Wanita Ber-Miqob Itu

164 6 0
                                    

Mekkah, 22 Agustus 2015


Sedari pagi Arsyad sudah berada di mesjid, meninggalkan Rumi sendiri di rumah susun yang mereka huni semenjak kemarin malam. Untuk perkiraan dua minggu, harganya tak terlalu mahal. Pemiliknya adalah orang berkebangsaan Afrika, menurut Arsyad dan Rumi sang pemilik cukup baik karena mau menyalakan pompa air panas tanpa paksaan. Ketika ditanya Arsyad, "hallal?" pria bernama Khalil itu memasang raut ikhlas tak ikhlas, namun ikhlas juga pada akhirnya.

"Hallal." jawabnya ketus.

Arsyad merasakan sejuknya berada didepan ka'bah. Karena sudah berada di mesjid bahkan sebelum fajar, Allah memberikannya hadiah berupa tempat 'VIP' untuk shalat dan duduk bersimpuh sembari berdoa ditengah ramainya manusia ber tawaf. Hingga akhirnya waktu syuruk tiba. Semakin banyak orang datang dari belakang plataran ka'bah, dan mulai terdengar suara-suara lantang para Askar baik yang wanita maupun pria.

"Cepat! Cepat! Hajjah Cepat!"

Teriak seorang Askar wanita, terdengar oleh Arsyad yang sedang khyusuk berdoa. Kerasnya bagaikan guntur yang menyambar gendang telinga. Menerka-nerka, sepertinya suara itu datang dari sebelah kiri, fikirnya. Ketika ia coba menoleh, dari kejauhan tampak sepasang bola mata yang tidak tertutup oleh miqob. Doa Arsyad terhenti. Pandangan askar wanita itu tertangkap olehnya. Hatinya tergetir sesaat, kemudian ia menoleh lagi ke ka'bah.

"Ya Allah."

ujarnya spontan. Sepuluh detik berlalu dan wanita ber miqob itu hilang dari pandangannya. Memejamkan mata Arsyad berusaha kembali berdoa. Ia pejamkan sekali lagi dengan seluruh kekuatan batinnya mencoba untuk menghadirkan hatinya pada Allah. Arsyad akhirnya kembali membuka matanya dan menggelengkan kepala. Ada yang salah, benaknya bergumam. Mau tidak mau raganya memaksa untuk berdiri, ingin mencari siapa wanita ber miqob itu? ; yang telah mengusik kekhusyukannya. Yang pandangannya telah mengintervensi dialognya dengan Allah. Terdiam sejenak agar tak mengambil langkah gegabah, pada ujungnya gegabah juga. Langkah kakinya cepat menembus kerumunan sembari celingak-celinguk. Banyak sekali orang dari Tunisia berbadan besar dan tinggi membuatnya harus berjinjit demi mencari wanita yang bahkan sama sekali tak ia kenal. Begitu banyak wanita berjubah hitam dengan miqob, mempersulitnya untuk mengidentifikasi wanita mana yang ia lihat tadi. Arsyad terus berjalan kedalam mesjid, berfikir dibagian mana dalam mesjid ini ikhwat dan akhwat dapat berpapasan. Bak orang linglung, yang dilakukannya hanya berputar-putar di area yang sama. Tetap saja, tidak terlihat pemilik sepasang dua bola mata itu. Mengingat-ingat tatapannya yang mengundang kesejukkan; sedemikian lembut mengaliri relung-relung hati.

"Syad!."
Rumi berteriak, muncul dari kerumunan, "antum kok 'gak bangunin saya? Sudahlah hilang syuruk dan Dhuha, hampir saya terlewat Dzuhur. Saya 'gak mau hidup di neraka delapan puluh ribu tahun."

Celoteh panjang Rumi.

"Sebelum ayam berkokok saya udah disini. Percuma bangunin antum. Mau ada kebakaran sekalipun antum 'gak akan bangun. Yang ada saya malah terlewat semua shalat mustajab kalau sibuk bangunin situ."

Kesal Arsyad sembari masih mencari-cari keberadaan wanita yang ia cari. Rumi menyadari sesuatu. Kemudian menembak Arsyad dengan sebuah pernyataan singkat tanpa embel basa-basi.

" Tenang aja, Syad. Nanti juga ketemu."

Arsyad terbelalak, "loh?? antum kok-"

"Udah saya bilang, saya tukang tafsir mimpi."

Sambar Rumi agaknya membanggakan diri, tersenyum. Dahi sahabatnya itu pun mengerenyit, "apa hubungannya penafsir mimpi dengan antum menerawang pemikiran saya?"

"Ya jelas ada hubungannya! Biasanya, yang diberi kelebihan seperti saya punya intuisi dan insting yang lebih dibanding orang lain. Sensitivitas saya bisa dibilang lebih tinggi dari antum. Saya banyak mengandalkan perasaan ketimbang rasio."

Jelas Rumi panjang yang sebetulnya masuk akal juga. Raut wajah Arsyad seakan menimbang-nimbang apakah Rumi tidak sedang 'waham' akibat terlalu lama tidur. Tadinya sempat tidak percaya dengan omongan Rumi sebagai penafsir mimpi. Tetapi untuk kasus ini...Arsyad jadi berfikir akan sesuatu.

"Kalau...antum tafsirkan tatapan mata seseorang, bisa? Apakah itu termasuk...-"

"Syirik? Naudzubillahminzalik!"

Sambar Rumi juga membentak, sungguh-sungguh menolak pemikiran konyol Arsyad bahkan sebelum ia menuntaskan perkataannya.
"Dengarkan dulu. Yang saya maksud adalah dosa. Apakah menerawang pemikiran seseorang lewat tatapan matanya termasuk dosa dalam arti 'menelanjangi' batinnya?"

"Hmm..." Bola mata Rumi melirik keatas; berfikir. "Kalau kata Syeikh saya dulu, memang, 'ain mengandung rahasia batin seseorang. Saya jujur tidak berani kalau antum minta tolong mengartikan sebuah tatapan. Itu sama saja seperti membuka aibnya."

Mata Arsyad pun berhenti mencari. Degup jantungnya tak lagi cepat, fikirnya dengan cepat terkalibrasi kembali kepada niatannya ke Baitullah untuk berdoa. Bukan yang lain. Untuk apa mencari wanita itu? Kembali ia terzalimi oleh syaiton sang pengusik hati; terus berusaha agar Arsyad mengalihkan fokusnya pada hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan dirinya yang sedang mengejar cinta Allah.

Pernah ada satu cerita tentang bagaimana Allah menunjukkan petunjuk pada hambaNya yang meminta.

"Abdul Muthalib adalah kakek Nabi Muhammad SAW yang dipercaya kaumnya untuk mengurus mata air Zamzam. Tugas ini merupakan warisan dari Qusai, kakeknya. Pernah terjadi, sumur yang biasa mengeluarkan air itu mendadak berhenti mengalir karena terseumbat. Abdul Muthalib risau akan itu. Tidak setetes pun air keluar dari dalam sumur. Ia lalu bersimpuh di dekat pintu ka'bah, menegadahkan tangan sambil berdoa. Dalam do'a itu ia meminta agar Allah menunjukkan letak sumur Zamzam dan memberitahuka sebab musabab tidak keluarnya air mukjizat itu. Doa'anya terkabul, suatu malam ia bermimpi didatangi seorang pria berjubah putih. Orang itu menunjukkan letak sumur Zamzam dan sekaligus menjelaskan air Zamzam itu tersumbat lantaran permukaan sumurnya tertimbun pasir. Abdul Muthalib kemudian terbangun dan merasa itu adalah sebuah petunjuk. Ia kemudian diperintahkan untuk menggali sumur itu."

Petunjuk Allah bisa datang dari mana saja, dengan beragam kejadian dan bentuk, mendadak atau secara perlahan, tersirat atau tersurat. Arsyad baikpun Rumi sebenarnya belum mengetahui petunjuk seperti apa yang mereka cari. Separuh dari fikirannya masih terbalut duniawi; dan itu sangatlah manusiawi. Permasalahan cinta masih mendominasi, permintaan rezeki masih dalam nomor urut wahid, kemudian petunjuk apa yang mereka kejar? Petunjuk untuk dapat menyelesaikan segala persoalan di dunia. Tidak bisa dipungkiri; manusia selalu ingin mendapati dirinya puas. Mungkin jika bisa disimpulkan; Rumi bahkan Arsyad sekalipun berusaha mengimbangi keinginannya untuk memuaskan diri sembari berusaha semampu mungkin menghadirkan hati hanya untuk Allah, agar jika di padang mahsyar kelak timbangan amalan akan memberat pada pahala ketimbang dosa. Amalan untuk akhirat lebih banyak ketimbang dunia. Untuk saat ini, sebagai manusia yang jauh dari sempurna, hanya itulah yang bisa Arsyad lakukan. Hanya itu cita-cita Arsyad; tidak ada yang lain.

الله أكبر

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang