Kulihat jam dinding. Pukul satu dini hari. Sudah lima jam berlalu dari peristiwa memalukan yang sengaja aku buat. Namun, Mas Farhan, suamiku, lebih memilihnya, mengejarnya yang memang sudah sukses kubuat malu.
Kuraba area kasur di samping yang kosong. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini benar-benar tak berpenghuni. Biasanya, ada raga yang menempati. Meskipun aku tahu, pikiran dan hatinya bukan di sini. Ya, aku sangat tahu itu.
Aku Niken. Wanita yang sudah memiliki sepasang putra dan putri. Si sulung Naura yang kini sudah berusia sembilan belas tahun. Dan si bungsu Dira yang usianya sebelas tahun. Mas Farhan adalah suamiku. Pria yang dua puluh tahun lalu telah menikahiku.
Kami adalah teman satu kantor. Dua puluh satu tahun lalu, kami bekerja di tempat yang sama. Dia sebagai karyawan di salah satu divisi, sedangkan aku hanya sebagai office girl. Asal mula kami kenal, karena aku sering dimintai tolong membeli makan dan minum. Dari situ kami dekat. Mas Farhan menjadi sering mengantar pulang menggunakan sepeda motornya. Kami pun mulai menjalin hubungan. Enam bulan berpacaran, dia melamarku. Kemudian tidak lama kami menikah.
Sebagai pengantin baru, tentu saja kami bahagia. Meskipun satu minggu setelah menikah, kami putuskan untuk mengekos di kostan sempit yang hanya berukuran 4x4 meter dengan kamar mandi yang berada di dalam ruangan, segala aktivitas kami lakukan di ruangan itu. Keluarga kami bukan tergolong keluarga kaya. Sebenarnya bisa saja mengontrak rumah. Tapi, untuk apa? Sayang uangnya bisa ditabung. Toh, kami hanya berdua. Dan juga, kami hanya butuh tempat untuk beristirahat setelah seharian lelah di kantor. Hanya kasur empuk yang kami butuhkan. Meskipun pada kenyataannya, kasur busa yang sudah kempis yang kami dapat. Itu pun langsung tergeletak di lantai dan hanya beralas tikar.
"Sayang ... udah pagi. Waktunya mandi, terus berangkat ke kantor." Suara bisikan Mas Farhan membuai telinga. Tak lama, kecupan mendarat di pipi dan juga bibirku.
Aku membuka mata perlahan. Seperti inilah kami setiap pagi. Dia yang selalu membangunkanku lebih dulu. Bahkan, air hangat pun sudah dia siapkan di bak mandi. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada suami sepertinya?
Ku kaitkan jemari dilehernya. Mendorong kepalanya agar semakin mendekat ke wajahku. Lalu, kuberi kecupan di kening pria yang paling kucintai itu.
"Terima kasih sudah memanjakanku," ucapku tulus.
"Sama-sama. Mandi bareng?"
Kulirik jam dinding berbentuk lingkaran berwarna putih dengan angka dan jarum yang berwarna hitam.
"Asal hanya mandi. Kalau plus yang lain, kita akan terlambat." Kukerlingkan mata bermaksud menggodanya.
"Kita lihat saja."
Satu lagi yang semakin membuatku tidak bisa berkata-kata. Setiap hari, setiap akan mandi, Mas Farhan selalu menggendongku ke kamar mandi. Dan di dalam ruangan sempit itu, dia akan menggosok tubuhku sambil sesekali memijit. Apalagi kalau mandi sore. Dia sangat memahami istrinya lelah. Aku juga tahu dia merasakan yang sama. Tapi dia selalu menolak kalau aku akan melakukan hal itu. Katanya, baginya sudah cukup saat melihat senyum bahagiaku, rasa lelahnya sirna saat itu juga.
Tiga bulan menikah, aku positif hamil. Kami sangat bahagia. Terutama suamiku tercinta. Mau tidak mau, aku harus resign. Itu syarat yang Mas Farhan ajukan sebelum kami menikah. Aku boleh bekerja hanya pada saat belum hamil. Setelah hamil, maka aku harus berbesar hati untuk berhenti bekerja.
Kehamilan pertama tidak mendapat kendala apa pun. Mas Farhan juga menjadi suami yang sangat siaga. Sampai akhirnya, Naura kecil lahir.
Sepuluh tahun menikah, Mas Farhan memutuskan untuk berhenti bekerja. Kami putuskan untuk membuka CV yang bergerak di bidang desain rumah dan interior. Hingga pada akhirnya, Tuhan berpihak pada keluarga kami. Lima tahun CV kami berdiri, kami sudah bisa dibilang sukses. Mas Farhan juga sudah memiliki lima karyawan tetap.
Rumah dan mobil juga sudah kami miliki. Keluarga kecil kami pun semakin harmonis. Naura dan Dira juga tidak pernah bertengkar.
Mas Farhan selalu pulang sore. Aku yang di rumah sendiri, karena anak-anak juga sekolah, akhirnya saat itu memutuskan untuk bertemu dengan kawan lama yang bertemu kembali di akun media sosial facebook. Dia ternyata juga tinggal di kota yang sama denganku. Nadia namanya.
"Niken ...."
"Nadia ...."
Begitu saat pertama kali kami bertatap muka.
"Wah ... sukses kamu sekarang, Ken. Makin subur," ucap Nadia. Aku tahu, dia tidak sedang mengejek. Karena yang aku tahu, dia orangnya memang terlalu jujur.
"Hooh ... efek di rumah mulu, nih. Beda sama kamu, makin tua malah makin cantik. Makin kinclong." Aku memujinya. Apa yang aku ucapkan adalah suatu kebenaran. Usia kami sama, tapi kami seperti beda sepuluh tahun. Dan tentu saja, akulah yang terlihat lebih tua.
"Haha ... kalo aku efek kesepian. Nggak punya anak, nggak punya suami, ya paling waktu aku habisin buat perawatan."
"Kamu belum menikah?" Aku benar-benar tidak tahu.
"Udah, tapi nggak bertahan lama. Setahun menikah kami cerai. Gara-gara ibunya ngira aku mandul. Padahal, nikah juga baru seumur jagung."
Aku melongo saat itu. Ternyata, hal semacam itu tidak hanya ada di sinetron.
"Dan kamu putuskan untuk nggak nikah lagi?"
"Hanya belum nemu yang cocok."
Pertemuan pertama kami berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Nadia pun kukenalkan pada Mas Farhan. Ternyata mereka cocok sebagai rekan bisnis. Nadia yang humble mampu menjadi marketing CV kami. Tidak jarang, kami bertiga pergi bersama. Sesekali juga kami mengajak anak-anak. Yang tidak kusadari saat itu adalah, aku telah dengan sengaja memasukkan duri dalam rumah tanggaku yang harmonis. Karena pada akhirnya, badai itu datang.
-Luka Hati-
📝14.01.20
Republish, 12.08.20
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati (Lost)-Poligami Series 5
RomanceCerita ini udah tersedia di Google Play Book. Yang kutahu, cinta itu tidak melukai. Yang kutahu, cinta itu tidak mengkhianati. Yang kutahu, cinta itu selalu mengasihi. Saat aku tidak lagi menjadi alasanmu untuk membuka mata setiap pagi, untuk apa la...