O5. Arogant

23 7 0
                                    

Sepotong roti dengan selai coklat yang sudah dioleskan akan segera mengisi perut shani. Sejak kemarin sore tak ada makanan yang ia cerna, walaupun arkan memaksanya untuk makan.

Tubuhnya kian mengurus sejak beberapa bulan ini. Beban batinnya semakin berat.

Shani merenung sejenak, apa hidupnya akan berlangsung seperti ini selamanya? Apa ia akan kuat menghadapi semua ini untuk jangka waktu yang lebih lama?

Shani meyakinkan dirinya, tapi hatinya selalu berkata tidak. Sebuah batu saja perlahan berlubang jika terus terkena tetesan air. Ia pun akan lelah jika semuanya terus berlangsung dengan tak adil.

Shani pun tak tahu sampai kapan ia akan seperti ini.

Pintu terbuka, Arkan menunjukan tubuh tingginya. Ia tersenyum menghampiri shani yang beberapa detik lalu sedikit tertegun karena takut ibunya yang datang.

Sejak beberapa tahun ini hidupnya tak pernah tenang.

"Ayo kita udah telat" Ajaknya. Arkan mengambil alih potongan roti terakhir dan melahapnya tak bersisa.

Shani meneguk air putih untuk terakhir kalinya sebelum pergi ke sekolah.

"Kamu udah sehat beneran kan?" Tanya Arkan saat keduanya baru saja meninggalkan pintu utama rumah megahnya.

Ia menempelkan punggung tangannya dikening sang adik. Shani mengangguk walaupun yang ia rasakan tak sama, kepalanya masih terasa pening.

"Gapapa ka" Senyum shani menahan tangis, ia sangat lemah, hanya saja so tegar walaupun matanya tak akan pernah bisa berbohong, Arkan sudah mengerti dengan isyarat dari mata adiknya yang selalu berbanding terbalik dengan yang ia ucapkan

"Kalo kamu sakit telpon kakak aja, nanti kakak jemput" Saran Arkan, laki laki yang berumur empat tahun lebih tua dari shani itu memang sangat baik.

"Aku gapapa" Shani kembali berusaha meyakinkan Arkan jika ia benar benar dalam keadaan baik baik saja.

"Loh shan tangan lo kenapa?" Ia menyembunyikan pergelangan tangannya yang sudah terbalut perban, Arkan yang lagi lagi mengobati lukanya semalam, kedua orang tuanya pergi untuk menemui media untuk membahas bisnis barunya.

"Muka lo juga pucet?" Tanya Vanya, salah satu temannya selain rian itu, hanya dua orang saja sudah cukup bagi shani.

Shani lebih suka diamdari pada banyak bicara dan so asik agar banyak teman. Hampir sebagian murid SMA Graha Biru mengenalnya sebagai putri dari bayu Winata, pengusaha paling sukses di jakarta.

Karena alasan shani yang pendiam membuat beberapa orang yang ingin berteman dengannya sedikit menyingkir dan hanya menjadi pengagum rahasia saja karena merasa canggung.

Fakta yang sebenarnya memang tak mereka ketahui jika shani hanya anak tiri dari Bayu Winata.

Keluarganya tak pernah memperlihatkan ketidaksukaannya pada shani saat didepan media, dan selalu berakting jika mereka adalah orang tua paling sempurna yang pernah ada.

"Gapapa" Shani mengulas senyuman tipis. Untung saja vanya bukan tipe orang yang pemaksa dan ingin tahu urusan orang lain secara berlebihan, tapi jika ada yang ingin diceritakan ia siap menjadi pendengar yang baik, katanya.

"Kalo ada apa apa cerita aja" Saran vanya saat shani terdiam dalam pelukan hangatnya.

"Iya jangan khawatir" akunya. Vanya melepas pelukannya lalu kembali mengerjakan tugasnya yang belum usai.

Seorang laki laki baru saja datang bersama rian, wajahnya terlihat asing bagi shani.

"Dia murid baru" Jelas vanya seolah dapat membaca pikirannya, shani mengangguk.

Shani meneguk lemon tea yang beberapa menit lalu ia beli bersama makanan kemasan lainnya. Kedua gadis itu kini berada dikantin, untuk menghabiskan jam istirahat mereka.

Selang beberapa detik setelah vanya berhenti dari ucapan panjang lebarnya, apa saja vanya jelaskan saat berada disamping shani, walaupun lawan bicaranya kadang hanya meresponnya dengan anggukan dan senyuman saja, semua yang vanya katakan pun rasanya masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanannya.

"Shan" Panggil shani, ia memukul mukul pelan tangan shani, hingga objeknya mengangkat alisnya heran.

"Kenapa sih?" Vanya kembali mengatur nafasnya, tangannya pun kembali berada didadanya.

"Dia liatin lo mulu tau gak"

"Mungkin dia suka sama lo" Tuduh vanya ia menunjuk jevan. Shani menatapnya malas, mana mungkin laki laki berwajah dingin itu menyukainya, mereka baru saja bertemu beberapa jam lalu, bahkan jevan pun mungkin tak tahu namanya sama sekali, pikir shani.

Ia lupa jika ia adalah anak pengusaha terkenal.

Vanya menarik pelan pergelangan tangan shani kearah rian dan jevan. Shani sedikit menepis tarikan vanya dari pergelangannya yang terbungkus perban.

"Maaf" Ucapnya dengan penuh rasa bersalah, ia lupa.

Sialan, mungkin kini ia sudah pikun.

"Lo kenapa sha?" Tanya rian. Shani menggeleng.

"Gapapa ko" Elak shani seraya tersenyum canggung.

"Kita boleh duduk disini kan?" sosor vanya kedua laki laki didepannya itu menatapnya datar.

Rasanya ingin shani banting saja vanya, ia sangat malu sekarang.

"Duduk aja" Rian mengangkat alisnya, sedangkan jevan tengah menatap shani lekat.

"Cantik" Gumam jevan berhasil membuat rian seketika menoleh kearahnya.

"Lo suka sama dia?" Tanya rian, vanya mengangkat wajahnya kemudian tertawa senang.

"Ga. Bukan tipe gw" Shani menatapnya datar, memang siapa yang menyuruhnya untuk menyukai shani. Rian dan vanya membuka mulutnya tak percaya.

Untuk pertama kalinya seorang shani Winata mendapatkan penolakan.

"Kamu pikir aku suka sama kamu?!" Sungut shani meninggalkan kedua temannya dan si laki laki menyebalkan itu dengan ekspresi yang masih datar.

SUARA [ √ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang