KTA'S 21 - Bacotan Tedy

558 58 11
                                    

Ig : @Anantapio26_

Dentang waktu terasa begitu lama. Terlebih, saat dilihat lagi dan lagi, jarum jam masih menunjukkan ke angka yang sama. Sampai Tedy merasa jengah sendiri lantas merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Buku-buku yang menumpuk di hadapannya pun semakin membuat matanya terasa semakin kering. Sepertinya saat ini ia membutuhkan segelas kopi panas untuk menjernihkan pikirannya yang sudah terlalu keruh akibat buku-buku itu.

Langkah kakinya beranjak. Menuju lemari kecil di dekatnya untuk mengambil satu bungkus kopi lengkap dengan gula pasir. "Kalo nggak diumpetin pasti abis dicomot si Nanta, nih," gumamnya berprasangka buruk. "Tapi nggak apa-apa. Karena dia, pahala gue bisa nambah," lanjutnya sembari menuangkan air panas dari termos ke dalam gelas.

Terdengar suara gerbang besi yang dibuka lantas Tedy berdiri untuk menggapai jendela dan melihat siapa yang datang. Oh, rupanya Nanta dengan wajahnya yang terlihat sedang kesal meski ia memasang raut datar.

Pasti ada sesuatu, duganya penasaran.

Tedy kemudian keluar dan berdiri di depan pintu. Dengan tangannya yang melipat di depan dada, ia siap menyambut kedatangan Nanta. Kedua retinanya mengedar ke arah jam dinding yang menggantung di dalam kamarnya dan memang bersebelahan dengan kamar Nanta. "Tumbenan amat belum jam sepuluh udah pulang," celetuknya.

Nanta hanya melirik pada Tedy dengan wajah tanpa ekspresi. Rautnya datar seperti biasa meski sebenarnya sedang kesal. Ia mencolokkan kunci kamarnya lalu memutarnya sampai terbuka. Nanta bergeming saat hanya tinggal memutar kenop pintu. Lalu menolehkan kepalanya menatap Tedy yang masih berada di sampingnya.

"Kenapa?" tanya Tedy menaikkan dagunya.

Nanta diam sejenak. "Gue nggak habis pikir. Masih ABG tapi moralnya udah rusak," ujarnya.

"Emang lo ada masalah apa, sih?" selidik Tedy. Nanta malah menggeleng. Tangan Tedy merangkul bahunya. Ia paham, kalau ada sesuatu yang telah terjadi.

"Bro. Kita masuk ke jurusan hukum nggak hanya sekedar masuk. Biarpun lo masuk ke jurusan ini karena bukan keinginan lo sendiri. Tapi ini jalan kita buat mengayomi mereka karena kita punya dasar hukumnya," ocehnya sok bijak.

Nanta berdecak. Teringat kelakuan bocah tadi. Sungguh ia belum bisa melupakan hal itu.

"Jadi itu misi kita," bubuh Tedy.

"Apaan?" tanya Nanta memastikan.

"Ya itu," jawab Tedy hanya mengerti oleh dirinya sendiri. Ya, begitulah dirinya.

Nanta berdecak dengan menunjukkan rasa jengahnya. Lantas mendaratkan bokongnya di bangku panjang depan kamarnya. Tak lama kemudian Tedy menyusul untuk duduk di sampingnya. Nanta melepas pandangannya yang nampak kosong kemudian menghela dengan berat. Ada sesuatu yang ingin ia lepas dari benaknya.

"Gue takut kalo Laisa jadi mualaf karena gue," ujarnya malah membuat Tedy mendelik lebar.

"Goblok. Ya bagus, lah!" seru Tedy tidak setuju. Padahal bukan itu maksud dari ucapan Nanta.

"Gue takut. Dia jadi mualaf karena gue bukan karena Allah," lanjut Nanta memperjelas dan berhasil membuat Tedy bungkam. Ia teringat kembali dengan kejadian saat Laisa datang ke masjid, entah karena apa gadisnya bisa seperti itu. Ia pun masih tidak mengerti.

Tedy ikut menghela napasnya dengan berat. "Ya syukur-syukur dia jadi mualaf karena Allah. Karena Allah yang mendorong lo buat ngebimbing dia."

"Gue juga sayang sama Laisa," lanjut Nanta mencurahkan isi hatinya. Pandangannya terlihat hampa tetapi menyimpan sejuta harap.

"Oh iya. Kenapa lo jatuh hati sama Laisa? Padahal cewek yang satu keyakinan sama lo aja banyak," lontar Tedy mengenai pertanyaannya.

