Petunjuk yang Tak Kunjung Datang

221 8 0
                                    


Mekkah, 15 Agustus 2017


Sudah masuk waktu Syuruk, rupanya. Arsyad dan Rumi sukses tertinggal shalat shubuh, apalagi shalat tahayatul masjid dan qobliahnya yang dimana diantara waktu sebelum shalat yang wajib, paling mustajab untuk panjatkan segala doa. Hilang sudah seratus ribu kali pahala... fikir mereka berdua. Masjid Nabawi dan Masjidil Harram adalah pusat 'mengeruk pahala' sebanyak-banyaknya; seperti mengeruk emas atau harta karun dalam suatu gua berlantaikan tanah. Satu kali shalat di Nabawi, manusia dapat menuai seribu pahala dibanding masjid lainnya sementara di Masjidil Harram...seratus ribu kali lipatnya. Bayangkan, bagaimana Arsyad dan Rumi tidak lemas?

"tudhkar , la taghdib min alqalb. Ini di Harram."

Arsyad memegang pundak Rumi yang sudah terduduk pasrah di plataran masjid, mengingatkannya agar tidak terbesit sedikitpun amarah, atau kecewa di tempat yang suci ini. Walau baru kenal, Arsyad sudah bisa menebak kepribadian Rumi yang sedikit obesesif dan tempramental. Karena apapun bisa terjadi; sebuah perkataan mengandung unsur negatif bisa dalam hitungan detik berbalik pada kita, perbuatan melenceng dapat ditegur Allah secara langsung, hukum karma mudah sekali terjadi di rumahNya.

Lengan Arsyad meraih tangan Rumi dan mengajaknya untuk berdiri. Lalu keduanya memanjangkan leher, mencari dari gerbang mana mereka bisa masuk dan menuju ka'bah karena belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di Baitullah. Rumi melihat segrombol orang masuk dari sebuah gerbang bertuliskan "King Abdul Aziz Gate."

"Kayaknya lewat situ, deh."

Tebaknya. Langkah kaki dua pria itu pun dengan mantap menuju ke gerbang tersebut. Ada sejumlah lelaki berperawakan Arab dengan seragam mirip tentara sibuk berteriak kesana kemari di pagi buta. Bahkan ayam saja belum berkokok, benak Rumi.

"Kalau yang saya baca dari resensi buku tentang Haji dan Umrah, ada yang namanya Askar. Seperti itu orangnya," telunjuk Arsyad menunjuk pada satu Askar yang wajahnya galak bukan main. Askar pria itu lantas sadar dirinya ditunjuk.

"madha tushir fi wajhi?!" Apa yang kamu tunjuk?!

Bentaknya. Rumi langsung mesikut Arsyad yang belaga punya ide menunjuk-nunjuk si Askar; bak membangunkan singa tidur. Bermodalkan senyum indah dengan lesung pipit di samping kiri, Arsyad optimis bisa melalui Askar dengan mudah, kemudian masuk kedalam masjid, "Assalamualaikum." sapanya lembut. Mata Askar masih tajam tertuju padanya, ia berusaha tak sekalipun memandangnya.

"aftah alsanadil alkhasat bik" Buka sandalmu.

Perintahnya melihat Arysad masih menggunakan sandal,

"kl alhaqi" Baiklah. turutnya. Berhasil juga akhirnya Arsyad dan Rumi menerobos gerombolan manusia dari beragam negara. Badan mereka jauh lebih besar dan tinggi dibanding Arsyad dan Rumi. Kalau tidak saling berpegangan, sudah tenggelam mereka dibuatnya

"Allahuakbar..Allahuakbar.."
Kotak hitam besar bagaikan magnet bumi itu terpampang nyata oleh pandangan Arsyad; ia tak kuat membendung haru. Seketika badannya merunduk, Arsyad bersujud ditengah orang yang berlalu lalang. Tidak lagi perduli apakah ia akan diinjak manusia-manusia berbadan besar itu, atau terdorong, atau apapun, yang ia ingin lakukan saat itu juga adalah bersujud. Sujud syukur akhirnya dapat menjadi tamu Allah. Diundang oleh Allah. Banyak orang berezki melimpah tapi tak terfikir untuk datang. Segilintir manusia yang terpilih oleh Allah harusnya bangga, harusnya haru. Dan segelintir orang itu termasuk Arsyad dan Rumi.
"Sampai juga kita disini, Syad.." Tangis Rumi terisak-isak. Arsyad memeluknya. "Alhamdulillah."

Beribu orang sedang melakukan tawaf , kebanyakan yang ber ihram. Saat itu bukan musim haji melainkan musim umrah. Namun baik haji maupun umrah, putaran manusia melakukan tawaf tak pernah henti dan tak pernah mungkin akan sepi. Selama manusia masih berotasi mengelilingi ka'bah, maka bumi masih hidup, dunia ini masih berputar, Kiamat belum akan terjadi. Sedikit demi sedikit Arsyad dan Rumi berusaha mendekati Ka' bah, menyerong untuk dapat memotong barisan yang begitu rapatnya demi keinginannya untuk mencium Hajar Aswad; batu yang dijatuhkan Allah dari syurga. Begitu mendekati Hajar Aswad, perjuangan menjadi luar biasa berat. Dorongan dari seluruh penjuru mata angin. Sebelum bisa menyentuhnya nyaris kehabisan tenaga. Perut dan dada terasa sakit. Tubuh mereka terasa mengikuti ke manapun arus dorongan manusia. "Allahu akbar,'!' Arsyad berteriak keras. Tangan kiri menyentuh plat Hajar Aswad. Hatinya mengembang. walau sayang hanya setelah 15 menit kemudian kembali lepas. Rumi yang cukup beruntung. Dengan mengerahkan segala tenaga dan Arsyad sebagai barikade di belakangnya, ia berhasil menyorongkan kepala ke arah Hajar Aswad, walau untuk sepersekian detik tersangkut dan sempat panik karena ihramnya ikut tersangkut pula oleh lengan pria Tunisia ketika dirinya tak berdaya di situasi seperti itu. Beruntungnya, walau berhimpit-himpit Arsyad dan Rumi berhasil sampai pada Multazam. Arsyad menangis tergugu-gugu mengingat sabda Rasul bahwa "Tak ada satu pun do'a seorang hamba di Multazam kecuali akan dikabulkan."

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang