Abraham

319 7 0
                                    

Jakarta, 20 Juni 2015


Bagi wanita karir seperti Erisca, kata 'fokus' bersamayam dalam kamusnya. 'Libur' tidak termasuk dalam benaknya. Bekerja di perusahaan Bursa Efek Indonesia sebagai Staf Operasional Sistem Perdagangan, Erisca dituntut untuk menyediakan infrastuktur guna menciptakan perdagangan efek yang adil, teratur dan efisien. Semasa 2 tahun belakangan performa kinerja Erisca selalu memuaskan. Yang terjadi, beberapa bulan ini fokus Erisca teralih karena Arsyad yang 'tak kunjung pulang. Tak jarang ia mendapati teguran dari atasan yang menuntutnya untuk mengembalikan ke optimalan kinerja Erisca. Tiap kali sepulang jam kantor, wanita semampai berambut panjang kecoklatan itu kala mengadu pada Tuhannya di sebuah gereja dekat tempat ia bekerja. Kedua jemarinya yang putih ia satukan dan kepalkan; Erisca mengadu pada Tuhannya di sebuah gereja dekat tempat ia bekerja. Begitu khyusuk ia panjatkan segala doa dan pinta namun Ia 'tak juga mendapat petunjuk; apakah harus menanggalkan kepercayaannya dan memeluk apa yang Arsyad percayai, ataukah...Tuhan mempertemukannya dengan seorang lelaki seiman yang kelak menjadi jodohnya. Rasa cintanya kini terusik semenjak permintaan Arsyad bahwa dirinya dapat dimudahkan untuk memeluk Islam. Di satu sisi Erisca rela mengorbankan apapun demi bersama lelaki yang ia cintai belasan tahun lamanya. Di sisi lain, ia sangat mencintai keyakinannya. Menyibukkan diri dengan pekerjaan tak juga menetralkan segala rasa gelisah yang ada.

Hari itu, tepat seminggu semenjak ia mendengar suara Arsyad setelah hampir satu bulan tidak berkomunikasi.

"InshaAllah aku akan melamarmu."

Erisca butuh waktu untuk meresapi perkataan yang buatnya guncang. Apa yang telah ia katakan pada Arsyad sepersekian detik sebelum telfon ditutup ia sesali sampai detik ini.

Sore itu hujan. Erisca kembali menepikan mobilnya di sebuah gereja dekat kantor. Sepi; hanya ada ia sendiri di ruangan yang cukup besar. Bertekuk lutut dihadapan patung Bunda Maria, Erisca tak bisa lagi membendung tangis,

"Erisca?"
Suara lelaki memanggil namanya, tak perduli yang ia panggil itu sedang hikmatnya memanjatkan doa. Erisca menoleh. Bola matanya yang besar dan kecoklatan mendelik, mencari arah suara itu. Ia terkejut,

"Abraham?"

الله أكبر

"Gak nyangka banget bisa ketemu kamu lagi."

Lelaki berkulit putih itu bernama Abraham, teman kecil Erisca sewaktu di bangku SD. Setelah pertemuan yang tidak disengaja dalam gereja sore tadi, mereka berdua menepi di sebuah kedai kopi dekat Veteran. Walau mata masih sembab, Erisca berusaha senyum, mencari-cari topik seakan tidak terjadi apa-apa.

"Ketemunya di gereja, pula."

"Berkat Tuhan, ya."

Sudah lama sekali rasanya telinga Erisca tidak mendengar kata-kata mengandung pujian pada Tuhannya. Memang benar dalam benak Erisca bahwa semua yang terjadi karena berkat Tuhan, karena Tuhan memberkati. Sekilas wajah Arsyad yang sempat melekat dalam benaknya, dalam rohaniah nya, pudar.

"Sekarang kerja dimana, Ca?"

"Bursa Efek, Bra. Kamu?"

"Oh aku masih sama, nerusin bisnis papa. Kamu masih inget, kan? Cita-citaku dulu?"

Erisca tertawa, "jadi Astronot?"

"Bukan! Yang kamu inget 'mah itu doang."
sembari menghirup kopi panas, Erisca menyeringai, "ooh...perhotelan, kan?"

"Puji Tuhan masih inget kamu."

"Puji Tuhan..."

Kedua alis mata Abraham beradu heran, "kenapa, Ca? Aku salah ngomong, ya?"

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang