Cerita ini sudah episode 18 di YouTube. Yang penasaran, bisa langsung cus ke sana. Bantu subscribe, ya... 🤭
Nama akunnya Rini Ka
https://youtube.com/@penjagahati1915?si=xW9hfEfjkdFWLfmg
"Mas, kenalkan ... ini teman SMA-ku. Namanya Nadia," ucap Niken memperkenalkan Nadia pada Farhan yang baru saja pulang.
Siang ini, kedua teman SMA itu memang janjian bertemu. Karena Nadia tidak ada rencana akhir pekan ke mana pun, akhirnya Niken mengajaknya menginap.
"Farhan."
"Nadia."
Kedua manusia lawan jenis itu saling berjabat tangan. Setelah itu Farhan pamit ke dalam.
"Itu suami kamu?" tanya Nadia.
"Iya ...."
"Beruntungnya kamu, Ken ...."
Niken tersenyum. Tentu saja ia merasa bangga pada suaminya. Memang, siapa saja yang melihat Farhan pasti akan muncul rasa kekaguman. Apalagi sekarang di mana pria itu sudah menjadi bos.
"Ya, aku memang sangat beruntung. Selain pekerja keras, dia juga penyayang keluarga."
"Mertua kamu?"
"Beliau juga sangat baik. Sangat menyayangi anak-anak."
"Senangnya ...."
***
Siang itu, satu bulan kemudian, Nadia kembali datang ke rumah Niken. Kali ini ia datang pagi karena katanya, wanita berusia 39 tahun itu sudah tidak lagi bekerja. Jenuh, itu yang menjadi alasannya untuk resign.
"Kerja sama Mas Farhan aja, selama ini yang megang pembukuan Mas Farhan sendiri."
"Memangnya, Mas Farhan membutuhkannya?"
"Tentu saja butuh. Tapi, ya itu ... kami nggak bisa bayar kamu gede."
"Ngomongin uang mah berapa aja kurang."
"Kalau kamu punya kenalan yang butuh jasa interior, bisa juga kamu tawarin. Ada bonusnya juga kalau itu."
"Oke ... gampang."
***
Nadia akhirnya bekerja di kantor Farhan. Kantornya memang tidak besar. Hanya berisi ruangan untuk Farhan, ruang tamu, ruang meeting, dapur dan toilet, juga ruangan yang berisi meja untuk lima karyawan Farhan dan satu meja untuk Nadia. Tapi itu sudah lebih dari cukup. Karena mereka lebih sering bekerja di outdoor.
Hujan mengguyur. Siang itu hanya ada Farhan dan Nadia yang berada di kantor.
"Udah sore, jam empat. Hujannya nggak reda-reda," ucap Farhan.
"Kalau Mas mau pulang, pulang aja dulu, Mas." Nadia memang memanggil Farhan dengan panggilan 'Mas'.
"Kamu berani sendirian di sini?"
Nadia ke kantor menggunakan sepeda motor. Kebetulan tidak membawa jas hujan.
"Berani, Mas."
Farhan berpikir sejenak. "Ayo, aku antar kamu pulang. Sepeda motor kamu, kamu tinggal saja di sini. Besok kamu berangkat menggunakan taksi."
"Apa tidak merepotkan?"
"Tidak ... kalau aku tinggal kamu di sini, aku yang nggak tenang. Kalau aku nggak pulang-pulang, Niken pasti cemas."
Ucapan Farhan membuat Nadia makin kagum pada sosok suami sahabatnya itu.
"Baiklah kalau begitu."
***
Berawal dari Farhan yang mengantar Nadia pulang, hubungan mereka semakin dekat. Sudah tidak ada lagi kecanggungan. Tidak jarang, mereka makan siang bersama. Saat Farhan meninjau lokasi pun, Nadia sering ikut serta. Ada rasa bangga dalam diri Farhan saat dia bersama wanita itu. Nadia yang good looking, membuat pria itu ingin menunjukkan pada kliennya bahwa dia memiliki sekretaris yang cukup menarik.
Apalagi, Nadia juga turut serta menambah pemasukan dengan cara mempromosikan CV Farhan pada kenalan-kenalannya. Orang-orang itu menjadi pelanggan dari jasa yang CV Farhan berikan.
"Kenapa kamu nggak menikah lagi?" tanya Farhan saat sedang makan siang berdua bersama Nadia.
"Banyak pertimbangan, Mas. Jujur saja, aku trauma berhubungan sama laki-laki."
"Why? Kenapa?"
"Dulu, suamiku adalah pria yang sudah menjadi pacarku selama lima tahun. Ternyata, pacaran lama tidak menjamin kalau pernikahan akan langgeng. Pernikahanku hanya bertahan satu tahun. Aku yang tidak kunjung hamil, divonis mertua kalau aku itu mandul. Padahal, saat periksa ke dokter, tidak ada masalah apa pun. Dan suamiku saat itu hanya bisa diam saja."
"Ikut sedih mendengarnya. Cobalah kamu mulai membuka hati kamu untuk pria lain."
"Aku akan buka hati aku, kalau nanti aku menemukan pria yang seperti Mas Farhan."
Farhan membisu seketika. Sementara Nadia mengamati perubahan mimik wajah pria di depannya.
"Kenapa tegang begitu, Mas? Kan tentunya masih banyak laki-laki yang memiliki sifat seperti Mas."
"Hah? Enggak ... aku nggak tegang, kok."
Nadia tersenyum. "Iya ... iya ... percaya." Ada nada mengejek dalam suara wanita itu.
***
"Mas ... kamu ganti parfum?" Niken mengendus tubuh suaminya saat dirasa parfum yang baru saja disemprot tidak seperti yang biasanya.
"Hah? Oh ... ini, aku nyoba parfum baru. Ada temen yang kasih rekomendasi."
"Nyengat banget, sih, baunya ... ini nih, nanti, kamunya udah di mana, baunya masih ketinggalan. Siapa, sih, yang ngasih rekomendasi?"
"Hah? Oh ... itu, temen. Tadi kebetulan ada temen lama yang datang ke kantor. Lupa tadi lagi ngobrolin apa, tahu-tahu merembet ke parfum." Entah mengapa, bibir Farhan kelu untuk mengatakan bahwa Nadia-lah yang memberi saran. Memang semenjak Nadia mengatakan ingin membuka hati jika bertemu pria yang seperti Farhan, naluri pria itu menuntunnya untuk selalu menarik di mata Nadia. Meskipun tanpa ayah dari Naura dan Dira itu sadari.
"Mas kan udah tua. Anaknya aja udah gadis, jangan tebar pesona, deh!" Tentu saja Niken tidak suka dengan apa yang Farhan lakukan. Hampir dua puluh tahun menikah, pria itu tidak pernah macam-macam. Parfum pun tidak pernah berubah. Sejak dulu, saat mereka baru kenal, Farhan tidak pernah menggunakan parfum dengan bau yang menyengat.
"Ah ... kamu ini. Masa cuma gara-gara parfum jadi ribut."
"Bukan masalah parfumnya, Mas ... tapi perubahan sikap kamu!"
"Apanya yang berubah? Ini cuma masalah parfum, Niken."
"Iya ... hanya karena teman kamu, kamu merubah kesukaan kamu."
"Ck. Sudah siang. Kamu mau nemenin aku sarapan apa nggak, nih?"
Niken memanyunkan bibir. Farhan memandangi, tersenyum, lalu menarik sang istri ke dalam pelukan.
"Dengerin aku, aku nggak pernah dan nggak akan pernah berubah. Rasa cinta aku ke kamu, masih sama seperti yang dulu. Bahkan, makin bertambah setiap harinya. Jadi ... berhenti meributkan hal yang sebenarnya tidak penting."
"Maafkan aku ... aku nggak bermaksud marah-marah sama Mas. Nggak tahu kenapa, kesel aja. Apalagi Mas, kan, kerjanya di outdoor, pasti banyak ketemu cewek-cewek cantik."
"Memangnya, saat dulu aku memutuskan untuk menjadikan kamu pacar aku, karena kecantikan kamu?"
"Berarti ... aku nggak cantik?"
"Siapa yang bilang kamu nggak cantik? Maksud omonganku, aku nggak memandang kecantikan. Buatku, kamu wanita terbaik, ibu dan istri terhebat."
Niken tersenyum dalam pelukan suaminya. 'Dasar kamu! Dipuji begitu saja, senangnya minta ampun,' batinnya.
Tbc.
15.01.20
Repost, 20.01.24
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati (Lost)-Poligami Series 5
RomanceCerita ini udah tersedia di Google Play Book. Yang kutahu, cinta itu tidak melukai. Yang kutahu, cinta itu tidak mengkhianati. Yang kutahu, cinta itu selalu mengasihi. Saat aku tidak lagi menjadi alasanmu untuk membuka mata setiap pagi, untuk apa la...