Ganjil

135 10 0
                                    


Allah menyukai angka-angka ganjil; tiga, tujuh, sebelas— Kenapa? Allahualam; tidak perlu dipertanyakan tak pula difikirkan. Misal, beberapa ahli agama menyarankan untuk memakan kurma tujuh dalam sehari, beberapa juga menyarankan untuk membasuh wajah dengan air yang dilarutkan bubuk daun bidara tiga kali setiap harinya guna membentengi diri dari jin dan syaiton jahat. Mungkin angka-angka tersebut hanya sebuah regulasi yang Allah perintahkan, tertulis dalam Qur'an dan hadist agar hamba-hambaNya yakin bahwa dengan melakukannya sesuai peraturan akan memaqbulkan apa yang diinginkan. Sebenarnya ini hanya masalah iman dan apa yang diyakini; jika manusia yakin akan ketentuan Allah, jika kamu berprasangka baik terhadapNya, insyaAllah segala yang dipinta akan terkabul. Begitu juga dengan kebimbangan Arsyad akan yang dinamakan 'kesempatan.' Sebagaimana yang dikatakan dan diyakini Syeikh Rahmat bahwa Allah berikan lebih dari 'tiga' kesempatan—benar adanya. Orang awam yang tidak mengenal agama akan berkata "kesempatan tidak datang dua kali"—bahkan Allah memberi lebih dari tiga kali bagi hambaNya untuk berikhtiar, mencoba, demi mendapatkan apa yang diinginkan. 3 memang hanya sebuah angka ganjil yang Allah sukai, namun yang dipertanyakan kini adalah keyakinan yang manusia pupuk terhadap angka 3 tersebut. Yakinkah manusia bahwa kesempatan datang lebih dari 3 kali? Lalu...akankah Allah memberi kesempatan lebih dari 3 kali jika hambaNya tak juga percaya? Allahualam.

"Eh! Antum kemana tadi?"

Rumi menutup Qur'an yang sedari tadi dibacanya ketika melihat Arsyad datang dari kejauhan. Sudah lebih dari satu jam Arsyad meninggalkan Rumi yang sedang mengaji di pojok mesjid. Sebenarnya, perbincangan antar Arsyad dan Syeikh Rahmat hanya berlangsung 15 menit; 45 menit terbuang hanya untuk meredam emosi dan berwudhu.

"Itu," Ia menarik nafas panjang, "saya diajak berbincang."

"Oleh Syeikh tadi?"

Arsyad mengangguk menanggapi pertanyaan Rumi. Wajahnya masam.

"Kok...wajah antum kayak karpet habis digulung begitu? Kusut amat."

"Enggak," sesaat terhenti kemudian bola matanya melirik keatas, "ah sudahlah."

Rumi heran, "Antum ya. Kalau ngomong suka sepatah-sepatah. Untung saya orangnya sabar, nggak pemarah."

"Masa?"

"Yee. Saya bisa sih berubah jadi pemarah. Tapi karena kita patungan untuk tinggal di flat yang sama, sekamar pula, segan saya marah sama antum. Takut antum 'gak bayar. Takut saya 'gak punya tempat tinggal."

Ujar Rumi polos. Kerasnya raut wajah Arsyad pun berubah dan mencair. Memang di saat-saat seperti ini, Rumi lah satu-satunya penghibur dengan kepolosan dan keluguan yang tanpa diragukan tidak dibuat-dibuat.

"Jadi...antum kenapa? Syeikh tadi ngomong apa?"

Bisik Rumi. Butuh beberapa detik bagi Arsyad untuk mengucap sebuah kata.

" Kata Syeikh," ia memulai, "Allah memberi lebih dari tiga kesempatan."

"Kesempatan untuk?"

"Untuk saya mengejar apa yang saya inginkan."

"Apa yang antum ingin?"

"...Adeeva."

Ujarnya, mutlak. Ia pun tidak tahu mengapa nama itu terucap lantang begitu saja. Seketika ada rasa malu terbesit di hati, menatap Rumi yang mulai tersenyum jahil.

"Bener kan kata saya. Antum jatuh cinta! Syeikh aja tau dan mendukung hati antum. Tunggu apa lagi?"

"Hus!"

Tawa Rumi menjadi, kemudian mendadak terhenti melihat orang-orang yang mulai melirik menanggapi suaranya.

"Kalau mau ketawa jangan di masjid!"

Protes Arsyad. Rumi menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Asif..." bisiknya

Siapa yang tidak mengenal kata cinta, atau merasakan Cinta? Cinta hadir sejak zaman nabi Adam diciptakan. Lantas diciptakanlah Hawa sebagai pasangan hidupnya; menjadi bagian dari tulang rusuknya. Cinta merupakan fitrah alami manusia dan tanpa keberadaan cinta, hidup tak bewarna—tak sempurna. Tiada keganjilan dalam mencinta selain mencintai manusia lebih dari kadarnya. Porsi cinta untuk Allah tentunya harus lebih besar; maka itu cinta diturunkan agar manusia selalu bersyukur; mulai dari mencintai apa-apa yang telah Allah berikan hingga mampu memberikan cinta kepada hambaNya yang lain agar orang tersebut semakin bersyukur karena dicintai. Salah, jika mengatakan bahwa memendam rasa cinta itu salah. Salah, jika mengatakan bahwa mengungkapkan kata cinta itu tak lazim. Buktinya, Rasullullah SAW saja selalu memberikan kehangatan dan mengekspresikan cinta pada isteri-isterinya, terutama Aisyah. Beliau selalu memberi Aisyah kehangatan dan ini termasuk dalam penyempuranaan ibadah di dunia. Allah berjanji apabila ada hambaNya yang melakukan kebaikan dengan berusaha memelihara kasih sayang dan menjaga cinta antar mereka karena Allah, Allah akan semakin mendekatinya. Bila hambaNya mendekati dengan berjalan, Allah akan menjemputnya dengan berlari. Begitulah kekuatan cinta bermain andil sangat penting dalam kehidupan manusia; bukan hanya di dunia namun menembus akhirat.

Semenjak pertemuannya dengan Syeikh Rahmat, hati Arsyad terbelah menjadi dua; di satu sisi serasa mantap dan yakin, di sisi lain meragu. Harusnya ia percaya pada imam belia tersebut. Tak mungkin tidak memiliki insting kuat, atau yang disebut Ma'unah jika minim ilmu Islam. Yang buatnya meragu adalah; mendahului ketentuan Allah. Kemudian ia berfikir kembali "bagaimana jika perkataan Syeikh Rahmat merupakan sebuah petunjuk? Mungkinkan ia diutus oleh Allah untuknya agar sadar betapa dekatnya jodoh itu? Antar hati dan otak berpacu bak kuda berlomba menuju garis akhir. Keduanya mempunyai tujuan yang sama; menjadikan wanita bernama Adeeva sebagai istri kelak. Hanya saja, apakah melalui hati yang lebih dulu meraih impian Arsyad? ataukah rasio yang berkata bahwa masuk akalkah menjemput jodoh yang sudah nyaris menjadi jodoh orang lain.

Hari itu menjadi hari terburuk semasa hidup Arsyad. Waktu-waktu genting sebelum matahari terbenam yang menandakan datangnya malam—yang menandakan bahwa ada hari bernama 'esok'—yang berarti Adeeva akan menjadi milik lelaki lain. Mencari Adeeva di dalam mesjid bukanlah mudah, apalagi ketika tidak terlihat sama sekali. Arsyad bahkan tidak tahu di pemukiman mana Adeeva tinggal.

Akhirnya Arsyad kalah oleh rasionya yang berkata bahwa perkataan Syeikh Rahmat hanya senda gurau saja. Seharusnya ia percaya—seharusnya ia kembali mempertanyakan bagaimana agar tidak menyia-nyiakan kesempatan yang Allah telah beri—bagaimana menjadi seorang yang yakin akan ketentuan dan segala petunjuk dalam hidup. Dari ujung gerbang bernomorkan 17 Arsyad berlari menuju saf terdepan dalam mesjid, berharap masih bisa bertemu dengan pria yang tadinya ia ragukan itu.

Di waktu yang sama, Adeeva sedang berlari jauh. Sangat jauh dari tempat tidurnya. Kakinya mengayuh kencang demi meninggalkan kesedihan dibelakang, nafasnya terengah sebagai pengganti tangis, bulir keringatnya menetes menutupi air mata yang deras mengalir di pipi. Sungguh tidak lagi ada kekuatan dalam dirinya untuk mengelak rasa kecewa. Terbayang hari-harinya bersama Bilal waktu kecil dulu, janji mereka berdua, ayunan, rumah pohon, iqro berwarnakan sama, kini hanyalah memori. Hanya karena Ayah wafat kemudian membuatnya 'lari'...betapa kecil keimanannya. Betapa kecil daya juang dan pengorbanannya. Ketika semua seakan salah, menjauh, rasanya seperti sebuah 'hukuman'.... disitulah keajaiban datang tanpa diduga. Allah menyukai hamba yang pasrah. Ikhlas. Maka hadiah yang tak ditunggu pun akan datang bukan hanya sekedar mampir saja.

"Astaghfirullah."

Kayuhan kakinya melambat hingga Badan Adeeva tersungkur tepat di depan gerbang ke 17 mesjid. Pemilik badan yang menabrak dirinya pun ikut jatuh tersungkur.

"Astaghfirullah."

Ucap lelaki itu sembari merangkak agar dapat berdiri melihat siapa yang telah ia tabrak. Ternyata... Allah memberi petunjuk dan hadiah dari cara apapun yang Ia kehendaki.

الله أكبر

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang