3. Sang Mantan

146 6 0
                                    

Kemarin Arda nggak hanya mengajakku makan saja. Dia juga mengajakku ke toko buku. Ngomong-ngomong soal buku, ternyata dia suka buku juga. Katanya, orang yang membuatnya jatuh cinta sama buku adalah J. K. Rowling. Kemarin dia juga mengajakku ke sebuah tempat, semacam café books gitulah. Saking asyiknya baca, sampai kami lupa waktu.

Dan jadilah semalam aku kena omel Mama gara-gara magrib baru nyampek rumah. Dan kalian tahu alasanku apa? Salah jurusan bus dan akhirnya nyasar di Kelapa Gading. Yang notabene jauhnya agak lumayan dari rumahku.

Asal tahu saja, sebenarnya aku semalam minta Arda menurunkanku di depan kompleks. Tadinya Arda menolak dan mau mengantarku sampai rumah. Bahkan dia mau minta maaf segala sama Mama gara-gara antar pulang anaknya kemalaman.

Tapi akhirnya Arda mau menurunkanku di depan kompleks setelah aku memaksa. Kalau sampai Mama tahu aku pulang magrib sama cowok, bisa habis aku. Dan sudah bisa dipastikan sebaik apa pun Arda, Mama akan langsung bilang nggak suka. Mama itu jadi protektif banget padaku masalah cowok setelah kasus Rafa.

Nggak rela dong, cowok sekeren Arda batal mendekatiku gara-gara Mama yang super duper galak. Dimata Mama tuh cowok baik cuma Rafa. Bahkan saat aku cerita kami putus, Mama malah menuduhku yang selingkuh. Susah payah aku meyakinkan Mama kalau Rafa-lah yang selingkuh. Yang akhirnya Mama percaya setelah memergoki Rafa jalan berdua cewek di PIM.

Kembali ke Arda. Pagi ini dia jemput aku ke rumah. Dan saat ini sedang di interogasi sama Mama di teras. Ya, mungkin Mama masih trauma dengan kejadian Rafa. Yang menurut kacamatanya adalah cowok baik. Kalau dilihat secara penampilan, Arda kan memang jauh dibawah Rafa. Terlihat lebih urakan. Bajunya nggak pernah masuk dan rambutnya yang berwarna coklat gelap itu.

“Ma, udah dong tanya-tanyanya. Tara bisa telat nih.” Aku menghampiri Mama yang duduk berhadapan dengan Arda di teras. Mama memandang Arda sekali lagi dengan tatapan tajam. Sedangkan wajah Arda terlihat masam.

“Ya sudah. Hati-hati kalian,” kata Mama akhirnya. Aku pamit kemudian mencium kedua pipi Mama.

“Berangkat dulu ya, Tan,” pamit Arda sambil menyalami Mama. Mama hanya menjawab dengan gumaman. Aku melirik Mama sekilas kemudian mengikuti Arda yang berjalan menuju mobilnya.

“Tara?” Panggil Mama sesaat sebelum aku masuk ke mobil Arda.

“Ya, Ma.”

“Jangan pulang telat lagi. Mama nggak suka,” kata Mama tajam.

Sumpah, tengkukku terasa dingin melihat tatapan Mama. Sepertinya Mama sudah tahu kalau kemarin aku pulang telat gara-gara pergi sama Arda.

“Iya, Ma. Assalamu’alaikum.” Aku menyudahi intimidasi dari Mama dengan segera masuk ke mobil.

Untuk beberapa saat suasana di mobil hening. Tatapan Arda fokus ke jalanan. Ada yang aneh dengan sikapnya. Aku benar-benar takut kalau dia tersinggung dengan apa yang dikatakan Mama tadi─yang entah itu karena aku juga nggak tahu─dan Arda jadi membenciku. Duuh. Masa iya sih layu sebelum berkembang? Halah, jadi dangdut begini.

“Kamu ditanya apa aja sama Mama?” Akhirnya aku nggak tahan juga untuk nggak bertanya.

“Biasalah. Namanya juga anak ceweknya mau dibawa,” jawab Arda santai. Dia menatapku sesaat dan memamerkan senyum miringnya.

“Bener?” Aku menatapnya ragu.

“Percaya deh, Ra. Segalak apapun Mama kamu, nggak ada setengah dari galaknya Mamaku,” jawab Arda.

Wajahnya sedikit lebih cerah. Tapi aku masih belum percaya. Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalau melihat wajah Arda yang sempat muram sewaktu meninggalkan rumahku tadi.
───

Entah kenapa, sejak hubunganku dengan Rafa berakhir, aku merasa seperti orang asing di sekolahku sendiri. Semua mata menatap aneh ke arahku. Seperti yang sudah sering kubilang. Ada yang menatap kasihan, tatapan simpati, bahkan tatapan melecehkan─seakan-akan mereka bilang ‘syukurin lo diputusin Rafa’.

Nafsu makanku tiba-tiba hilang. Kalau saja aku belum terlanjur memesan nasi Soto yang sekarang hanya kuaduk-aduk tanpa berminat makan. Dan kalau saja perutku nggak melilit gara-gara tadi pagi nggak nafsu makan juga gara-gara WhatsApp dari Arda yang mengatakan kalau dia sedang dalam perjalanan menuju rumah untuk menjemputku berangkat sekolah, pasti aku nggak akan berada di kantin sekarang. Dan nggak perlu melihat tatapan-tatapan itu.

Nasi yang tadinya akan kusuapkan ke mulut berhenti diudara. Aku mencium bau yang selama dua tahun ini sangat kukenal. Bau parfum Rafa. Aku mendongak. Meletakkan kembali sendok ke mangkuk. Nafsu makanku sekarang benar-benar menghilang.

Rafa duduk di depanku dengan tatapan tajamnya. Tanpa bisa kucegah, dadaku berdegup kencang.
Aku bisa mendengar dengan jelas kasak-kusuk dari manusia-manusia yang ada di dalam kantin. Kemana sih perginya Lyana disaat aku berada dalam situasi terancam seperti ini?

“Ada masalah?” Aku bertanya dengan nada dingin.

“Aku denger kamu deket sama Arda. Apa itu benar?” Tanya Rafa dengan nada tajam juga.

Tunggu? Apa maksudnya ini? Kenapa dia bertanya padaku soal hal itu. Dan lihatlah, tatapannya benar-benar menakutkan. Aku pernah melihat tatapan itu saat dia berhadapan dengan Marvin─kasih tak sampaiku semasa SMP yang kebetulan adalah sahabat Rafa─yang setahun lalu pernah menemuiku.

“Apa itu penting buat kamu?” Sekali lagi aku bertanya.

Rafa bergeming. Aku bisa melihat dia membuka mulut siap menjawab pertanyaanku. Tapi niat itu diurungkannya. Kemudian dia berdiri dan meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Dasar aneh!

───

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang