Memantapkan Iman

174 9 0
                                    


Bengkulu, 1 September 2015


"Mana perjuangan kamu mempertahankan apa yang Tuhan telah beri dalam hatimu?"

Kalimat itu Erisca telan mentah-mentah. Kalimat seorang suami yang meragukan cinta istrinya sendiri. Perkataan tentang ketuhanan adalah bungkusan manis dari inti perkataan yang sebenarnya; bahwa Erisca tak lagi mencintainya, atau lebih tepatnya...tidak pernah mencintainya.

Arsyad. Arsyad. Arsyad. Selalu Arsyad yang menari-nari dalam benaknya, selalu Arsyad yang membuatnya menangis bak air hujan yang tumpah ruah membasahi bumi, selalu Arsyad yang terbayang diwajah Abraham. Mana mungkin Abraham tidak tahu? Lelaki cerdik sepertinya mudah sekali menangkap bahasa tubuh hingga fikiran seseorang, apalagi pada istri sendiri. Semenjak pertukaran cincin di gereja waktu itu, ia syak bahwa pernikahan ini hanyalah sebuah bentuk pelarian Erisca atas sakit hatinya. Ia butuh seseorang yang dapat membuatnya lupa akan Arsyad. Terlalu banyak memori manis yang melekat, kalau tidak dialihkan bisa jadi ia gila. Walau begitu, Abraham rela jika benar pernikahan ini hanyalah bentuk pengalihan Erisca semata. Apapun ia lakukan agar bisa bersama Erisca, jikapun harus menerima bahwa Erisca berusaha melihat dirinya sebagai Arsyad.

Bak cinta sejati yang bertepuk sebelah tangan, atau bahkan sempat berlagu namun kini tak lagi ber-irama; melukiskan bukit bukit pilu, langit berawan, burung-burung hitam yang terbang tanpa arah. Masih teringat jelas rasanya mengenggam kalung Rosario berwarna merah jambu dan menaruhnya ke dalam sebuah kotak. Kemudian kotak tersebut diletakkan diantara tumpukkan baju didalam sebuah lemari gudang; sebegitu tidak berharganya makna Tuhan dalam hidup seorang Erisca. Bahkan, Arsyad jauh lebih bermakna dan lebih berharga dibanding apapun pada saat itu.

Sang pelipur lara tidak bisa seutuhnya menjadi pelipur lara. Hari demi hari rasa ego dan amarah perlahan menumpuk, menjadi gunung yang kian lama erupsi. Mendengar nama Arsyad saja sudah 'mengaktifkan' gunung Abraham yang dalam hitungan bulan, bahkan hari untuk memuntahkan larva panas.

"Kalau memang kamu terus membayangkan aku sebagai Arsyad, aku memilih untuk mundur. Arsyad dan aku tidak serupa, Arsyad dan aku adalah dua orang yang berbeda. Can you understand for just-one-day?"

Abraham tidak lagi bisa mentolerir tingkah laku Erisca. Semenjak bisnis Abraham dipusatkan di Bengkulu, mereka menetap disana dengan perkelahian yang tiada berujung. Suatu malam Abraham menemukan Erisca menulis sepenggal surat yang ternyata ditujukkan untuk Arsyad di Mekkah. Ketika itu sang istri sedang berada di ruang makan, mulutnya komat komat-kamit seiring dengan pena yang terus menggoresi tinta ke kertas putih dari kiri ke kanan.

"Erisca."
Suara Abraham buat Erisca tersentak. Pena itu terjatuh dari tangannya. Ia menangkap sepasang bola mata tajam nan sendu milik sang suami. Entah cinta atau hambar yang terasa tak lagi ia bisa rasakan. Erisca cepat-cepat melipat kertas yang digenggamnya namun Abra dengan cepat merebut kemudian membacanya.

Assalamualaikum Arsyad,

Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Aku tahu aku salah meninggalkan kamu, dan memilih Abraham. Tapi aku harap kamu dapat mengerti alas an dibalik semua ini. Aku harus memilih Tuhan. Walau aku tahu, sesulit itu harus memilih antara Tuhan, kamu dan Dia..

Garis rahangnya mengeras Erisca bisa melihat itu; ia mengenal pria ini belasan tahun lamanya. Tahu betul hal ini membuat Abra berkata,

"Kalau begini caranya kita cerai saja."

Hari itu merupakan hari pertama kata 'cerai' dilontarkan. Hari-hari setelahnya sudah menjadi suatu kebiasaan saja. Abraham seringkali marah, kemudian pergi semalaman tidak pulang, Erisca menangis dan mengunci pintu kamar hingga esok hari; Semenjak hari itu hubungan mereka dingin dan seperti itu terus selama tiga bulan mereka menikah.

Menjemput CintaMu   (Allah, Aku & Dia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang