Pernah engga sih kalian merasa engga bahagia?
Tapi engga bisa bilang bahwa kalian ga bahagia, karna terlalu takut orang-orang akan bilang; "ga bersyukur"Saya tau rasanya karna saya juga sedang mengalami itu.
Sebentar, biar saya ceritakan.
Kegiatan saya sedang padat-padatnya, dari mulai setelah lulus sekolah sampai sekarang,
Alhamdulilah banyak yang harus saya kerjakan, mulai dari dunia tulis, karna karya saya sedang banyak yang tertarik ya?
Belum lagi tawaran-tawaran pekerjaan, bisnis, kegiatan perihal alam, mengurus acara bigreds, yaa banyaklah.Dan sebenarnya perihal semua itu,
saya selalu punya pilihan untuk menolak salah satunya,
kalo jadwal sudah terlalu padat. Seperti, menyuruh orang lain untuk menggantikan peran saya, atau ya benar-benar saya tolak (tentunya secara baik dan sopan)Tapi karna,
Jadi ceritanya dulu tuh saya pengen banget kuliah tapi sayangnya ga jadi karna ada beberapa hal.Yaa.. karna ga jadi itu tadi (timbul-lah seperti kekecewan),
Akhirnya saya berpikir bahwa,
"oke.. lulus sekolah itu bukan cuma ijazah terus kerja."Saya butuh modal hidup untuk kedepannya.
Saya punya tanggung jawab lebih gitu, bukan cuma terhadap diri saya tapi juga terhadap orang tua saya, kakak saya dan sepu-sepu kecil saya.Belum lagi sekarang kan rata-ratanya yang membiayai orang tua tuh anak-anaknya gitu.
Dan saya anak bungsu yang masih tinggal bareng.
Jadi saya sangat bertanggung jawab besar gitu.Karna dilandasi pemikiran seperti itu. Saya merasa, "oke mumpung lagi banyak tawaran, saya ambil saja semuanya."
Dan yaa.. bisa dibayangkan,
Kegiatan itu seolah tiada hentinya,
Bekerja dari satu kota, terus ke kota yang lainnya juga perihal pekerjaan, bisnis dan semacamnya.
Abis itu kegunung, abis kegunung, kerja lagi. Belum lagi menyelesaikan dunia tulis saya, dan mengikuti acara bigreds juga.Sampe akhirnya, ini memicu ke batin lamunan saya.
Bayangin, semakin hari tuh semakin besar deadline saya.
Jadi jarang ketemu keluarga, sodara, sahabat ya banyaklah..
bahkan saya sempet nih suatu ketika saya ngeliat muda mudi lagi pada ngumpul,
nah saya tuh ngerasa gimna gitu, dan ketika saya nengok ke belakang saya, ga ada siapa-siapa gitu..
Wah pokonya itu kayak sad ending banget bagi saya.
Mungkin untuk kawan-kawan yang berjiwa persahabatan lebih ngerti ya..Dah gitu di pekerjaan juga,
Maksudnya, saya ga nyalahin rekan kerja saya ya,
tapi memang obrolan kami itu ga nyambung gitu,
mungkin karna usia, mungkin karna latar belakang juga,
jadi sering kali obrolan kita itu ga pas gitu.
Dan saya ngerasa kayak sendirian.Sampe akhirnya saya tiba di pemikiran ini.
"Saya ngerasa ga bahagia, tapi saya ngerasa takut untuk ga bahagia,
saya takut orang-orang akan menilai saya ga bersyukur."Dan karna itulah jadinya saya ngerasa; "yaudahlah mungkin perasaan kayak gini cuma sementara gitu, dan bisa dipendem sendirian"
Tapi makin lama perasaan ini menguat dan terus menguat.
Lalu saya teringat pada saya yang dulu,
saya yang bulan lalu berkelana menyusuri desa-desa terpencil.
Dengan modal 5juta,
bayangkan cuma 5juta
Tapi bisa jalan sampe bandung, surabaya, dan aceh.
Ga takut dengan resiko apapun, ngerasa hidup bebas banget dan mendapatkan pengalaman banyak dari perjalanan menyusuri desa itu.Tapi... ya saya tau dengan usia saya yang sekarang, saya ga bisa sebebas itu lagi.
Makanya dipikiran saya itu, hidup sekarang itu tentang kompromi,
tentang penyesuaian diri,
kita ga bisa seratus persen bebas, tapi kita masih bisa fifty-fifty.
Gimana caranya saya bisa menyalurkan hobi tapi tanggung jawab saya terhadap keluarga tetap tersampaikan.Dan karna saya sudah ada diposisi yang seperti ini.
Saya pikir apa lagi yang saya cari kecuali kebahagiaan?Namun saya sempet terdikstraksi bahwa, "oke.. saya harus numpuk uang."
Tapi kayaknya itu ga akan ada habisnya dan akhirnya "oke.. naik gunung, dan beberapa pekerjaan lainnya, kayaknya harus berhenti dulu deh."
Tapi bukan berarti dunia pendakian itu ga saya suka, bukan berarti pula saya tidak suka bekerja keras, saya suka kerja keras, dan juga suka banget naik gunung.
Tapi berada diketerasingan, berada dilingkungan yang mungkin sama-sama bosen, sama-sama cape, naik gunung bisa 3x dalam sebulan, lembur dalam seminggu bisa sampe 4x,
Ya akhirnya saya merasa yang mengikat kita itu cuma... ya karna uang.Sampe suatu ketika, ibu saya bilang, "apa sih yang kamu cari? Kenapa sih harus sesibuk ini?, ibu ga pernah nuntut apapun kok dari kamu."
Dan iya juga ya, saya pikir kenapa saya jadi ke obsesi gini untuk membangun sesuatu sampe malah akhirnya jadi menghancurkan. :(
Akhirnya saya berdialog dengan ibu, kami yang jarang ngumpul mencoba berdiskusi lagi,
mencoba lagi untuk saling tau apa yang kita mau,
karna salah satu hal yang menakutkan bagi saya adalah; tumbuh tua jadi orang yang tidak peduli.Akhirnya setelah dapat persetujuan ibu, setelah meeting minta izin juga ke beberapa rekan saya
Saya memutuskan untuk rehat.
Dari dunia gunung, dari dunia bisnis, dan dari beberapa pekerjaan lainnya.Dan alhamdulilah, satu persatu mulai berjalan.
Dan ini membawa saya pada sebuah kesimpulan,
Saya rasa setiap orang,
terlepas apapun profesinya,
Ternyata tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.
Seperti saya misalnya,
Semua ini diawali karna saya yang tidak baik-baik saja.
Bayangkan jika dulu saya tidak merasa, tidak baik-baik saja? Mungkin saya tidak akan membuat keputusan seperti ini.
Mungkin saya malah akan terus terjerat disemua hal yang saya lakukan demi membangun sesuatu yang pada akhirnya bisa menghancurkan.Jadi intinya, semua orang itu berhak untuk merasa tidak bahagia, berhak untuk bersedih.
Karna kedua perasaan itu adalah bagian bagi diri manusia,
entah anda publik pigur, buruh pabrik, mentri, bahkan presiden sekalipun,
kita semua berhak untuk merasa tidak bahagia, berhak untuk bersedih, berhak untuk bingung, berhak untuk menangis.
Dan kita semua berhak untuk dirangkul ketika tidak baik-baik saja.Jadi jangan sampai ketika ada orang yang sedang merasa terluka, mengeluh dan tidak baik-baik saja.
Kita lantas malah; "yaelah, harusnya kamu tuh bersyukur, banyak orang lain yang lebih menderita dari kamu, lebih susah dari kamu, tapi mereka masih bisa tersenyum"Dulu saya merasa pemikiran seperti itu benar, tapi makin lama, engga deh, kayaknya itu seperti toksin positif fiksi.
Menyuruh orang lain untuk bersyukur
Padahal ga tau akar masalahnya apa?
Menekan orang lain untuk ga boleh sedih, ga boleh mengeluh cuma karna profesinya.
Padahalkan perasaan sedih, perasaan ga baik-baik saja, dan kebahagiaan itu ga bisa di samaratakan.Jadi lain kali ketika ada orang lain yang ingin didengar ketika sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Mungkin sebaiknya kita lebih membuka telinga dan lebih menutup mulut.
Ada baiknya kita menyediakan pelukkan, bukan menyediakan paksaan.Dan saya sekarang sedang mencari kebahagiaan saya,
mungkin orang lain akan menganggap saya aneh dengan pilihan-pilihan yang saya buat.
Saya juga engga ngejamin pilihan-pilihan saya benar,
tapi satu hal yang saya tau..
Semua pilihan itu didasari oleh rasa, ingin benar-benar lebih bahagia.
Bukan diracuni hal positif yang diada-ada.Cianjur, 23jan20
..✍
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Bersuara
Poetrykelak jika aku telah tiada Maka biarkan aksaraku bercerita Bahwa, pernah ada kisah yang luar biasa