14. Kotak Pandora

99 4 0
                                    

Aku menatap Lyana yang sedang makan Soto dengan lahapnya. Nggak tahu kenapa, sejak kejadian di Classico kemarin, nafsu makanku jadi menghilang. Bahkan tanpa makan pun aku juga nggak merasa lapar.

Samar-samar aku mendengar kasak-kusuk yang menyebut namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Seketika segerombol cewek yang sepertinya kelas dua belas itu langsung diam dan sok sibuk dengan makanan masing-masing. Bahkan ada juga yang masih terang-terangan menatapku dengan tatapan menghina.

Sepertinya mulai sekarang aku harus mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini. Dicaci, dimaki, dijadikan bahan gosip. Terserah!. Silahkan lakukan itu sepuas kalian. Dan tunggu sampai aku menemukan pelaku perekayasa dan penyebar foto itu. Maka kalian akan berbondong-bondong mendatangiku untuk meminta maaf.

Dan lihatlah, Arda dan gerombolannya yang duduk di pojok kantin itu. Sebentar-sebentar menatapku kemudian tertawa. Arda sih hanya diam. Tapi teman-temannya itu lho, rasanya pengen nimpuk mereka satu persatu dengan mangkok sambal di hadapan Lyana itu. Apalagi si Rangga tuh, sialan emang tuh bocah. Padahal mereka sempat dekat denganku, lho. Bisa gitu ya, dalam waktu sekejap berubah memusuhiku?

Tadi pagi kepala sekolah memanggilku lagi. Menitipkan surat panggilan untuk orangtuaku. Surat dengan amplop warna putih yang sanggup membuat tubuhku gemetar saat menerimanya. Dan pada akhirnya surat itu berubah jadi berkeping-keping dan kubuang ke tempat sampah. Orangtuaku tidak boleh tahu tentang masalah ini. Karenanya aku harus segera menyelesaikannya.

Dari masalah yang kualami ini aku jadi tahu. Disaat kita mendapat masalah, disitulah kita tahu mana yang tulus berteman dengan kita dan mana yang tidak. Dalam kasusku ini, Lyana dan Dika-lah yang tulus berteman denganku. Dan mereka-mereka yang dulu berdiri disampingku, memujaku, sekarang berbalik menyerangku. Ya seperti Arda dan teman-temannya itu.
Sialan. Bahkan sampai saat ini pun dadaku masih berdebar tiap kali mataku bertemu pandang dengan mata Arda. Bagaimana bisa dia memusuhiku seperti ini? Dan, apa kemarin dia bilang? Aku disebut anarkis? ASTAGA.

Aku kembali menatap Lyana. “Aduh, Yan. Gue harus gimana ini?” Aku menggoyang-goyang meja dengan geregetan. Yang membuat Lyana langsung mengomel.

“Taraa. Kalau gue mati keselek gimana coba?” Omel Lyana sambil mengelap mulutnya dengan tisyu.

“Bantuin gueee!” Sekali lagi aku merengek. Memasang tampang memelas sambil menggaruk-garuk meja dengan frustasi.

“Ya gue makan dulu kali, Ra. Kalau perut gue kosong mana bisa mikir, coba?” Jawab Lyana dengan santainya. Kemudian sibuk kembali dengan Soto-nya.

“Tega lo, ya? Bisa makan disaat sahabat lo hampir gila gini,” kataku dengan merengut kesal.

“Alah. Nggak usah lebai kayak Fiby gitu, deh,” sahut Lyana dengan santainya.

“Enak aja. Elo tuh yang lebai kayak Fiby. Nggak bisa gue bayangi kalau lo jadi sama Dika beneran. Betapa sialnya orangtua Dika punya anak dan menantu yang lebai begitu,” aku berkata dengan nada mengejek.

“Sialan lo!” Lyana memaki.

Aku menghembuskan napas frustasi. Melipat kedua tanganku di meja dengan cara menumpuknya. Kemudian menenggelamkan kepalaku disana. Aku diam. Seketika suara berisik aktifitas di kantin terdengar begitu jelas. Seperti suara tawon yang berdengung tepat di telingaku. Sesekali terdengar suara sendok Lyana yang beradu dengan mangkuk. Kombinasi suara yang sangat menyebalkan. Membuat kepalaku semakin pusing dan semakin ingin berteriak.

“Siang, girls. Hai sayang, kamu cantik banget deh hari ini.”

Aku mendengar suara renyah Dika. Dan merasakan hempasan pantatnya duduk di sampingku. Seketika itu tercium wangi maskulin yang begitu lembut.

TRIANGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang