KTA'S 35 - Ananta vs Jonathan

460 58 52
                                    

Ig : @Anantapio26_

Perjalanan singkat itu pun berakhir di pelataran luas yang begitu asri. Laisa turun dari mobil tanpa mengatakan sepatah kata apa pun untuk Nanta. Membuat laki-laki itu sadar dengan ucapannya yang berakibat fatal bagi relung gadisnya yang kini sedang rapuh.

"Biar aku bantu, La," ucap Nanta saat melihat Laisa sedang kesulitan untuk menurunkan kopernya dari bagasi mobil. Namun, gadis itu malah mendorongnya untuk menjauh.

"Nggak perlu," balas Laisa dingin.

Nanta mendesis kesal pada dirinya sendiri. "Seharusnya kita nggak serepot ini memperjuangkan semuanya dari awal. Kalo ternyata menjalani suatu hubungan seperti air mengalir pun udah lebih dari cukup." Tatapannya tidak lepas dari Laisa yang masih kesulitan menurunkan kopernya dari bagasi.

Seketika Laisa terdiam. Menatap Nanta dengan sorot matanya yang intens. Rasanya ingin sekali ia melempar kopernya pada Nanta. Namun, apa lah daya, kopernya terlalu berat untuk ia angkat sendirian.

"Apa selama ini aku berjuang itu salah?" tanya Laisa terdengar parau.

Nanta menarik napasnya lantas berjalan mendekat sekaligus membantu gadisnya menurunkan koper dari mobil. "Aku yang salah. Aku terlalu maksain semuanya. Aku terlalu maksa kamu buat selalu ada. Harusnya aku nggak sepemaksa itu," ujarnya.

Laisa bergeming. Jonathan pun hanya bisa diam saat pelataran tanah yang dipijaknya seakan berubah beku.

"Sekarang, tugas kita adalah menerima semua yang sudah Tuhan rencanakan," lanjut Nanta mengusap pipi Laisa dengan halus. "Dan mulai belajar seperti air mengalir," tambahnya lalu merangkul Laisa. Membawanya ke dalam pelukan.

"Berpisah itu sebagian dari resiko sebuah hubungan. Sedangkan menikah, itu sebagian dari hadiah atas sulitnya berjuang. Pada dasarnya, semua yang kita lakuin itu memiliki konsekuensinya," ucap Nanta menguatkan Laisa yang tengah rapuh.

"Aku harap kita siap buat ngelewatin semuanya."

Dikecupnya puncak kepala Laisa dengan penuh rasa sayang.

"Untuk kamu. Yang masih berjuang sampai di titik sejauh ini. Jangan menyerah, ya." Ucapannya diangguki Laisa. Kini gadis itu sudah berjanji, untuk tidak lagi menangis dan ia harus kuat.

"Kamu nggak sendiri," bisik Nanta.

Laisa merasakan tubuhnya menghangat. Rupanya Nanta memberikan seluruh ruang sanubari padanya.

Decakan bibir Jonathan lantas membuat Nanta mengendurkan pelukannya. Lalu kembali berbisik pada Laisa, "Aku nggak inget kalo ada jomblo di sini."

Gadisnya tertawa kecil.

"Jangan mulai, Nan. Aku nggak akan tanggung jawab kalo kamu berantem sama Joe," peringat Laisa yang tahu sekeras apa sifat Jonathan.

Nanta terkekeh lalu melirik pada Jonathan dan menepuk bahunya. Dengan sebal Jonathan hanya berdecak sebagai responnya.

"Seharusnya lo nggak pernah ketemu sama Laisa," tandasnya kesal kemudian berlalu dengan tangan yang meraih jemari Laisa dan meninggalkan Nanta di tempatnya.

Sambil geleng-geleng kepala Nanta tertawa melihat kelakuan Jonathan. Tak lama kemudian langkahnya menyusul Laisa yang tengah diseret oleh sepupunya dengan paksa. Selama gadisnya tidak tergores sedikitpun, Nanta masih bisa santuy.

***

Pintu itu terbuka. Menampakkan seluruh ruang yang terdekorasi sedemikian rupa. Ada lukisan berukuran besar yang terpampang jelas di tengah ruang. Kemudian televisi dan ruang santai yang tidak berjauhan dengan dapur. Ruangan di sini cukup luas. Terutama pada kamar tidur dengan kasur empuk yang begitu nyaman. Sungguh, Papa Laisa tidak main-main untuk memberikan ruang teduh bagi putri tunggalnya.

Bersama langkahnya, Laisa berjalan menuju balkon kamar yang siap menyuguhkan pemandangan indah matahari sore dari ketinggian lantai dua puluh. Nanta menyusulnya dan berdiri di sisi kanan. Sedangkan Jonathan berada di sisi kiri.

Silir angin sejuk menerpa wajahnya. Laisa memejamkan matanya sejenak. Merasakan embusan angin yang menguraikan rambut panjangnya.

"Indah, ya," ujar Laisa takjub dengan kuasa Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya.

Senyum Nanta mengembang. "Bahkan kamu lebih indah dari alam semesta, La," ucapnya tenang. Ia tidak segan meski ada Jonathan. Biarlah, sepupu Laisa yang satu ini menjadi patung Pancoran yang kebetulan diberi anugerah untuk bisa bergerak dan bernapas.

"Bacot lo, Nan," sambar Jonathan agak kesal.

"BACOT." Nanta diam sejenak. "BACaan berbobOT," lanjutnya kemudian penuh penekanan pada huruf-huruf tertentu.

Laisa membalikkan tubuhnya. Lalu menatap Jonathan dan Nanta dengan bergantian. "Kenapa, sih, kalian, tuh, nggak bisa damai?"

"Damai," ulang Jonathan cepat. "Sama dia?" tambahnya menunjuk ke arah Nanta. "Ih. Ogah!" tandasnya membuat Laisa memutar bola matanya dengan jengah.

"Terserah, deh. Mau berantem ya, silakan," ujar Laisa angkat tangan. Kemudian berlalu tanpa memedulikan dua makhluk hidup yang akan memulai pertikaiannya.

Jonathan memicingkan matanya pada Nanta. Melalui sorotnya ia mengobarkan api peperangan. Langkahnya mendekat. Memangkas jarak tanpa sekat. "Inget! Kalo lo macem-macem sama Laisa. Gue penggal burung punya lo," tekan Jonathan pada Nanta.

Lawan bicaranya itu menatapnya dengan aneh. "Udah gila lo," maki Nanta kemudian memilih untuk berlalu pergi.

Jonathan mendesis kesal. Dengan cepat ia mengejar langkah Nanta lalu menarik tangannya kuat-kuat hingga lawannya itu nyaris terhuyung jatuh.

"Gue nggak pernah main-main soal ini, Nanta!" gertak Jonathan.

"Gue pegang omongan lo," balas Nanta cukup geram dengan perlakuan Jonathan terhadapnya. Lantas ia mengibaskan tangannya dengan kasar agar cengkeraman Jonathan terlepas.

"Cukup!" pekik Laisa berusaha melerai dan memisahkan dua macan jantan yang ada di hadapannya.

"Kalian apa-apaan, sih?!" gertaknya tidak hanya pada Jonathan, Nanta pun mendapatkan sasaran rasa kesalnya.

Tanpa menghiraukan Jonathan yang masih terlihat sedang menatapnya dengan berang, Nanta memilih duduk di sofa untuk menyetabilkan emosinya yang nyaris membeludak. Sejak dulu, Jonathan memang bukan lawannya. Bukan karena tubuh Jonathan yang seperti perwira dengan otot-ototnya yang menonjol, melainkan karena Nanta tahu apa yang akan terjadi jika emosinya tidak terkendali. Ia ingat saat terakhir kali meluapkan amarahnya lalu bertengkar dengan kakak tertuanya dan membuat ibu menangis. Dan sekarang, ia tidak ingin Laisa menangis.

Sementara Jonathan, laki-laki itu memilih pergi dari tempat yang dipijaknya hingga hanya menyisakan Laisa dan Nanta.

Pertemuan pertama yang buruk setelah dua tahun tidak bertemu. Saat terakhir bertemu pun Jonathan dan Nanta menyisakan pertengkaran hanya karena masalah sepele. Laisa menatap Nanta yang terlihat memandang kosong pada dataran meja di hadapannya. Kemudian ia duduk di samping Nanta, mengusap bahu kokoh itu untuk menenangkannya.

"Aku tahu, kalo Jonathan benci sama aku," ucap Nanta dan segera Laisa hentikan.

"Nan, udah. Cukup. Nggak perlu diperpanjang. Joe emang gitu orangnya." Ditatapnya Nanta dengan pandangan paling lembut yang pernah Laisa miliki.

Napas Nanta mengembus panjang lalu menatap Laisa dengan begitu lekat. Hingga tanpa terasa, Laisa merasa kikuk sendiri hanya karena tatapan Nanta.

"Aku akan merasa sangat berdosa jika kamu kenapa-kenapa," ujar Nanta serius.

Sepasang bibir Laisa mengembang. "Aku janji. Aku akan jaga diri dengan baik," balasnya menularkan senyuman pada Nanta.

"Jangan jauh-jauh dari aku."

Laisa mengangguk.

Tbc...

Kisah Tentang Ananta'S (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang