“Kamu begitu cantik, dengan caramu. ratusan kata dari bibir indah itu membuatmu terlihat semakin menggemaskan, diammu kala itu, membuatmu terlihat manis dan lugu, tapi sedihmu, itu yang aku benci, bahagialah.”
—
Seperti hari hari sebelumnya, shani dan Arkan menghabiskan sorenya dengan menonton drama disitus menonton film yang ada laptop milik Arkan.
Sesekali keduanya tertawa saat adegan yang mereka anggap lucu ditampilkan, tawanya lepas tanpa beban, shani juga sudah melupakan pertengkarannya dengan Rayan yang kembali terjadi saat pulang dari jalan jalannya tadi, alasan keributannya masih sama.
"Kamu sama Rayan ko berantem terus dari kemaren" Pancing Arkan agar shani mau bercerita.
"Gak tau males sama dia" Jawab shani ketus, Arkan mengangguk, sudah cukup tanya tanya yang Arkan lakukan, ia sudah tahu jelas jika adiknya menjawab dengan nada Seperti barusan adiknya itu akan terus tidak selera untuk melakukan apapun, dan lebih memilih diam, walaupun terkadang sampai menangis sendiri.
Selang beberapa menit pintu terbuka, menampakan ibunya yang mengisyaratkan Arkan untuk makan malam bersama mereka, mungkin tidak dengan shani.
"Ayo" ajak Arkan, ia merangkul adiknya hingga ke ruangan dimana sebuah meja makan dengan beberapa makanan pesanan dari restoran yang sudah ditata dengan rapi.
Arkan dan shani duduk berdampingan menyusul kedua orang tuanya yang lebih dulu memakan hidangan malam ini.
"Tadi saya ketemu ayah kamu udah bebas dari rumah sakit jiwa?" Desti dan bayu tertawa renyah seolah semua hinaannya itu lucu, shank menarik nafas panjang berusaha untuk menahan kesabarannya.
Tapi bayu maupun desti malah merasa terpancing, semakin banyak kata kata tak pantas yang ditujukan pada ayahnya, hadi.
"Urus ayah kamu tuh ntar makin jadi gilanya kan bahaya" shani menghentikan kegiatan makan malamnya.
Ia meninggalkan orang tuanya dan arkan.
Hadi memang seolah membuangnya sejak dulu, tak pernah menemuinya, seolah lupa jika putrinya iu masih hidup, tapi apapun yang ia terima hadi tetaplah ayahnya.
Shani tak pernah membencinya, hanya sedikit kecewa saja, ia tak akan pernah terima jika orang orang menghinanya, menyebutnya orang gila atau apalah itu yang sering mereka katakan.
Hatinya terasa sesak, saat semua yang mereka ucapkan masuk ke telinganya.
Shani duduk di pinggiran tempat tidurnya, menghadap jendela yang sengaja ia buka, walaupun sudah malam.
Tanpa perintah air matanya berjatuhan, ia rindu ayahnya, ingin bertemu.
Isakan terdengar cukup jelas.
Shani menatap langit, terutama bintang, ritual yang Arkan katakan dulu.
Saat kamu rindu seseorang tetaplah bintang. dan berdoalah pada tuhan untuk memberikan yang terbaik untukmu, katanya, sampai sekarang pun masih sering shani lakukan.
"Nangis terus punya muka jelek makin jelek" hina desti lagi, untuk yang kali ini mungkin sudah terbiasa, karena kalimat itu sudah sering ia dengar.
—
Hadi termenung dengan tangan yang memeluk foto shani semasa masih kecil, satu satunya kenangannya bersama anak tunggalnya itu.
Sejak tadi sore tak ada yang ia lakukan selain duduk dengan perasaan yang merindu berat.
Sore ini juga shani tak datang ke halte seperti biasanya.
"Paman" panggil seorang laki laki muda yang baru saja datang dari arah luar rumah sederhana itu.
Hadi menoleh kemudian tersenyum setelah mengusap matanya dengan kasar.
"Aku liat dia tadi, dari jendela kamarnya" Ujarnya hadi semakin mengangkat wajahnya, kearah teman beda usianya itu.
"Bagaimana keadaannya?" Si laki laki muda itu menghela nafas, kemudian duduk disamping hadi, menghadap televisi yang menyala, namun sama sekali tak mendapat perhatian hadi itu.
"Masih menangis, aku gak tau kenapa lagi" Ia menunduk, ikut sedih karena masih saja melihat shani menangis, hampir setiap hari seperti itu, tapi air matanya tak pernah habis.
"Na tolong buat dia bahagia lagi" Hadi mengusap punggungnya, sedikit memohon agar lawan bicaranya itu tak menyerah untuk melanjutkan perjuangannya, membuat shani bahagia, bagaimana pun caranya.
Sang objek mengangguk setuju, dengan senang hati ia akan melakukan semua permintaan hadi.
"Makanlah paman sudah masak" Suruh hadi, pada laki laki yang kira kira seumuran dengan shani.
"Iya" Ia melepas topi dan masker berwarna hitamnya yang hampir setiap hari ia pakai, saat mengirim hadiah dan surat ke rumah keluarga winata.
Rambut berwarna hitam pekat, rapi dibagian depannya menerobos ketika topi itu terlepas
—
"Udah kamu tidur aja" Suruh Arkan setelah beberapa menit keduanya duduk didepan jendela, menatap langit yang bertaburkan bintang dan bulan itu.
"Iya bentar lagi" Shani masih memejamkan matanya dengan kedua tangannya diangkat layaknya berdoa.
"Ya tuhan aku harap aku dan ka Arkan selalu bahagia" Gumam shani sebagai pamungkas doanya.
Arkan mengacak rambut shani gemas, setelahnya ia mengucapkan ucapan selamat malam pada sang adik kemudian pergi ke kamarnya untuk segera tidur karena matanya sudah berat.
"Ya tuhan aku juga ingin ayah bahagia, dimana pun dia berada, lindungi dia ya tuhan" pipinya kembali basah bersama bantal yang ia pakai.

KAMU SEDANG MEMBACA
SUARA [ √ ]
Teen FictionShani sabila dayuga. Gadis 17 tahun yang berjuang untuk tetap kuat dari semua nasib menyedihkannya tentang kedua orang tuanya yang membuang dan selalu menghina layaknya seorang musuh. Kisah manis tentang hidupnya seolah sirna seketika saat ibunya m...