8. The Cuckoo's Calling

102 6 0
                                    

Hari-hariku di sekolah benar-benar menyebalkan sekarang. Nggak ada yang menarik sama sekali. Ini hari ketiga Arda mengacuhkanku. Dan Rafa, dari kemarin-kemarin dia masih saja mengumbar kemesraan bersama Ralin DI DEPAN UMUM. Lalu, apa arti pelukannya tiga hari yang lalu itu?

Dasar buaya! Apa sih yang aku pikirkan saat Rafa memelukku? Seharusnya aku mendorong tubuhnya sampai terjengkang. Bukannya malah diam dan pasrah. Sampai akhirnya Arda melihatnya. Dan sekarang, karena kebodohanku itu, Arda meninggalkanku. Tapi aku juga merindukan kebersamaanku dengan Rafa.

Aaaargh... Siapa pun, pukul kepalaku sampai itu si Rafa keluar dan nggak lagi menggangguku. Atau kalau ada obat yang bisa menghilangkan Rafa dari kepalaku, aku akan meminumnya. Berapa pun harganya, dehh. Atau walaupun harus melakukan perjalanan ke Barat untuk mencarinya, akan kulakukan.

Aku mengacak rambutku dengan frustasi.

"Tara?"

Aku menghentikan langkahku, langsung merapikan rambut begitu mendengar namaku di panggil. Kemudian menoleh ke belakang. Rafa mendekatiku dengan wajah suram.

"Bisa ngobrol sebentar?" Tanya Rafa.

"Ya udah ngomong aja, sih." Aku menjawab dengan sinis. Rafa menoleh ke sekitar. Ya pastilah banyak anak yang seliweran. Ini kan jam berangkat sekolah.

"Kamu sama Arda─" Rafa memulai dengan ragu. Aku jadi teringat cerita Arda soal Rafa yang mengancamnya untuk menjauhiku.

"Ngomong apa kamu ke Arda?" Aku menatapnya tajam. Rafa hanya menatapku dalam diam. Cukup lama. Yang kulakukan juga sama. Aku diam menunggunya menjawab pertanyaanku.

"Arda udah cerita?" Rafa menjawab dengan tampang innocentnya itu. Bikin aku jadi malas.

"Raf, kamu yang putusin aku. Kamu yang bilang nggak bisa lanjutin hubungan tanpa perasaan lagi. Itu artinya kamu udah nggak sayang lagi sama aku. Tapi kenapa disaat aku mulai menemukan kebahagianku, yang ada pada orang lain, kamu menghancurkannya? Apa nggak cukup dengan kamu sakiti aku dulu. Dan lebih pilih Ralin─"

"Aku masih sayang sama kamu, Ra. Ralin, aku nggak pernah sayang sama dia." Rafa memotong perkataanku. Aku tersenyum sinis.

Melihat anak-anak yang tadinya berjalan tanpa memperhatikan kami, setelah mendengar suara Rafa yang lumayan keras barusan itu, menghentikan langkah dan menatap ke arah kami. Aku bukan artis. Aku nggak mau apa pun yang terjadi padaku menjadi konsumsi publik. Maka tanpa banyak bicara lagi aku melangkah meninggalkan Rafa yang masih saja berdiri ditempatnya.

───

"TARAA?"

Bisa tebak, kan, siapa yang teriak barusan? Ya. Siapa lagi kalau bukan Lyana? Aku memilih pura-pura nggak dengar karena saat ini koridor lagi penuh banget dengan anak-anak pulang sekolah.

"TARA!" Lyana kini sudah berdiri di depanku dengan tubuh membungkuk dan napas ngos-ngosan.

"Apa, sih?"

"Elo kok tinggalin gue, sih? Gue teriakin dari tadi juga," gerutu Lyana. Dia mengusap dadanya yang masih naik turun. Aku jadi tertawa geli melihat tingkahnya.

"Emang gue maling pake diteriakin segala?"

"Ikut gue, yuk?" Kata Lyana setelah napasnya lebih teratur. Aku menatap curiga. Bisa kulihat ada sesuatu yang nggak beres.

"Kemana?"

"Ke PIM."

"Mau ngapain? Masih pakek seragam begini," tolakku.

Kalau aku mengikuti ajakan Lyana, yang ada jam sepuluh malam aku baru sampai rumah dengan badan serasa habis digebuki orang satu sekolah. Asal tahu saja, kalau sudah di mal, tujuan Lyana itu hanya satu, shopping.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang