Suratan Takdir

247 10 0
                                    

Al-Madinah, 13 Agustus 2015


Sebagaimana mestinya, tidak ada yang bisa dilakukan, diusahakan, diperjuangkan jika yang Maha Kuasa sudah bertitah. Arsyad tidak bisa menentang ketentuan Allah bahwa Erisca telah pergi, sekuat apapun mencoba pertahankan, Erisca sudah memilih yang ia yakini yaitu bersama lelaki seiman. Tepat satu bulan lalu, sebuah telfon tertuju pada calon pendamping Arsyad, berharap akan menjemput kekasihnya dalam kurun waktu sebulan kemudian akan bersama selamanya. Ternyata Arsyad salah langkah; mendahului ketetapan Allah. Mungkin saja ini sebuah hukuman kecil, atau petunjuk, atau memang suratan takdir yang tak bisa diganggu gugat oleh seorang manusia lemah berlumur dosa. Tidak henti-henti Arsyad memohon ampun pada Al-Ghofur. Dalam sepertiga malam selalu ia panjatkan doa taubat. Takut bahwa hatinya yang terlanjur tergores karena melepas Erisca pergi mengelabui imannya.

Sore itu Arsyad membiarkan hujan lebat mengguyur dirinya. Ia biarkan gemuruh suara petir membising di telinganya. Semesta mencoba mengusik ia pun tak perduli. Ia patah hati. Bukan pada sang Khalik, namun pada mahkluk yang diciptakanNya. Walau terdengar sama saja, namun ia berusaha membohongi dirinya sendiri. Arsyad berusaha mengelabui pemikirannya dengan alasan demi alasan agar tidak mensagkut pautkan sang pencipta dengan kekecewaannya pada Erisca. Pada kenyataannya, memang Erisca tak akan pernah lagi sama. Ketika Allah sudah bertitah, terjadilah. Tak ada yang dapat dilakukan selain berpasrah atas segala keputusanNya.

Hari itu crew boat menepi pada pelabuhan Yanbu yang terletak di perbatasan laut merah; sekitar 300 km dari Pelabuhan Islam Jeddah. Sebelumnya sudah terjadi percakapan antara Arsyad dan sang atasan yang berasal dari Saudi tentang permohonan untuk resign. Tak lagi menjadi pegawai perusahaan minyak tempat ia bekerja.

"Limadha turid alaistiqala?" Mengapa kamu ingin resign?

"'Urid aldhahab 'iilaa maka" Saya ingin ke Mekkah.

Lelaki bernama Hakeem itu terlihat agaknya geram. Walau begitu, sedikitpun Arsyad tak terusik. Bukan karena keputus-asaan, bukan karena ingin melarikan diri. Ia betul-betul ingin menjadi musafir; menempuh perjalanan panjang agar bisa menginjakkan kaki di tanah Harram, rumah Allah, dimana segala doa diijabah, curahan cinta Nya menyerbak keseluruh raga dan rohaniah hamba-hambanya yang ikhlas dengan segala ketentuanNya, dimana ia bisa mengadu bukan sekedar mengadu; memohon pertolongan hingga pengampunan. Meminta agar dapat menanggalkan seluruh hasrat dunia, seperti ayahnya.

"Antum yakin dengan keputusan ini?"

Tanya Harun ketika sampai di pelabuhan. Karena dalam beberapa jam lagi mereka berdua akan terpisah oleh destinasi yang berbeda dan Harun masih belum puas rasanya ingin menimpali sahabatnya itu dengan sejuta pertanyaan mengapa konyol sekali melepaskan jabatan dengan alasan ingin hijrah. Kedua alisnya beradu, menatap dalam Arsyad.

"Kalau Antum resign...antum 'gak bakalan bisa balik lagi. Percaya sama gue."

"Gue pingin berkunjung ke Baitullah, Run...menjadi tamu Allah. Mungkin ini satu-satunya cara agar gue bisa lebih mendekatkan diri padaNya. Apalagi sih yang dicari di dunia ini selain materi?"

"Syad-" Harun menepuk bahu Arsyad, "makan perlu uang, minum perlu uang, buang air kecil aja dipalakkin uang. Masa antum tega sama diri sendiri dengan gaji antum yang masih bisa dibilang minim, antum tinggalin gitu aja?

"shukraan lak ealaa aihtimamik walikuniy ln 'aghayr nayti lilhujrat fi sabil allah." Terimakasih atas kekhawatiranmu. Namun aku tidak akan mengubah niatku untuk tetap berada di jalan Allah.

"MasyaAllah Syad..."

Harun tak lagi bisa berkata-kata. Arsyad memang sangat mantap untuk menempuh perjalanan panjang ke kota Mekkah, dan mungkin menetap disana selama visa nya masih berlaku. Sahabat Arsyad itu memeluknya erat.

"'ana fakhur bik, Arsyad." Saya bangga denganmu, Arsyad.

"Syukran...antum jaga diri baik-baik ya."

"InshaAllah. InshaAllah..."

الله أكبر

Dua ratus empat puluh enam kilo meter adalah jarak tempuh Yanbu ke Al-Madinah; rumah baginda Nabi Muhammad Sallalahu Allaihi Wassalam. Sebuah bis berwarna hitam merupakan kendaraan yang mengantar Arsyad pada kota suci, kota bersejarah, kota yang penuh rindu. Siapa yang tidak merindukan Rasulullah? Begitu dashyat cintanya pada tiap relung hati ummati. Surya yang menyinari kelamnya hati manusia, purnama penerang gelapnya jiwa, agungnya cinta Nabi pada tiap umatnya, pada tiap sesama. Rindu terhadap Rasul mengalahkan segala rindu antar manusia, menepiskan cinta yang terasa dalam padahal hanya bisikkan syaiton yang mengelabui. Arsyad sadar akan itu. Cintanya pada Erisca membawa kegelisahan; takut kehilangan. Sepanjang jalan menuju Madinah Arsyad tak kuat membendung haru mengingat perjuangan Rasulullah menegakkan Islam, mendoakan tiap umatnya agar selalu rindu akan cahaya Allah, mencintai Allah melebihi apapun, agar bisa bersamanya di taman syurga. Dadanya sesak. Beristighfar; bibir Arsyad tak henti mentuturkannya. Ia harus meninggalkan cintanya pada Erisca, pada kenangan yang sudah melekat belasan tahun, pada keinginannya untuk menjadikan Erisca seorang wanita sholeha. Melepaskan, apalagi melupakan bukanlah hal mudah. Tetapi jika Allah sudah berkehendak... Arsyad harus memantapkan hati, Erisca bukanlah yang terbaik untuknya.

"Hayaa , hayaa!"

Pria separuh baya pengemudi bis memanggil para penumpang untuk kembali. Arsyad beserta beberapa penumpang lainnya turun di suatu peristirahatan untuk meluruskan pinggang, ke kamar kecil atau sekedar berwudhu. Cuaca tidak terlalu dingin, tidak juga panas. Mendekati waktu ashar pada senja adalah waktu paling mustajab untuk memanjatkan doa. Ketika bis kembali melaju, sepanjang jalan lurus yang dekililingi padang tandus, Arsyad termenung dibalik kaca hingga akhirnya terlelap sembari berdoa.

Maghrib bagaikan "peak time" bagi seluruh manusia di kota Madinah, maupun Mekkah walau tak ada bedanya dalam setiap shalat lima waktu. Semua pertokoan tutup sejenak, umat Islam berbondong-bondong mencari tempat kosong dalam kedua masjid tersebut yang sudah penuh sejak dua jam sebelum adzan berkumandang. Semangat spiritual jama'ah di kota suci ini tidak bisa ditandingi oleh umat Islam di negara lain; kebutuhan mereka untuk menjemput cinta Allah melebihi apapun. Bumi berguncang sekalipun tidak akan menghalangi niatan untuk sujud padanNya. Ditengah kerumunan manusia para Askar wanita dan pria begitu ketat mengatur, memeriksa, menseleksi. Tidak jarang beberapa gerbang dari belasan gerbang Masjid ditutup jika sudah melewati waktu adzan, dan tidak jarang pula pertengkaran kecil terjadi antar jama'ah dan para Askar.

Setelah dua jam empat puluh tujuh menit menempuh perjalanan, Arsyad terbangun dengan pemandangan Masjid Nabawi disamping kirinya.

"'Ahlaan wasahlaan bik 'iilaa madinat almadinat almunawara" Selamat dating di Kota Madina.

ucap sang muthowwif. Senyum Arsyad merekah. Walau hanya semalam bermalam di Madinah, baginya menginjakkan satu ubin dengan rumah Nabi Muhammad SAW sudah lebih dari cukup.

الله أكبر

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang