O9. Flower roads

6 1 0
                                        

Kamu adalah mawar yang tak berduri, kehilangan kuasanya untuk melindungi diri dari tangan tangan jahat itu, dan maaf. Aku hanya mampu menjadi angin, selalu menghiburmu, tapi tak berani memperlihatkan wujudku”

Kemarin ada bunga yang layu, dihalte.

Itu kamu, seperti bunga bagaimana pun keadaannya tetap kamu tetaplah bunga, indah.

Walaupun wajahmu menggemaskan saat menangis, seperti tomat, merah dan bulat.

Aku tetap menanti saat kamu tersenyun.

Tersenyumlah...

-D

Sebuah kaset pun berada disana, masih lagi lagi dari penyanyi yang sama seperti kemarin, shani menyimpannya berdampingan dengan hiasan diatas meja belajar.

Hujan mulai reda diluar sana, mungkin karena shani yang sudah sedikit lupa dengan kesedihannya, haha, ia terlalu berharap jika alam juga perduli padanya dan menangis untuknya.

Shani membuka jendelanya, membiarkan angin masuk kedalam ruangannya, juga mendinginkan tubuh yang hanya terbalut hoodie putih polos dengan celana traning berwarna hitam.

Seorang laki laki dengan jaket dan topi serta masker hitam baru saja muncul disana, terlihat menggantungkan paper bag di besi gerbang.

Shani buru buru mengambilnya sebelum terkena hujan dan basah, mungkin saja jika ia berlari lebih cepat agar wajah si pengirim dapat ia lihat.

Ia sudah cukup penasaran pasalnya semua kiriman yang ia terima adalah apa yang ia suka, mulai dari makanan, kebiasaan hingga band yang shani sukai.

Tapi tak orang yang terlintas, tentang si J.

Ada banyak orang yang shani kenal dengan inisial J.

Tok tok tok

Seketika lamunan shani buyar karena sang kakak.

"Dekk"

"Dekk" Shani membuka pintunya, yang sejak beberapa puluh menit Lalau terkunci, ia menaruh barangnya dan mrmbuka pintu.

"Kenapa?" Arkan menunjuk ruang tamu, karena mulutnya yang sudah dipenuhi dengan makanan.

"Rayan nyariin kamu tuh" shani menghela nafas panjang kemudian berjalan dibelakang Arkan dengan gaya yang super malas.

Saat tiba di pintu ruangan dapat shani lihat Rayan yang sibuk dengan ponselnya.

"Tumben kesini?" Tanya shani, rayan malah tersenyum, bukannya tersinggung.

"Aku sempetin dateng kesini walaupun banyak tugas" Shani mendudukkan tubuhnya diatas sofa, dihadapan sang kekasih.

"Buat?"

"Jemput kamu kita jalan sekarang ya" Shani mengangguk kemudian kembali ke kamarnya untuk bersiap siap, sebenarnya shani masih kesal dengan apa yang terjadi tiga hari lalu, bukan soal album yang Rayan tahan, tapi soal keegoisannya.

Siapa saja berhak berbuat baik padanya, tak terkecuali si penggemar rahasianya.

"Kamu kenapa sha?" Rayan menempelkan punggung tangannya, dkwajah polos tanpa make up itu, ah hanya bedak saja, itu pun tipis sehingga masih dapat terlihat jelas wajah pucatnya.

"Gapapa" Shani tersenyum simpul kemudian mengangguk.

Rayan menghela nafas pendek, ia sadar jika shani masih kesal padanya, terlihat dari caranya merespon senua yang ia katakan.

"Soal album yang kemaren udah aku beli, tinggal tunggu datangnya aja" Ucap Rayan berusaha menghibur gadis disampingnya.

"Iya makasih" Rayan menggenggam sebelah tangan shani, sesekali ia juga mengecupnya dengan lembut.

"Kamu mau apa lagi biar sekalian aku beliin" Shani menggeleng, perlahan ia membalas genggaman tangan yang Rayan lakukan.

"Gak mau barang apa apa cuma mau ada yang tiap hari ngasih waktunya dan gak pernah egois" Sindirnya, untuk kesekian kalinya Rayan malah tersenyum, entah dia yang memang kurang peka dengan sindiran semacam itu atau, terlalu kebal dengan kata kata sindiran.

"Iya besok besok aku free tenang aja" Rayan beralih mengacak rambut gadisnya itu, sesekali memalingkan wajahnya kearah shani.

"Jangan cemberut lagi ya bayi" Shani tertawa kecil dengan gelar yang Rayan berikan sejak dulu itu, kata Rayan shani adalah bayinya yang selalu membuatnya gemas dengan semua tingkahnya.

"Mau es krim?" Rayan memberhentikan mobilnya didepan sebuah cafe bertema es krim.

Shani mengangguk. "Mau"

Sebuah lamborginy berhenti tepat diparkiran sebuah cafe sederhana yang pertama kalinya si pemilik datangi.

Pintu mobil mewah itu terbuka, tak lama sepasang suami istri turun kemudian memasuki area cafe dengan perasaan sedikit jijik, sifatnya sangat sombong.

"Ayo sayang" Bayu menggenggam tangan desti untuk duduk disebuah meja yang cukup jauh dari beberapa pengunjung lain.

"Kenapa kita tidak makan ditempat yang biasanya" Tanya desti, heran karena jarang jarang suaminya ini mengajaknya untuk makan siang dicafe kecil seperti ini.

"Dulu ibuku sering mengajak untuk makan di cafe kecil seperti ini, aku ingin mengenangnya" Bayu mengusap bawah matanya yang basah karena kerinduannya pada sang ibu yang sudah tiada beberapa tahun lalu.

Desti mengangguk, mengisyaratkan jika dirinya mengerti, tangannya mengusap punggung tangan sang suami, agar pria yang sangat ia cintai itu kembali tenang.

"Pelayan" bayu mengangkat tangannya, untuk memanggil pelayan cafe yang akan melayani mereka.

Keduanya kembali membaca menu, setelah seorang pelayan perempuan mendengar panggilannya.

"Pesan apa pak" Bayu mengangkat wajahnya, ia sangat terkejut dengan orang yang baru saja bersuara dihadapannya dan juga desti.

"Masih miskin kamu" Bayu dan desti tertawa, menghina.

Sang objek menunduk, hadi. Ia tak berniat membalas, masih setia berdiri dengan buku catatannya walaupun cacian terus desti dan bayu layangkan.

"Saya gak sudi makan siang disini, tidak cocok bagi kami" Bayu meninggalkan mejanya dan beranjak pergi dengan desti belakangnya.

Beberpaa mata pun menatap bayu karena kesombongannya.










SUARA [ √ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang