10. Deja Vu

94 5 0
                                    

"YAN?"

Aku berteriak sambil berlari untuk mengejar Lyana yang berjalan ngebut. Aku menyalipnya dan berhenti tepat di depannya untuk menahan langkahnya. Lyana mencoba menghindariku dengan menerobos sisi kananku. Aku mencekal tangannya.

"Yan? Please, dong! Jangan kayak anak kecil begini."

Lyana menatapku tajam. "Gue? Kayak anak kecil?" Lyana tersenyum sinis. "Apa kabar lo? Yang tanpa merasa berdosa bawa Rafa ke depan Arda."

"Makanya dengerin dulu penjelasan gue," seruku tertahan. "Pertama, lo nggak bilang kalau ada Arda juga. Kedua, gue terpaksa nebeng Rafa." Aku memberi penekanan pada kalimat terakhir.

"Semalem itu gue berdiri di pinggir jalan raya depan kompleks rumah gue. Nggak tahu kebetulan atau apa, Rafa lewat dan tawarin gue tumpangan. Tadinya gue nolak. Tapi berhubung udah setengah jam nggak dapet taksi juga, makanya gue iyain. Dan lagi, gue udah larang dia ikut masuk ke starbucks. Tapi dia maksa. Gue bisa apa, coba?"

Ya Tuhan. Maafkan hambaMu yang berbohong ini. Demi keselamatan, maklumilah kebohonganku kali ini.

Lyana tidak menjawab. Dia menghembuskan napas berat. Aku menunggu dengan tegang apa yang akan dikatakan Lyana.

"Lo kan bisa tolak, Ra." Kali ini nada suara Lyana terdengar putus asa. "Gue ngerasa bersalah banget sama Arda. Tadinya gue mau bantu lo baikan sama dia. Tapi, ternyata─" Lyana menarik napas panjang.

Aku bisa merasakan mataku berkaca-kaca. Terharu atas usaha Lyana sekaligus sedih karena membuatnya kecewa.

"Maaf," kataku lirih. Suaraku mulai bergetar menahan air mata.

"Arda marah. Dia udah nggak mau lagi peduli sama lo. Itu yang dia bilang tadi pagi ke gue. Kayaknya lo harus usaha sendiri buat baikan sama dia. Itu pun kalau lo serius sama dia. Kalau enggak, lupain." Pelan Lyana mengatakan itu. Tapi terdengar nyaring di telingaku.

"Gue mau ke kantin. Dika udah nungguin buat sarapan," kata Lyana kemudian meninggalkanku.

Pandanganku buram. Aku mengusap air mataku yang membasahi pipi. Itu pun kalau lo serius sama dia. Kalau enggak, lupain. Kalimat Lyana itu kembali terngiang ditelingaku.
Aku sendiri juga bingung. Kenapa semalam aku mengiyakan ajakan keluar Rafa. Apalagi dengan bodohnya membiarkan dia ikut bertemu Lyana. Yang ternyata ada Arda juga disana.

Aku bingung. Jenis perasaan apa yang kupunya untuk Arda dan Rafa. Satu sisi hatiku mengharapkan Rafa kembali. Satu sisi lagi menginginkan Arda. Aku nyaman bersama Arda. Tapi, aku juga ingin merasakan kembali masa-masa bersama Rafa.

───

"TARAA. Fokus! Hadang Rena!"

Teriak Pak Daren memberiku instruksi untuk menghadang pergerakan Rena yang sedang mendribble bola. Akulah orang terakhir dan harapan terakhir timku untuk menghadang pergerakan Rena yang seperti bola bekel itu. Kecil tapi gesit dan lincah.

Aku melihat Verin berlari menuju aku untuk membantu menghadang Rena. Fokusku sudah mencapai titik sempurna untuk merebut bola dari tangan Rena saat tiba-tiba aku melihat dua manusia yang berjalan beriringan. Arda dan Ralin.
Sebentar. Siapa? Arda sama Ralin? Ya Tuhan. Apa sih, dosaku dimasa lalu sampai Ralin berkali-kali membuatku emosi? Kenapa dia harus muncul dihidupku dan merusak alur cerita yang sudah kususun dengan susah payah.

"TARAA?"

Aku terkesiap mendengar teriakan Pak Daren. Aku tersadar dari keterpakuanku dan saat itu juga Rena berhasil memasukkan bola ke ring yang harusnya kujaga agar tidak kebobolan. Yang harusnya dengan mudah aku bisa menghentikan pergerakan Rena tadi.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang