Aku semakin nggak nyaman sama hubunganku dengan Arda. Harusnya dia nggak semarah itu. Seperti yang dia bilang. Kami nggak ada hubungan apa-apa. Dan dia menyatakan perasaannya padaku juga sesaat sebelum dia memutuskan untuk meninggalkanku. Tanpa memberiku kesempatan. Sikap Arda ini terlalu berlebihan.
"Woi. Ngelamun aja." Lyana menyenggol lenganku dengan lengannya. Aku menoleh dengan malas untuk menatapnya.
"Tega lo ya, kemarin tinggalin gue gitu aja di Pamella. Jangan-jangan.... lo lihat Rafa lagi jalan sama Ralin, ya? Dan lo labrak mereka?" Kali ini Lyana menatapku menyelidik.
Sesaat setelah Arda meninggalkanku di starbucks, aku mengirim WhatsApp pada Lyana untuk pulang lebih dulu. Moodku berubah drastis jadi nggak bagus banget. Daripada Lyana ketiban sial mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulutku, akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Aku menarik napas berat. Menatap Lyana yang juga sedang menatapku. Kemudian menceritakan apa yang kubicarakan dengan Arda kemarin di starbuck.
"Buruk sekali." Lyana menarik napas dengan dramatis. Kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Yeah, semoga kalian nggak lupa kalau dia itu drama queen.
"Sepertinya saya harus turun tangan ini," kata Lyana kemudian. Sekarang dia manggut-manggut serius. Aku jadi geli sendiri. Kemudian Lyana menatapku serius. "Lo suka nggak sih sama Arda?"
Apa aku suka Arda? Aku sendiri pun bingung dengan perasaanku. Aku nyaman bersama dia. Aku suka ngobrol sama dia, nyambung. Aku hanya nggak tahu suka macam apa perasaan yang aku rasakan untuk dia. Aku takut hanya menjadikan dia sebagai pelampiasan. Aku takut kalau ternyata perasaan nyaman itu hanya karena aku butuh teman untuk membantuku melupakan sakit hati. Padahal dia menginginkan hal lebih dariku.
"Gue nggak tau. Hanya saja, disaat dia jauhin gue kayak gini, gue merasa kehilangan," jawabku jujur.
"Kalau Rafa?"
Aku menoleh. Menatap Lyana dengan tajam. "Harus, ya, gue jawab?"
Lyana tahu segala yang kurasakan terhadap Rafa. Dari pertama aku memiliki rasa lebih dari teman terhadap Rafa, Lyana yang menyadari pertama kali. Saat kencan pertama kali, Lyana juga yang tahu. Bagaimana perasaanku pada Rafa dulu, bagaimana bahagianya aku saat Rafa menyatakan cinta, hanya Lyana yang tahu. Karena hanya padanyalah aku mengutarakan semua perasaanku. Tentang apa pun.
"Terus, sekarang lo maunya kayak gimana?" tanya Lyana.
"Arda kayak dulu lagi. Gue mau hubungan gue sama dia baik-baik aja. Walaupun nggak ada hubungan spesial, pacaran atau apalah itu sebutannya, gue mau kami baik-baik aja," kataku. Aku memandang menerawang.
"Oke. Gue cari ide dulu." Lyana menjawab dengan kenes. Aku menatapnya, kemudian tersenyum tipis.
Aku selalu excited menunggu ide-ide yang Lyana ajukan. Suka aneh, unik, lucu, tapi kadang juga efektif. Pernah seorang teman sekelas kami sewaktu kelas sepuluh dulu, namanya Rizal. Dia suka sama Rista anak kelas sebelah. Rista itu sempurna. Cerdas, cantik, fashionable, kapten cheerleaders. Sedangkan Rizal kebalikannya. He is nothing. Ya nggak separah itu juga, sih.
Rizal itu, nerd abis. Rambut selalu dikasih minyak rambut dan disisir rapi. Catat: minyak rambut. Bukan pomade kayak cowok kebanyakan. Rizal juga berkacamata tebal. Sepatu selalu hitam dengan kaos kaki putih. Seragam dimasukkan, lengkap dengan ikat pinggang dan dasi. Patuh peraturan bangetlah. Dan kalau anak muda kebanyakan bau wangi parfum, kalau dia wangi minyak telon. Dekat Rizal serasa lagi dekat dengan bayi.
Tapi kalau soal prestasi akademik, Rizal nggak buruk, kok. Kalau Rista itu juara umum, Rizal itu ada diurutan kedua. Tepat dibawah Rista.
Rizal itu hanya mengagumi Rista secara diam-diam. Tanpa berani mengungkapkan. Ya semacam secret admirer gitu lah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE
Teen FictionAPAPUN ALASANNYA, YANG NAMANYA PERSELINGKUHAN ITU TIDAK BISA DIBENARKAN TARA Rafa itu air tenang yang menghanyutkan. Dibalik segala sikap baiknya─yang sekali pun nggak pernah berkata kasar atau membentakku─ ternyata dia itu brengsek. Mengakhiri dua...