KTA'S 11 - 1st Kiss

770 76 26
                                    

Ig : @Anantapio26_Anantapio26_

Ternyata malam berkata lain dengan gugusan bintang yang bersinar terang di angkasa serta organisme kecil yang bercahaya di permukaan air. Di ujung dermaga ini Nanta membiarkan Laisa takjub dengan ciptaan Tuhan.

"Aku jadi pengin renang." Nanta tertawa mendengar keinginan Laisa.

"Jangan sekarang," sahut Nanta kemudian.

"Lho, kenapa?" Dahi Laisa berkerut dan matanya menatap Nanta dengan penasaran.

Nanta yang tengah berdiri memilih duduk di tepi dermaga dan membiarkan kakinya menggantung. "Ada bulan yang sedang ingin ditatap." Nanta menunjuk bulan yang berada di tengah lautan.

"Jangan mulai, deh," himbau Laisa hati-hati. Hatinya tidak ingin berdegup kencang lagi akibat ulah Nanta.

"Mulai apa, sih?" Nanta malah tertawa.

"Tau, ah!" ketus Laisa memalingkan wajahnya.

Nanta kembali bangkit dan berdiri di samping Laisa. Gadisnya masih memalingkan wajahnya ke arah hamparan laut luas di depannya. Tangan Nanta masuk ke dalam saku celananya.

"Jika kamu menjadi bulan, biarkan aku menjadi malam yang gelap untukmu bersinar terang. Jika kamu menjadi bintang, biarkan aku menjadi semesta hingga dapat memberimu ruang. Jika kamu menjadi matahari, biarkan aku menjadi bumi untukku selalu menatapmu."

Laisa menoleh.

"La," panggil Nanta mendekat. Kedua tangannya meraih ruas-ruas jari Laisa. "Aku nggak pernah tahu bagaimana Tuhan merencanakan jalan hidup manusia. Aku pun nggak tahu akan jadi apa kita kelak. Aku cuma tau tentang perasaan aku yang selalu berharap suatu saat nanti kita bisa bersatu."

"Nan," balas Laisa menatap Nanta dengan lekat, seakan jika ia berkedip sekali saja Nanta akan menghilang dari hadapannya. "Aku juga nggak pernah tahu akan kehendak Tuhan. Tapi aku tahu yang aku mau cuma kamu."

Nanta tertawa kecil.

"Udah empat tahun kita pacaran. Tapi kamu belum pernah bilang I love you." Tangan Laisa meraba wajah Nanta.

"Oh ya?" tanya Nanta yang seakan tidak pernah ingat dengan tiga kata itu.

Laisa mengangguk sambil membalikkan tubuhnya untuk membelakangi Nanta. "Aku pengin kamu bilang tiga kata itu," tuntutnya kemudian.

"Menurut aku nggak perlu," ujar Nanta berhasil membuat Laisa kembali membalikkan tubuhnya.

"Kadang aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu. Kamu masih susah ditebak. Apa aku masih harus belajar buat memahami kamu?" Laisa bersuara dan menatap Nanta dengan lekat.

"Nggak perlu sesulit itu kamu memahami aku. Cukup kamu selalu ada buat aku dan jujur dengan hubungan ini," jawab Nanta. Tangannya menyelipkan rambut gadisnya yang terurai ke belakang telinga. Memperlihatkan wajah cantik gadisnya pada bulan yang sedang menontonnya di kejauhan sana.

"Bahkan aku sering kesulitan," balas Laisa menyandarkan tubuhnya pada Nanta.

"La, kita memang harus saling memahami. Tapi inget ada satu hal yang harus kamu mengerti."

"Apa itu?"

"Tentang kamu dan aku. Tentang perbedaan kita."

Laisa merasakan Nanta menghela panjang. Disusul dengan tangan yang merangkulnya dengan hangat.

"Aku tahu kita berbeda. Makanya, aku berharap pada Tuhan supaya semesta merestui kita."

Nanta membalikkan tubuh Laisa hingga menghadap ke arahnya. Begitu dekat. Ia menghela sejenak. Rautnya berubah drastis. Laki-laki itu seperti menunjukkan keresahannya yang selama ini ia sembunyikan dan seakan lebih siap untuk menanggung konsekuensinya kelak. Berpisah atau mungkin menikah. Ah, opsi yang kedua bukanlah hal yang mudah dan kemungkinan terjadi sangatlah kecil.

Tangan Laisa membingkai wajah Nanta. "Kamu nggak usah takut. Cinta memang butuh pengorbanan," ucapnya meyakinkan. "Entah nanti kamu yang harus berkorban atau bahkan aku yang harus berkorban."

Aku tahu Tuhan. Mungkin aku terlalu pemaksa.

Nanta merengkuh tubuh Laisa. Merangkulnya dalam kehangatan. "Maafin aku, La," lirihnya.

Laisa menatap wajah Nanta. "Kita bisa, Nan. Aku yakin itu."

Nanta mengangguk. Ia mengembangkan senyumannya. Tangannya bergerak mengusap lembut rambut panjang Laisa yang dibiarkan terurai begitu saja. Untuk pertama kalinya dengan perlahan dan penuh kelembutan Nanta menyecap cahaya bulan yang bependar pada sepasang garis manis kemerahan milik Laisa. Kedua mata gadis itu terpejam menikmati setiap inci bibirnya yang dikecup hangat oleh Nanta.

Lembut. Manis. Berhasil membuatnya melayang jauh. Terpaan hangat napasnya yang mengembus dengan teratur terasa begitu tenang. Ia harus mengakui bahwa jiwa Nanta tercipta dari ketenangan yang Tuhan berikan, membuatnya lantas semakin terhanyut dalam ciuman yang Nanta buat. Perlahan-lahan ia pun membalas ciuman yang tak pernah diduganya.

Tangan Nanta bergerak semakin merengkuhnya dalam kehangatan. Menunjukkan bahwa dirinya tidak akan melepaskan Laisa apapun yang menjadi alasannya, meski gadis itu ingin lepas darinya.

Air mata itu jatuh. Meluruh. Emosinya membuncah saat mengingat waktu empat tahun yang sudah dilewatinya bersama, tapi suatu saat nanti harus berpisah begitu saja. Ia merasakan bibir Nanta bergeming lalu jari-jari itu bergerak menghapus air mata yang membasahi pipinya tanpa melepaskan tautan bibirnya. Tanpa sadar Laisa menggigit bibir bawah Nanta yang masih diam tanpa gerak sedikitpun. Laki-laki itu hanya diam membiarkan Laisa menggigit bibirnya hingga mengeluarkan cairan merah.

Merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutnya, Laisa tersadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Ia sudah melukai Nanta. Matanya terbuka lantas didorongnya Nanta agar menjauh lantas menunduk penuh sesal. "Ma-maaf. Maafin aku," lirihnya gemetar.

Nanta hanya diam dan langkahnya mulai bergerak untuk memangkas jarak. Namun, dengan cepat Laisa menghindar, langkahnya berlari cepat meninggalkan Nanta.

"La!" pekik Nanta segera menyusul Laisa. Ia tahu, Laisa sedang ketakutan. Hal itu nampak jelas dari sorot netranya yang berusaha gadisnya sembunyikan.

Laisa menghentikan langkahnya. Gadis itu terdiam di tempatnya kemudian terduduk.

"Aku nggak mau kehilangan kamu," pekik Laisa meluruhkan air matanya berharap Nanta dapat mendengarnya. "Aku juga nggak mau kehilangan Mama," lanjutnya lirih.

Baginya Nanta dan Mama adalah dua hal yang menjadi pilihan paling sulit. Jika ia tidak ingin kehilangan Nanta, maka ia harus siap kehilangan Mama begitu pun sebaliknya.

Dengan cepat perasaan bersalah melingkupi dirinya. Ia sadar terlalu menjadi pemaksa atas perasaannya. Nanta hanya bisa diam berdiri di rentang jaraknya yang cukup jauh.

Laisa bangkit lalu membalikkan tubuhnya dan menghampiri Nanta. Gadis itu berdiri di hadapan Nanta yang sedang terpaku. "Nan," panggilnya pelan.

Nanta mengangkat wajahnya, menatap Laisa yang terus menguraikan air matanya. Tangannya bergerak untuk menghapus air mata Laisa.

"Kamu mau ikut sama aku, kan?" tanya Laisa dengan begitu berat dan bodohnya.

Nanta terdiam. Tangannya berhenti tepat di pipi gadisnya kemudian menghela napas dengan berat. "Maaf, La. Aku nggak bisa," jawabnya tetap meneguhkan hati.

Air mata Laisa jatuh, terurai dengan begitu deras. Ia menarik napasnya yang menyesak. Tatapannya tidak beralih sedikitpun dari wajah Nanta, terutama di bibir lelakinya yang terluka karenanya. "Maaf," ujar Laisa mengusap bibir itu.

Nanta menghela sejenak. Dipeluknya Laisa dengan erat.

"Jika berpisah itu lebih baik. Aku siap," ucap Laisa dalam pelukan Nanta.

"Inget. Aku nggak akan pernah siap, La."

Maafkan aku Tuhan. Yang terlalu pemaksa akan kehendak-Mu.

Tbc...

Kisah Tentang Ananta'S (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang