2. Kaleng Soda

153 8 0
                                    

"Aduh. Ketinggalan gosip banget ya, kamu. Orang satu sekolah juga udah pada tau, kali. 'Tara diputusin Rafa karena Ralin'." Masih ada sedikit perih saat ada yang mengatakan itu.

Langkahku langsung terhenti begitu mendapati Rafa muncul dari tikungan koridor ruang guru. Kalau berbalik dan memilih lewat tangga kelas sepuluh, sudah bisa dipastikan aku akan terlambat masuk kelas. Asal tahu saja, bel sudah berbunyi dari tiga menit lalu saat aku lari dari halte ke gerbang yang sudah setengah tertutup. Dan sebentar lagi bel tanda dimulainya pelajaran bisa dipastikan berbunyi.

Duh. Ya sudahlah. Pura-pura nggak melihat daripada terlambat dan kena omel Bu Farah. Itu guru kan kalau ngomel panjang banget. Bisa-bisa satu jam pelajaran hanya digunakan untuk mengomeliku. Belum lagi malunya sama anak satu kelas.
Baiklah. Pandangan lurus ke depan. Tetap cool walau jalan harus ngebut buat ngejar waktu. Pura-pura nggak lihat Rafa. Tangga nggak jauh, kok.

"Tara?"

Sial. Kenapa Rafa pakai manggil segala, sih? Nggak tahu apa kalau hatiku ini masih belum bisa menerima berakhirnya hubungan kami?
Pada akhirnya terpaksa aku menoleh. "Eh, Raf. Duluan, ya. Udah telat, nih."

Hebat. Darimana sih, aku dapat sikap dingin kayak begitu? Dan tanpa mempedulikan Rafa, aku langsung bergegas menuju tangga.
Benar saja. Baru menginjak tangga ketiga, bel berbunyi. Aku langsung lari. Beberapa kali menabrak anak yang lalu-lalang di koridor.

"Aduh!" Aku hampir terjungkal gara-gara tanpa sengaja menginjak kaleng bekas minuman soda.

Apa kurang jelas sih tulisan gede-gede di mading sekolah. BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA. Maka dengan kesadaranku akan kebersihan, aku memungut kaleng minuman tersebut dan dari tempatku berdiri yang berjarak kurang lebih dua meter dari tempat sampah, aku melempar kaleng tersebut dengan gaya memasukkan bola ke ring basket. Saat itu juga ada seorang cowok yang baru keluar dari kelas sebelas IPA 2. Dan kaleng tersebut mengenai bagian belakang kepalanya.

"Aduh!" Cowok itu memekik. Aku menghampirinya dengan perasan was-was.

"Sori... sori. Gue nggak sengaja," kataku hati-hati.

Cowok itu dengan masih memegangi bagian belakang kepalanya membalikkan badan. ASTAGA. Bukankah cowok ini adalah Arda? Si kapten sepakbola sekolah yang lagi digilai cewek satu sekolahan itu?

Wajahnya yang sempat terlihat berang tiba-tiba berubah ramah setelah melihatku.

"It's okay," kata Arda sambil tersenyum.

Suaranya berat. Semakin menambah kesan maskulinnya sebagai cowok. Tapi aku nggak menyahut. Melainkan hanya bengong menatap si Tailor Lautner versiku ini dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Ehmm... tinggi. Bahkan saat berjarak dekat seperti ini aku harus menegadahkan kepala demi menatapnya. Rambutnya berwarna coklat gelap, dipotong buzz cut tapi rambutnya sudah banyak tumbuh. Alisnya hitam tebal. Bola matanya berwarna coklat. Penampilannya agak sedikit urakan dengan kemeja yang nggak dimasukkan, aku juga bisa melihat kaos dalamnya berwarna abu-abu. Aku pasti nggak salah lihat kalau otot-otot di balik kemeja putihnya itu terbentuk sempurna. Warna kulitnya kecoklatan khas Indonesia. Dan itu semakin menegaskan maskulinnya sebagai cowok. Aku menelan ludah saat menyadari itu.

"Haloo? Lo nggak mau masuk kelas?" Cowok itu berkata lagi.

Aku sedikit tersentak. Wajahku terasa panas. "Oh... iya. Sori, ya," Kataku terbata.

Kemudian aku langsung berbalik dan berlari menuju kelasku. Sedikit pun aku tidak berani menoleh ke arah cowok itu. Malah semakin mempercepat lariku untuk menuju kelas.

"Alhamdulillah," seruku begitu tiba di pintu kelas. Semua menatap ke arahku dengan tatapan terganggu. Aku hanya meringis kemudian berjalan menuju bangku.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang