Gores

136 9 0
                                    

Mekkah, 1 September 2019


Dua hari setelah pertemuannya dengan Almeer diujung jalan Ajyad, Adeeva semakin gelisah. Tidak mungkin rencana lelaki biadab ini terjadi jika ia tidak melakukan sesuatu, fikirnya. Permasalahan terbesar adalah: ketidakmampuannya untuk meminta bantuan kepada orang terdekat, karena takut akan mengancam nyawa-nyawa mereka. Bilal, contohnya; kakak lelaki satu-satunya Adeeva yang masih dan sampai kapanpun menjadi wali setelah kepergian ayah mereka sedari kecil. Ayah menitipkan Adeeva pada Bilal untuk dijaga, dilindungi, hingga diantarkan kepada lelaki yang tepat. Apa jadinya jika pernikahan ini terjadi? Bisa-bisa Bilal tewas diterkam sang 'singa berbulu domba', begitu ia menyebutnya. Mengikuti rasio, rasanya Adeeva ingin nekat melaporkan Almeer kepada pihak kepolisian atas kasus 'pemaksaan' kemudian tersadar bahwa betapa konyolnya ide itu. Mengikuti kata hati, tidak ada yang bisa dilakukan selain berserah diri pada Allah dan menunggu petunjuk. Sebagai perempuan, mengandalkan rasio seharusnya bukan suatu pilihan karena sudah kodratnya diciptakan untuk menjadi pemelihara rasa. Jadi mengandalkan hati adalah metode terbaik guna menemukan titik terang dari tiap perkara.

Selepas Ashar, Adeeva meminta izin pada Avonga untuk pergantian shift yang lebih awal. Ia ingin duduk bersimpuh di mesjid menunggu waktu Magrhib sembari mengaji dan berdzikir sebanyak pasir di bumi, jika mampu. Adeeva percaya tidak ada lagi cara lain selain meminta, dan ketika Allah senang dengan hambaNya yang pasrah, petunjuk itu muncul.

"Arsyad."

bisiknya, terkejut sendiri.

"Ya Allah, Arsyad!"

Senyumnya merekah. Cepat-cepat ia letakkan Qur'an pada tempatnya, kemudian berdiri dan melangkah kearah saf lelaki dekat container air zam-zam; dimana ia bertemu Arsyad pertama kali. "Petunjuk itu muncul," ya, tak pernah terfikir di benak nya bahwa Arsyad adalah 'penolong' yang diutus oleh Allah untuknya. Adeeva berjinjit ditengah padatnya orang-orang berbadan tinggi lalu lalang, mencari wajah yang telah ia nanti-nati, dan benar saja, lelaki itu sedang berjalan kearah container zam-zam; persis seperti waktu pertama kali bertemu.

"Arsyad."

Tadinya merunduk untuk mengambil air zam-zam, suara itu membuatnya mendongak. Suara yang ia kenali, yang ia nanti akan terdengar kembali di telinga. Suara Adeeva.

"MasyaAllah"

Bisiknya pada diri sendiri. Dengan jantung yang agak berdegup kencang ia menegakkan badan dan bersyukur pada Allah bisa menatap mata indah itu lagi. Terlepas dari pembicaraan lelaki bernama Almeer yang mengaku sebagai kekasihnya, Adeeva sungguh...sosok wanita indah, lebih indah dari bunga-bunga mawar yang mekar di pekarangan. Pandangannya seakan membawa Arsyad kedalam dimensi lain. Bagi Arsyad, ialah ciptaan Allah mendekati sempurna, buatnya semakin mengimani keagunganNya dapat menciptakan tiap manusia dengan kesempurnaan nya yang berbeda-beda.

"Kayf halik" Apa kabar?

Adeeva tersenyum malu menjawabnya, "Baik, Alhamdulillah."

"Syukurlah."

Arsyad tertunduk malu, kemudian keduanya jadi gagu.

"Ada... ada yang bisa saya bantu, Adeeva?"

Adeeva mengangguk agaknya ragu. Matanya melirik ke kiri dan kanan, seperti takut ada yang melihat mereka berdua; jelas terlihat dan menjadi sorotan jamaah. Bagaimana tidak? dengan begitu banyaknya manusia beribadah di masjidil Harram, akhwat dan ikhwat yang keluar dari saf nya menjelang adzan Maghrib hanyalah mereka berdua.

Tiba saatnya bibir Adeeva melontarkan sebuah kalimat.

...Seketika, Arsyad terdiam bisu, entah kenapa seperti tidak ada kewajiban baginya untuk menjawab. Kini, yang Adeeva pandang bukanlah sepasang bola mata lembut. Tersirat sedih, seakan kecewa mendalam dibalik tatapannya. Hati Adeeva hancur seiring adzan berkumandang ketika Arsyad memutuskan untuk melangkah jauh darinya. Ini bukan yang ia mau dan hatinya mulai meragu dengan...petunjuk Allah.

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang