Ig : @Anantapio26_
Nanta menyumpal kedua telinganya dengan sepasang earphone. Lagu yang kini menjadi pewakil rasa di sanubarinya terus ia putar, kalau perlu berulang-ulang sampai subuh nanti. Tubuhnya bersandar pada kursi panjang di depan kamar indekosnya. Angin malam berhembus menerpa wajahnya. Dia terpejam.
Senyumanmu yang indah bagaikan candu
Ingin trus kulihat walau dari jauh
Sekarang aku pun sadari semua hanya mimpiku
Yang berkhayal akan bisa bersamamuLagu itu terus diputar sampai akhirnya terhenti karena ada satu panggilan masuk. Lantas tersenyum saat nama itu muncul di layar ponselnya. Nanta segera menggeser ikon hijau ke kanan.
"Kenapa? Kangen?" sambarnya begitu percaya diri disusul dengan tawa kecil.
"Apa sih, Nan?" gerutu Laisa di seberang.
Tawa Nanta berhenti lalu tergantikan oleh rasa perhatian yang siap dia curahkan untuk Laisa. "Belum tidur?" tanyanya mengingat waktu sudah menunjukan tengah malam.
"Nggak bisa tidur," jawab Laisa singkat dan datar.
"Kangen, ya? Sampe nggak bisa tidur gitu," goda Nanta.
"Apaan sih, Nanta!" omel Laisa lagi.
Nanta terdiam selama beberapa detik. Berusaha memahami apa yang Laisa inginkan.
"Kenapa, sih? Sensi banget. Mau dateng bulan?" tanyanya memahami bagaimana Laisa saat akan datang bulan.
Lalu terdengar decakan Laisa. "Tau, ah!" desah gadisnya terdengar tak bergairah.
"Lagian bukannya tidur malah nelepon." Kini Nanta yang mulai mengomel.
"Lagian, kamu juga kenapa nggak tidur?" Akhirnya Laisa mengungkapkan pertanyaan yang dipendamnya.
Nanta menghela sejenak. Tarikan napasnya sampai terdengar ke telinga Laisa. "Baru pulang," jawabnya.
"Oh." Laisa terdiam. Seperti tengah menimbang satu pertanyaan yang akan ia lontarkan pada Nanta.
"Papa udah kirim kamu uang bulan ini?" tanyanya kemudian dengan hati-hati.
Memang, Papa Laisa kini ikut membiayai kebutuhan kuliah Nanta yang sangat diharapkan agar dapat menjadi menantunya, meski ada perbedaan keyakinan yang sebenarnya melarang keras untuknya bersatu.
Pandangan Papa Laisa terhadap Nanta pun selalu menganggap bahwa dia adalah pemuda yang baik. Apalagi saat Nanta dapat membuktikan dengan nilai IPK yang tinggi di tengah kesibukannya yang padat, menandakan bahwa Nanta adalah sosok yang bertanggung jawab.
"Nggak tau. Belum dicek." Jawaban Nanta yang satu ini sudah Laisa hafal. Lelakinya terlalu mandiri. Bahkan pernah suatu hari Nanta terpergok sedang mentransfer uangnya untuk kebutuhan kedua orang tuanya di kampung.
"Itu, sih, namanya kamu balikin uang Bapak," celetuk Laisa kala itu dan Nanta langsung beralibi, "Uang Bapak di rekening aku kelebihan."
"Emang nggak pernah dicek," sela Laisa dan tahu kalau Nanta memiliki dua rekening. Satu, rekening dari orang tuanya dan satunya lagi, rekening yang Papa Laisa buatkan untuknya.
"Belum aja, La," sangkal Nanta.
Laisa menghela. "Ya udah, deh. Gimana kamu aja," ucapnya menyerah.
"Gitu aja ngambek," goda Nanta untuk yang kedua kalinya.
"Hm."
Kemudian Nanta menguap dengan sengaja. Membuat Laisa berdecak sebal. "Udah, ya. Ngantuk, nih," ujarnya disusul dengan rutukan gadisnya yang terdengar tidak terima jika sambungan teleponnya harus berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Tentang Ananta'S (END)
Lãng mạn(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Versi revisi on Innovel/Dreame) "Tentang semua yang tak perlu kamu ketahui. Namun, hanya perlu kamu pahami." Sebenarnya ini kisah tentang seorang Ananta Sadewa yang aku kemas dalam bentuk orang ketiga, bahk...