Nanta tersenyum mengingat awal pertemuannya dengan Laisa. Saat Laisa menemukan dirinya di ruang UKS dengan keadaannya yang lemah dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuannya yang lain dan begitu menakjubkan.

"Karena dia itu tulus. Nggak memandang siapa gue, nggak menilai seberapa rendahnya gue di mata orang-orang waktu itu," jelas Nanta. "Dia nggak cuma cantik. Hatinya juga baik," lanjutnya memuji Laisa.

Nanta bangkit dan berdiri dengan tangan menggapai tiang saka bangunan indekosnya. "Dia cuma butuh sedikit arahan," tambahnya.

Tedy mendekat. Ia bersandar pada tiang di samping Nanta. "Tapi lo udah pernah gini, kan?" tanyanya menautkan jari-jari dari kedua tangannya yang mengerucut.

Nanta berdecak. Tanda bahwa ia malas untuk membahas satu hal itu. Tedy kembali tertawa. "Diam. Tandanya iya," ujarnya.

Nanta tidak menanggapi ucapan Tedy dan malah terlihat tak acuh. Sampai akhirnya... hening. Nanta dan Tedy memilih saling diam dengan mata yang sama-sama terarah pada mobil tua milik Tedy di depan.

"Bokapnya juga baik," gumam Tedy kemudian teringat saat dirinya ditolong oleh Papa Laisa saat terkena tilang pekan lalu.

"Tahu dari mana?" tanya Nanta menanggapi.

"Bokapnya yang nolong gue pas kena tilang," jawab Tedy. "Waktu itu gue nggak tau kalo Om Andrean itu bokapnya Laisa. Tapi setelah gue lihat fotonya yang jatuh dari dompetnya, gue jadi tau," lanjutnya mengenang kebaikan Papa Laisa.

Nanta tersenyum. Mengingat hal itu membuatnya merasa lebih baik. "Sayangnya gue belum bisa sebaik Om Andrean," ujarnya.

"Lo cuma belum puas jadi orang jahat aja, Nan. Makanya puas-puasin lo ngeledekin Elvina," celetuk Tedy langsung mendapatkan tatapan dari raut Nanta yang begitu datar. Ia pun tahu siapa Elvina.

"Kenapa?" tanya Tedy melebarkan kedua matanya. "Kangen sama Elvina?" lanjutnya begitu menyebalkan.

Nanta memalingkan wajahnya dan berdecak sebal.

Tedy merasa puas. Ia tertawa kecil hanya karena melihat ekspresi dari wajah Nanta. "Tidur. Besok lo ada kelas, kan," ujarnya menepuk bahu Nanta sebelum meninggalkannya di teras.

Nanta hanya mendesah pelan.

"Oh iya." Tedy membalikkan tubuhnya. "Satu lagi yang harus selalu lo inget, Bro." Ia kembali mendekat. "Perjuangin apa yang harus lo perjuangin," ujar Tedy meski terdengar basi di telinga Nanta.

Nanta hanya diam. Membiarkan Tedy menepuk bahunya sebelum pergi masuk ke dalam kamar. Perkataannya pun memang ada benarnya hingga membuat Nanta termangu selama beberapa detik, sampai ia teringat pada satu benda sakral milik Tedy.

"Satu hal lagi," seru Nanta membuat Tedy menghentikan langkahnya dan menoleh. "Lo sendiri lupa sama hal sekecil ini," lanjutnya mengangkat benda itu.

Tedy mendelik saat matanya menangkap kotak celana dalam barunya ada di tangan Nanta. "Anjay! Cari mati lo," geramnya gemas dan segera merebut benda itu.

"Untung Laisa nggak lihat," ujar Nanta menatap Tedy dengan kedua matanya yang nampak serius.

"Salah lo, lah. Gue panggil-panggil nggak mau nyaut. Betah amat lo, di dalem mobil sama Laisa," gerutu Tedy.

"Makanya, jangan kelamaan jomblo," balas Nanta santai.

"Gue rela ngejomblo. Asal gue terbebas dari maksiat," tandas Tedy tidak ingin dengar apa-apa lagi dari mulut Nanta. Ia pun segera pergi dari hadapan Nanta dan kembali melanjutkan aktivitas ngopinya yang sempat tertunda tanpa memiliki niat mengajak Nanta untuk minum kopi bareng. Biarlah sahabatnya itu menikmati kegalauan di hatinya.

Nanta hanya diam tidak menanggapi perkataan Tedy. Netranya kembali terarah ke depan.

Kenapa serumit ini, Tuhan?
Kenapa Kau membiarkan aku jatuh hati padanya?
Ciptaan-Mu yang aku kenal sebagai Laisa

Tbc...

Kisah Tentang Ananta'S (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang