KTA'S 42 - Jeda Rasa

364 53 4
                                    

Ig : @Anantapio26_

Kita jeda dulu
Daripada semakin pilu

Kita jeda dulu
Daripada tergores sembilu

Kita jeda dulu
Daripada luka kian membiru

"Perasaan ini puisi punya gue," gumam Nanta kemudian terkekeh. Tingkah laku Laisa sejak dulu memang selalu tidak ingin ambil pusing.

Andrew yang berada di sampingnya ikut tertawa. "Dia itu pencuri yang handal," komentarnya kemudian.

"Termasuk dalam hal mencuri hati saya," tambah Nanta membenarkan. Lantas membuka lembaran berikutnya dari kertas warna biru itu. Ada sebuah gambar seorang gadis yang sedang menunjuk langsung ke arahnya. Nanta menarik napas, menenangkan dentuman jantungnya yang enggan diam.

Hi Ananta,
I love you and will always love you forever. I want you to be happy even without me.

Be yours, Laisa.

Senyumnya tersimpul. Entah kata apa yang tepat untuk gadisnya yang kini sudah lepas. "Satu, puisi itu punya aku, La. Kenapa kamu curi? Dua, warna kesukaan aku itu coklat bukan biru. Tiga, doa aku cuma satu. Semoga kamu nggak jadi tunangan sama Panji tapi langsung nikah sama aku."

Andrew tertawa saat mendengar ujaran Nanta untuk membalas surat Laisa. "Ada-ada saja kamu," komentarnya.

Mau tidak mau, Nanta ikut tertawa kecil. Lalu tatapannya terarah pada pesawat yang baru saja melintas di atas sana.

"Oke." Nanta menarik napasnya. "Setelah pulang dari sini, saya akan merebutnya lagi dari Panji," candanya.

Lantas Andrew mengomentarinya, "Rupanya kamu nggak rela kalo Laisa sama yang lain."

Nanta tertawa pelan. "Siapa yang akan rela? Manusia terhebat di muka bumi pun pasti tidak akan kuat," ujarnya mengikuti gaya bicara Andrew.

Andrew tersenyum masam. "Iya memang seharusnya seperti itu. Jangan seperti saya yang dulu begitu pengecut. Dengan membiarkan istri dan anak pergi, padahal saya sangat mencintai mereka," curahnya pada Nanta.

Pemuda di sampingnya menoleh lalu menepuk-nepuk bahunya. "Merelakan memang tidak mudah. Apalagi jika itu menyangkut orang yang kita cintai," komentarnya meski sebenarnya tengah rapuh.

***

Sampai akhirnya kita saling berpisah
Saling menjaga jarak
Saling menjeda rasa
Meski lara terus berdentuman dalam bilik jantung

Sampai akhirnya kita harus terbiasa
Merasa canggung
Merasa ragu
Meski hanya untuk berbalas tatap

Sampai akhirnya aku dan kamu
Saling menjauh

Langkahnya memasuki ruangan yang pernah menjadi saksi antara dirinya dengan Laisa. Nanta mengambil posisi duduk di atas brankar. Tangannya tak luput untuk terus menggenggam bahkan meraba surat itu. Ada perasaan yang sebenarnya sayup-sayup terdengar mengaduh karena hampa. Namun, harus ditekannya kuat-kuat hingga melesak terdiam ke dalam relung hatinya.

Pintu kembali terbuka, langkah Andrew mendekatinya dan kemudian berdiri di hadapannya. "Sebelumnya saya mau meminta maaf." Ucapan Andrew membuat Nanta lantas mengernyit tidak mengerti. "Berdasarkan keputusan kami setelah menimbangkan beberapa hal, terapi kali ini harus dihentikan. Oleh sebab itu, kamu akan melakukan proses operasi," jelas Andrew kemudian.

Nanta terdiam untuk beberapa saat.

"Ada flek yang akan berdampak ganas di paru-paru kamu dan berpotensi menjadi tumor. Dan itu, harus segera ditangani," ujar Andrew lagi.

Kau tahu, Laisa? Kepergianmu berhasil membuatku merasakan kesunyian yang paling bising mengisi gendang telinga ini.

Nanta mengangguk. "Lakukan jika itu yang terbaik. Yang terpenting, saya dapat memenuhi janji yang pernah saya katakan dulu," putusnya.

Andrew menepuk-nepuk pundaknya. "Semoga Tuhan memberkatimu," doanya.

Nanta hanya mengangguk saja. "Tapi Laisa nggak perlu tahu ini," pintanya.

Andrew mengerti. Sekarang Nanta mengambil keputusannya sendiri. "Kalau begitu, Om akan mengurusnya sekarang," ujarnya sebelum pergi.

Bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup, Andrew sudah melangkah keluar. Sekarang Nanta benar-benar merasa sunyi. Tidak ada lagi ocehan Laisa yang menghiburnya, tidak ada lagi candaannya, juga tidak ada lagi air mata yang siap ia hapus dari kedua mata gadisnya jika sedang bersedih.

Tubuhnya terbaring. Sambil memandang langit-langit ruang Nanta mencoba untuk meresapi rasa sunyi ini yang berhasil membuatnya merasa kembali pada beberapa tahun lalu. Saat dirinya berada di ruangan senyap dan menahan sakitnya sendiri.

***

Tatkala iringan gumpalan awan putih perlahan hilang ditembus oleh badan pesawat lalu menyisakan keheningan yang semakin membuatnya merasa sesak atas keputusan yang telah diambilnya. Laisa yakin hatinya telah terpaku dengan rasanya yang sembilu. Bulir yang meleleh dari matanya berhasil menembus pelupuknya yang sayu.

"Apa semuanya akan tetap sama? Ataukah kita malah saling bersapa dengan kalimat selamat tinggal?" batinnya masih membayangkan bagaimana perasaan Nanta saat mengulurkan tangannya tepat ke arah pesawat yang ditumpanginya.

Memikirkannya membuat tubuh Laisa seakan membeku untuk selamanya. Jika memungkinkan dirinya untuk berkata jujur, mulai detik ini ia merasa telah menjadi gadis yang paling pilu.

Benaknya seakan ikut bertebaran di antara awan putih yang sedang dilintasinya. Mengenai pertemuan pertamanya dengan Nanta tepat di tahun pertama ia masuk ke sekolah barunya dan kala itu ia sama-sama harus menjalani hukuman maju ke depan barisan saat apel berlangsung hanya karena terlalu berani menjawab satu kuis permainan yang diberikan oleh kakak kelas pembimbingnya.

Laisa menghapus air matanya yang belum juga berhenti untuk luruh. Ia menarik napasnya. Berusaha menganggap semuanya baik-baik saja. Iya, semuanya harus baik-baik saja. Demi Ananta.

Hingga tidak terasa waktu perjalanan selama dua jam berakhir di hiruk-pikuknya bandara. Laisa melangkah keluar dengan tangan menggeret koper miliknya dan satu tangannya yang lain memegang ponselnya serta berusaha menghubungi Mama atau mungkin Papa agar dirinya dapat mengadu. Ah, ia tidak sabar untuk menumpahkan seluruh air matanya di pelukan Papa.

Namun, langkahnya mendadak berhenti saat melihat Panji yang sudah siap menunggunya di bangku panjang dekat pintu keluar. Laki-laki itu menoleh dan Laisa enggan untuk berjalan mendekat.

Panji tersenyum ke arahnya sambil melangkahkan kakinya untuk mendekat. Laisa hanya menatapnya tanpa ekspresi yang pernah Nanta ajarkan kepadanya.

"Kamu pasti capek. Biar aku bantu," ujar Panji bersama nada bicaranya yang terdengar sok perhatian. Laisa semakin tidak yakin kalau Panji adalah laki-laki baik yang Mama pilihkan untuknya.

Tangannya melepas pegangan kopernya. Ia melangkahkan kakinya mendahului Panji dan membiarkan laki-laki itu seperti babu bayaran dari Mama.

Andai aku tahu. Tenyata sesakit ini untuk menjeda rasa. Kemudian membungkam rindu seakan ia tak lagi memiliki kuasa, ucapnya dalam hati bersamaan dengan air mata yang kembali menembus kelopaknya.

Cepat-cepat Laisa menghapus air matanya saat melihat Panji yang mulai mendekat. Kemudian menyimpan kopernya ke dalam bagasi dan memutar untuk membukakan pintu mobil.

Tanpa ekspresi atau bahkan kata-kata meski untuk berucap terima kasih, Laisa masuk ke dalam mobil hitam yang akan membawanya pulang. Mungkin.

Tbc...

Kisah Tentang Ananta'S (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang