Cinta itu sederhana dan indah. Nggak sulit buat mengungkapkannya. Seperti apa yang dilakukan Rafa untukku. Dulu.
Saat itu kami kelas sepuluh SMA. Masih berstatus sebagai siswa baru. Dibawah rintik hujan, di halte bus depan sekolah. Hanya tinggal aku berdua dengan Rafa. Setelah bermenit-menit hanya duduk berdua, dengan malu-malu Rafa berdiri dari duduknya. Berlutut dengan satu lutut menyentuh lantai, dan mata menatapku dengan lekat. Yang langsung membuatku salah tingkah. Beberapa teman kami yang kebetulan melintas, bersuit jahil menggoda.
"Ra, aku tahu aku nggak seberani Romeo yang rela menenggak racun demi Juliet. Aku juga nggak sehebat Bandung Bondowoso yang sanggup membuat seribu arca dalam semalam buat ngebuktiin cintanya ke Roro Jonggrang. Aku tau aku nggak sesempurna Marvin cinta pertama kamu itu. Mataku juga nggak sipit kayak punya Marvin. Tapi, aku punya hal yang nggak dipunyai Marvin. Aku punya cinta buat kamu. Kamu mau nggak jadi cewek aku?" Rafa mengatakan itu dengan lancar. Seperti sudah dihafalkan sebelumnya.
Kalimat yang sebenarnya konyol mendekati menjijikkan dan hampir membuatku tertawa. Tapi nggak tahu kenapa hatiku menghangat saat mendengar Rafa mengatakan itu.
Saat itu, dengan kepolosan seorang anak yang baru masuk SMA. Dengan malu-malu aku tersenyum dan menganggukan kepala. Mengiyakan permintaan Rafa. Tanpa berani menatap matanya.Rafa berdiri, kemudian memelukku dan memberikan ciuman lembut di keningku. Memberikan kehangatan saat hujan. Hujan sangat indah bagiku. Dulu.
Tapi sekarang? Hujan tidak lagi indah. Seperti saat ini. Dinginnya begitu menyiksa. Suara berisik air yang jatuh membentur atap tidak lagi merdu. Malah semakin membuatku tersiksa. Semakin mengingatkanku akan penghianatan Rafa.
Siapa sih, yang menyangka kisah cinta ala-ala negeri dongeng versi Tara-Rafa bakal berakhir? Best couple. Yeah. Begitulah teman-teman sekolah menyebut kami. Kemana-mana berdua. Melakukan apapun yang dilakukan oleh pasangannya.
Berawal di bawah hujan, berakhir pun di bawah hujan. Rafa yang membuat hujan nggak lagi indah untukku. Dan orang yang paling bahagia atas berakhirnya hubunganku dengan Rafa tentu saja adalah Ralin. Si murid baru, makhluk asing yang entah berasal dari planet mana. Yang merebut Rafa dariku.
Seorang Rafa yang kukira cowok sempurna. Berbeda dengan cowok kebanyakan. Ternyata nggak lebih baik dari mereka. Dia meninggalkanku demi cewek itu. Yang namanya sudah kusebutkan diatas dan haram bagiku untuk mengulangnya lagi.Kisahku ini persis seperti cuaca akhir-akhir ini. Paginya cerah, sorenya tiba-tiba mendung dan turun hujan badai. Pagi di hari Rafa meninggalkanku, dia bilang hanya ada aku. Tapi sorenya, dengan gampang dia bilang nggak bisa melanjutkan hubungan tanpa perasaan lagi. Aku sakit. Ya, tentu saja. Kecewa. Sedih. Nggak nyangka.
Rafa itu air tenang yang menghanyutkan. Dibalik segala sikap baiknya─yang sekali pun nggak pernah berkata kasar atau membentakku─ ternyata dia itu brengsek. Mengakhiri dua tahun kebersamaan kami hanya karena makhluk asing itu.───
Tuhan. Apa dosaku? Sampai Rafa tega melakukan ini padaku? Padahal sekalipun aku nggak pernah berpaling darinya. Oh, oke. Pernah sekali aku sempat terpesona sama Dion. Murid kelas sebelah. Itu pun kalau terpesona bisa disebut berpaling, ya.
Ralin. Ya. Sepertinya mulai sekarang aku harus ikhlas sering-sering menyebut nama itu. Walaupun labelnya haram. Satu nama yang kutulis dengan huruf besar-besar dan kuletakkan di urutan teratas dalam blacklistku. Cewek yang, baiklah, dengan kebesaran hati harus kuakui kalau dia memang cantik, seksi, menggoda, tipenya para cowok-cowoklah. Tapi tetap saja, dia itu cewek gatel. Buktinya dia merebut Rafa dariku.
Dan Rafa, sebisa mungkin aku menghindarinya di sekolah. Dengan nggak mengunjungi tempat yang sering kami kunjungi dulu. Seperti perpustakaan atau lab komputer. Nggak datang ke halaman depan sekolah. Di bawah pohon cemara yang biasa aku dan Rafa tempati saat istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE
Teen FictionAPAPUN ALASANNYA, YANG NAMANYA PERSELINGKUHAN ITU TIDAK BISA DIBENARKAN TARA Rafa itu air tenang yang menghanyutkan. Dibalik segala sikap baiknya─yang sekali pun nggak pernah berkata kasar atau membentakku─ ternyata dia itu brengsek. Mengakhiri dua...