“Aku terlalu percaya diri jika kamu bahagia dengan semua tulisanku, padahal kenyataannya tidak, air dari mata sendu itu masih bisa aku lihat.”
—Untuk kesekian kalinya shani kembali menekan tombol panggilan dilayar ponselnya untuk menghubungi arkan.
Sudah sekitar setengah jam shani berada dihalte, bersama earphone yang setia menghibur dengan lagu lagu jadul dari ponselnya.
Kini langit mulai menjatuhkan bebannya, perlahan permukaan aspal yang kering berubah menjadi basah, genangan air juga berada diatasnya.
Pada panggilan kesebelas arkan benar benar mengangkatnya, itu pun berdering cukup lama.
"Iya de kakak masih di rumahnya dika bentar lagi ya" Ujar arkan disebrang sana, shani menghela nafas panjang kemudian mengiyakan janji arkan, ia tahu arkan tak mungkin membiarkannya pulang dengan berjalan kaki, bagaimana pun keadaanya arkan pasti datang.
Cukup yakin untuk menunggu kedatangan arkan, ia mengarahkan pandangannya kearah jalanan, tak ada kendaraan umum yang lewat, kini ia terjebak disana.
Hingga hampir satu jam berlalu, arkan masih belum juga datang, terpaksa shani beranjak untuk menerjang saja guyuran hujan sore itu, walaupun jarak ke rumahnya cukup jauh.
Belum satu langkah ia membiarkan kepalanya mendapatkan guyuran, seorang laki laki berjaket hitam baru saja memberikan payung miliknya pada shani, ia pergi sebelum ucapan terima kasih terlontar dari mulut si penerima.
"Ada apa yah?" Tanya arkan setelah membuka pintu dan menghampiri meja ayahnya.
Yang diajak bicara mengangkat wajahanya dari layar laptop dan menatap sang anak yang dalam keadaan pakaian sedikit basah.
"Bantu ayah mengerjakan tugas yang ini gampang buat anak muda kayak kamu" Bayu menunjukan layar laptopnya dimana beberapa tugas siap arkan kerjakan
Arkan menghela nafas pendek ia tahu maksud ayahnya, menolak arkan untuk menjemput shani, tapi dengan cara yang halus, jelasnya jarang jarang bayu menyerahkan tugasnya pada arkan.
"Aku harus jemput shasha dulu" Arkan merapikan rambut bagian depan dengan kelima jarinya, langkahnya mencoba meninggalkan bayu yang perlahan menghampirinya lagi.
"Ayah hanya meminta tolong sedikit saja arkan, adik tirimu itu tidak penting dia bisa pulang sendiri" Bayu menghadang langkah anaknya.
"Aku bakal kesini lagi kalo udah anter shasha pulang" Arkan tak menggubris larangan ayahnya, ia tetap pergi.
Setiap hari jarang ada kendaraan umum yang melewati rumahnya.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!" Teriak bayu dari ambang pintu setelah beberapa langkah arkan meninggalkannya.
Beberapa saat kemudian ia melirik sekelilingnya, berharap tidak ada karyawan yang mendengarnya, karena saat ini adalah jam istirahat bagi seluruh anak buah bayu.
—
Arkan menyipitkan kedua indera pengelihatannya, agar tetesan air tidak jatuh tepat dimatanya.
Mata arkan fokus dengan jalanan sesekali melirik kesamping, bisa saja kehadiran shani dijalan itu terlewati.
Hingga beberapa saat kemudian ia dapat melihat halte yang terbangun dekat pinggir jalan yang biasanya shani tempati untuk menunggunya, dan kini dalam keadaan tak ada orang sama sekali.
"Dek!" panggil arkan setelah beberapa kilometer ia meninggalkan halte.
Shani menoleh, kemudian tersenyum.
"Ayo" Shani memasukan payu lipat itu kedalam tasnya, percuma saja sejak tadi seragamnya sudah basah kuyup, karena arah datangnya hujan dari samping.
"Maaf ya dek tadi kakak ketiduran dirumahnya dika" Suara arkan. Shani kembali menunjukan senyumanya, dapat arkan lihat dari spion.
"Gapapa ka" Walaupun adiknya tersenyum manis, arkan masih sangat khawatir, wajah adiknya sudah pucat entah apa yang terjadi sebelumnya atau efek dari kedinginan saja.
"Kalian, saya pikir siapa" Desti mendengus, mendapati kedua anaknyalah yang datang dan beberapa kali mengetuk pintu, kedua tangannya menyilang didepan dada, tak berniat menyambut, ataupun mengucapkan kata kata yang enak untuk didengar, sedikit saja.
"Huh" Arkan dan shani beranjak meninggalkan desti, ke kamarnya masing masing.
—
Cangkir berisi coklat panas tertempel pada kedua permukaan kulit telapak tangan shani, entah lah saat ini kepalanya terasa sangat pusing, mungkin karena hujan yang deras dan kedinginan.
Tangannya digosok gosokan untuk mendapatkan sedikit perasaan hangat.
Setelah beberapa saat ia baru teingat dengan surat hari ini, yang penggemar rahasianya kirimkan, seperti biasa.
Jangan benci aku karena tadi, hanya payung yang aku berikan, bukan jaket tebal dan secangkir coklat panas kesukaanmu.
Sebenarnya inginku memberhentikan hujannya saat tetesan pertama dipuncak kepalamu, tapi aku bukan langit, bukan pula awan yang mampu menahan semua tangisan alam.
Aku hanya manusia yang selalu memujimu, dan selalu jatuh cinta dengan senyumanmu.
-D
Saat shani tenggelam dengan surat itu, dering yang berasal dari ponselnya berhasil memecahkan lamunan gadis itu.
Rayan.
Entah kebetulan atau apa, setiap kornea shani membaca setiap kata atau melihat surat itu, rayan akan datang atau menelpon.
"Halo"
"Kamu kenapa?" Shani segera menarik nafasnya untuk mengembalikan suaranya yang sejak beberapa menit lalu berubah menjadi lebih serak.
"Gapapa"
"Kamu sakit?"
"Aku dateng ke rumah kamu sekarang" Lanjut tayan dengan cepat sebelum shani mencari alasan lain.
"Gak usah aku gak kenapa kenapa" Tapi nampak dari suaranya rayan terdengar tak percaya dan malah bersiap siap untuk pergi.
"Kenapa, penggemar kamu lagi jenguk?" Tuduh rayan, shani memutar matanya, ia malas berdebat karena tuduhan rayan yang tak nyata itu.
"Gak ada"

KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA [ √ ]
Teen FictionShani sabila dayuga. Gadis 17 tahun yang berjuang untuk tetap kuat dari semua nasib menyedihkannya tentang kedua orang tuanya yang membuang dan selalu menghina layaknya seorang musuh. Kisah manis tentang hidupnya seolah sirna seketika saat ibunya m...