidak setara, secara logika, itu salah."

"Kesalahan pertama. Kamu menyuruh aku memilih antara melihatmu sesaat atau melihat keindahan alam ini selamanya, bagaimana mungkin sesuatu yang sesaat bisa sebanding dengan sesuatu yang abadi?"

"Kamu terlalu indah untuk dilihat sesaat, Sayang."

"Aku butuh selamanya untuk melihat keindahanmu." Wajahnya merah merona mendengarkan itu. "Ah kamuuu ..." katanya.

"Kesalahan ke dua, kamu membuat perbandingan antara dirimu dengan keindahan alam. Bagiku itu tidak sebanding."

"Kenapa?"

"Keindahan alam ini belum ada apa-apanya dibandingkan kamu. Tidak layak dibandingkan. Dengan bidadari pun kamu masih belum bisa dibandingkan." Kataku, seketika dia langsung menciumku. "Ini hukumannya kalau kamu membuat aku nge-fly."

"Lagi, dong!" kataku sambil memonyongkan bibirku.

"Iii kamu," dia menyubit-nyubit kedua pipiku sambil tertawa. Dia cium sekali lagi bibirku. Sebagai gantinya, kukecup mesra keningnya. Aku pernah membaca, jikalau kecupan di kening adalah lambang ketulusan.

Kami melanjutkan tea-walk kami, Alyssa tidak berhenti berdecak kagum dengan keindahannya. Di suatu persimpangan, dia memintaku untuk berhenti, lalu dia berdiri tepat di hadapanku, dia menengadah sedikit memandangku, karena aku sedikit lebih tinggi darinya.

Dia terus memandangiku sambil tersenyum. Satu detik ... dua ... sampai sepuluh, lama kelamaan aku tersipu malu. Lalu kami berdua terkekeh.

"Kenapa kamu memandangiku begitu?"

"Aku sudah bosan melihat kebun teh ini, jadi kualihkan dulu pandanganku ke wajahmu. Melihat wajahmu membuat aku lupa dengan segala keindahan yang lain." Katanya sambil menggenggam kedua tanganku.

Pengantin PeradabanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang