Dalam Butiran Tasbih

817 17 0
                                    


Yanbu, 13 Juni 2015


Sudah lebih dari tiga tahun Arsyad Badran bekerja di rig dan selalu berpindah-pindah tempat dari satu pltaform ke platform yang lainnya. Hampir tiga bulan ia berada di tengah laut Merah terletak di perbatasan antara kota Yanbu dan Al-Madinah, Saudi Arabia. Bukan mudah menjabat sebagai Driller; menyusun pipa-pipa bor pada jari-jari Monkey Board yang berada di atas menara rig.

Pada saat berada di rig offshore, kegiatan yang dilakukan sangat-sangat rutin. Karena memang tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan. Dari namanya, rig ini berada di lepas pantai. Jadi letak rig ini adalah di tengah laut. Karena di laut, ada dua cara menujunya yaitu menggunakan helikopter atau kapal; yang memang hanya untuk mengangkut penumpang, berukuran kecil dan cepat, atau dinamakan crew boat. Tentu, untuk pekerja, menggunakan helikopter sampai ke rig adalah hal yang jauh lebih menyenangkan karena sangat cepat dan keindahan yang ada di laut bisa dilihat dari atas seperti naik cable car di Taman Mini, dan Arsyad sangat menikmati ini. Hanya saja di dalam helikopter para pekerja tidak bisa berbincang dikarenakan suara dari baling-balingnya sangat bising.

Memilih bekerja di rig harus siap dengan bahaya dan resiko tinggi. Berbagai kecelakaan besar mungkin terjadi. Bisa kebakaran yang di sebabkan karena blow out (semburan liar), jatuh dari ketinggian (bagi posisi derickman dan floorman), hingga munculnya gas bumi yang sangat berbahaya seperti Hydrogen Sulfide. Namun, Arsyad tak henti-hentinya mengucap syukur dengan apapun yang ia lakukan. Menyandarkan diri pada suratan takdir mungkin memang yang terbaik, tentu...setelah melakukan ikhtiar.

Dengan safety helmet dan baju pullover berwarna oranye yang digunakannya, Arsyad berjalan cepat dengan beberapa lembaran blueprint ditagannya melewati tiga crane kemudian melangkahi beberapa pekerja rig yang sedang mengelas. Ia mengarah ke lokasi rig floor dimana drilling ber operasi. Sedari pagi waktu sudah dihabiskan di dalam ruang kantor, sudah harusnya tak ia keluhkan lagi cuaca panas yang menyembur ini, atau bisingnya suara las listrik. Terkadang...namanya juga manusia biasa, penuh dengan keluh kesah. Memang sudah lama penantian untuk lepas tugas for good diiginkannya. Entah mengapa ada saja yang menghambatnya; ada saja. Mungkin mimpi seorang bujangan yang masih bangga dengan jabatan.

Pada akhirnya, kompensasi untuk merasakan lepas tugas adalah beberapa hari turun ke kota Yanbu; tinggal di sebuah mess kecil selama dua minggu sebelum memulai kembali bekerja 12 jam rotasi di offshore bergiliran. Arsyad sangat menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk istirahat di Yanbu karena ketika kembali offshore, tengah malam adalah merupakan shift nya dalam perputaran jam tersebut. Paling tidak, turun dari rig untuk beberapa minggu ini merupakan satu kebahagiaan dari seribu keleleahan nya pada kehidupan diatas rig.

Matahari berpijar di tengah langit tengah hari itu. Teriknya seperti menjilati tiap sudut bumi. Di tengah laut panasnya melebihi di daratan karena sinar matahari memantul pada air. Bulir keringat menetes dari kening Arsyad ia lalu mengusapnya kemudian menatap langit.

"MasyaAllah panasnya."

Ia sempat terhenti sejenak ketika sedang mempersiapkan pipa bor. Berfikir bahwa sengatan matahari pada saat itu tak ada artinya. Ketika semua manusia dibangunkan ditengah padang mahsyar, kalang kabut tiada seorangpun untuk berpegang. Yang Maha Esa telah bertitah dan bersabda dalam Qur'an semasa mereka di dunia yang amat sering diabaikan alhasil bisikkan kuat para syaiton. Namun, bagi yang bertekad kuat menyempurnakan ibadah pada tiap helaan nafasnya, yang menjawab panggilan adzan ketika dikumandangkan oleh muadzin, yang selalu istiqomah di jalan Allah dan tidak ada yang bisa mengusik rasa cintanya pada Yang Maha Pengasih; hawa panas neraka bahkan enggan mendekati. Bekerja di rig harus pintar-pintar mengamati pergantian warna langit; penentu waktu shalat. Arsyad adalah pengamat langit mashyur diantara pekerja lainnya. Bagaimana tidak? tujuh puluh lima persen fikiran nya lebih berpusat pada waktu shalat ketimbang pipa-pipa bor itu. Karena ini pula tak jarang ia dapat teguran namun, hal itu tak mengusik Arsyad sedikitpun. Cintanya pada sang Pencipta melebihi apapun.

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang