Percayalah. Hal yang paling menyebalkan dalam hidup adalah, ada yang mengganggu tidurmu di hari libur. Siapa juga sih, siang-siang bolong begini telepon? Padahal baru saja aku memejamkan mata. Aku benar-benar lelah. Lahir batin lelah. Butuh istirahat.
Bukannya apa-apa. Sabtu kemarin, seharian aku habiskan untuk menguntit Rafa. Dari jam enam pagi aku sudah stand by di depan rumahnya. Berdiam diri di dalam mobil yang sengaja aku sewa dari rental─untuk mengelabuhi Rafa. Ya kalau aku pakai mobilku sendiri atau mobil Mama-Papa, itu namanya bukan menguntit. Tapi terang-terangan.
Kalian tahu? Dari jam enam pagi aku mengamati rumah Rafa, Rafa baru keluar pukul satu siang. Aku mengikutinya. Dari toko kue lanjut ke laundry, lalu balik lagi ke rumahnya saat pukul tiga sore. Setelah itu Rafa nggak keluar rumah lagi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan rumahnya pada jam sembilan malam.
Gila. Seharian penuh nggak dapat hasil apa-apa. Nggak ada orang yang datang ke rumah Rafa sama sekali. Nggak ada pertemuan Rafa dengan orang yang mencurigakan. Nggak tahu juga sih kalau dia berhubungannya lewat telepon. Apa aku harus menyadap teleponnya? Apa perlu aku menyewa detektif sekalian saja? Ahh, masa sampai segitunya sih.
Mana nggak mandi seharian lagi. Harus rela makan di mobil. Kalian tahu apa yang kumakan? Dari pagi sampai malam yang kumakan adalah roti kemasan dan air mineral yang kubeli saat perjalanan menuju rumah Rafa.
Dan sekarang, disaat aku ingin mengistirahatkan tubuh dan pikiranku, ada saja yang mengganggu. Pagi tadi Bima yang telepon minta tolong bukunya yang ketinggalan di rumah, di kirim ke Bandung. Agak siangan Mama yang teriak-teriak memintaku pergi ke rumah Tante Meike untuk nganter kue bikinannya. Yang akhirnya aku tolak dan Mama nyuruh Bik Yati.
Dengan malas aku bangkit dari tidurku karena teriakan suara Agnez Mo yang menyanyikan Coke Bottle. (Iya, lagu lama. Jangan protes!). Aku menyahut smartphone-ku yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Aku melirik sekilas layarnya yang berkedip. Muncul nama Lyana disitu.
"HALOOOO!?" Aku menyapa dengan berteriak. Bisa kutebak, di tempatnya sana Lyana langsung menjauhkan smartphone dari telinga. Karena tercipta jeda yang agak panjang sebelum Lyana menjawab.
"Nggak usah pakek teriak gue juga denger kali, Ra." Lyana balas menjawab dengan teriakan juga. Kini ganti aku yang menjauhkan smarthphone dari telinga. Kemudian balik mengomeli Lyana.
"Lo lupa ya, Yan, kalau hari ini tuh hari Minggu?"
"Enggak! Gue inget banget malah. Dan gue minta lo sekarang buat dateng ke Classico." Lyana menyebutkan nama sebuah café di daerah Kemang. Café yang biasa kami datangi.
"Aduh, Yan. Ini tuh jam makan siang, lho. Jalanan pasti macet." Aku mencoba cari alasan. Membayangkan siang bolong begini harus bermacet ria di jalan.
"Halooo? Tara? Hari ini tuh Minggu, ya, seperti yang lo bilang tadi. Nggak akan ada yang namanya macet. Nggak sampek setengah jam lo juga bisa nyampek sini."
"Lo kayak nggak tahu Jakarta aja sih, Yan. Lagi ada penggalian gorong-gorong lah. Kecelakaan lalu lintas lah─"
"Daripada lo ngoceh terus, mendingan buruan siap-siap dan langsung ke sini. Ada hal penting yang mau gue tunjukin ke elo. Ini soal hidup mati lo," potong Lyana kemudian memutus sambungan telepon begitu saja.
Sialan. Mau nunjukin apa sih, sampai bawa-bawa hidup dan matiku segala? Dasar Lyana sableng.
Dan seperti apapun malasnya aku siang ini untuk beranjak dari kasur empukku dan kamarku yang adem ini, akhirnya aku menuruti juga permintaan Lyana.
Dan disinilah aku sekarang. Berjalan santai memasuki Classico yang disebutkan Lyana tadi. Suara empuk Norah Jones langsung menyambut begitu aku masuk café. Membuat suasana terasa adem disiang hari yang panas ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIANGLE
Teen FictionAPAPUN ALASANNYA, YANG NAMANYA PERSELINGKUHAN ITU TIDAK BISA DIBENARKAN TARA Rafa itu air tenang yang menghanyutkan. Dibalik segala sikap baiknya─yang sekali pun nggak pernah berkata kasar atau membentakku─ ternyata dia itu brengsek. Mengakhiri dua...