17. Restart

140 8 0
                                    

Hidupku hampir kembali normal. Pagi tadi, Bapak Kepala Sekolah mengumpulkan seluruh penghuni SMA Nusa Bangsa di lapangan. Untuk membersihkan namaku dari fitnah foto yang kemarin itu. Bapak Kepala Sekolah juga memberitahukan siapa pelaku sebenarnya. Dan meminta kepada para siswa agar bersikap bijak untuk tidak menyebarkan berita tentang itu di luar lingkup sekolah.

Sekarang, tidak ada lagi tatapan menghina yang tertuju padaku. Yang ada malah tatap malu-malu dan sungkan dari mereka yang pernah menghujatku kemarin itu. Ada juga yang bersikap biasa saja karena dari awal mereka memang masa bodoh dengan foto itu. Ada juga yang datang untuk meminta maaf atas apa yang mereka lakukan. Dan tiga pagar ayu Ralin, nggak kelihatan batang hidungnya sampai istirahat pertama ini. Entah menghilang kemana.

Teman-teman Arda tadi juga datang untuk meminta maaf padaku. Mereka bilang, mereka menyesal sudah termakan fitnah itu. Aku memaafkan mereka. Karena mereka juga korban. Sama seperti diriku.

Dan sekolah kembali menjadi tempat yang menyenangkan untukku. Di sudut mana pun aku berada, kembali terasa nyaman. Sebenarnya, akan lebih menyenangkan kalau Arda ada bersamaku. Ah, Arda. Kenapa dia masih begitu dingin padaku?

Aku melirik Lyana yang sedang sibuk menyalin PR Akuntasi dariku (lagi). Ekspresinya terlihat lucu. Dahinya mengerut dalam, mengerucutkan bibirnya. Aku tersenyum. Lalu kembali menekuni game terbaru di smartphoneku pemberian Bima dengan paksa. Dia bilang main game itu seru. Dan sedari kemarin aku masih tetap tidak terlalu paham permainan ini. Setiap baru mulai pasti langsung game over.

“Ra?” Lyana memanggilku sambil membereskan buku-bukunya. Sepertinya sudah selesai menyalin PR.

“Hmm.” Aku menanggapi pertanyaan Lyana dengan gumaman.

“Entar malem ada acara, nggak?” Kini Lyana menghadapkan tubuhnya padaku.

“Belajar palingan,” jawabku dengan mata tetap menatap smartphone.

“Alaaa. Gaya lo. Mau nyaingin otaknya si Farhan? Lagian malem Sabtu juga,” sahut Lyana. Aku hanya nyengir.

“Kerumah gue aja, yuk?”

“Ngapain?” Aku berseru sambil menoleh ke arahnya.

Mencurigakan. Lyana itu jarang sekali mengundang teman-temannya untuk main ke rumah, termasuk aku. Biasanya aku sendiri yang ngeyel untuk ke rumahnya atau tiba-tiba muncul di rumahnya tanpa pemberitahuan terlebih dulu.

“Ya belajar bareng atau ngapain gitu. Sekalian tidur rumah gue deh. Orangtua gue lagi ke Jepang jenguk Kak Tiara. Gue sendirian. Ya? Ya?”

Tuh, kan? Pasti ada maunya.

“Emm…” Aku berpikir sejenak.
Menginap di rumah Lyana?

Nonton koleksi DVDnya yang original itu dan mengingat persediaan keripik kentang di kulkasnya yang minta banget untuk di masukin ke mulut itu, emm, sepertinya boleh juga. Lagipula, rumahku pasti juga sepi. Mama sama Papa lagi ke Bandung. Nganter Bima sekalian menjenguk Eyang.

Please!” Lyana memasang tampang memelas.

“Okelah,” jawabku akhirnya.

Sontak Lyana berteriak kegirangan dan langsung memelukku. Membuat tubuhku hampir terjengkang dari bangku karena nggak siap menerima pelukan Lyana.

“Ini apaan, sih? Gitu aja senengnya kayak dapet berlian.” Aku berusaha melepas pelukan Lyana yang kelewat erat itu.

Lyana nyengir, “Hehe… semalem gue abis nonton film horor. Jadi nggak berani tidur sendiri.”

“Udah tau penakut, nontonnya film horor,” omelku sambil kembali menatap layar smartphoneku.

Game yang kumainkan sekarang sudah game over karena kehabisan waktu. Akhirnya aku menekan tombol exit untuk keluar dari aplikasi. Kemudian meletakkan smartphone di meja dan menghadapkan tubuhku ke Lyana.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang