Hanya kisah klise tentang Hyunjin dan Jeongin. Hanya sebuah konflik yang berakar dari masalah hutang piutang. Hanya tentang Jeongin yang menjadi boneka sex Hwang Hyunjin.
Hanya itu, tak ada yang terlalu menarik di kisah ini. Tapi sepertinya sedikit...
Jeongin lama kelamaan merasa muak dengan semua cibiran yang diberikan kepadanya. Meski memang kenyataannya seperti itu, namun entah kenapa Jeongin merasa sangat hina saat ini. Seungmin, Felix bahkan sampai Jisung sudah mencoba untuk menghibur Jeongin, memang lelaki rubah itu akan merasa lebih baik saat itu, namun setelah Jeongin sendirian lagi, perasaan-perasaan menyakitkan itu kembali datang.
Jeongin rasanya sangat kacau, ia ingin berteriak dan menghentikan semua suara yang terngiang di kepalanya, namun apa yang bisa Jeongin lakukan? Semua yang mereka katakan itu benar, Jeongin hina, ia hanya menjadi boneka sex selama ini, adakah hal yang lebih menjijikkan dari itu?
Baru saja Jeongin merasakan hidupnya perlahan membaik, namun kenapa semua masalah seolah enggan pergi jauh darinya, seolah Jeongin memang terlahirkan untuk merasakan sakit.
Ingin rasanya Jeongin pulang ke rumah, rumah aslinya untuk menemui sang ayah, namun tahu apa yang ia dapatkan? Jeongin justru harus menerima pil pahit saat justru menemui sebuah keluarga asing di sana, yang kini menempati rumah masa kecil Jeongin.
Ayahnya pergi menghilang setelah menjual rumah mereka, seolah telah melupakan dan membuang Jeongin begitu saja, Jeongin tak masalah, selagi ayahnya baik-baik saja maka Jeongin tidak akan protes, namun sedikit saja, sedikit saja Jeongin ingin menyuarakan kesedihannya, satu hal yang disayangkan oleh Jeongin, kenapa ayahnya sama sekali tak mengabarinya? Apakah ayahnya malu mempunyai anak sepertinya? Apakah ayahnya tak menerima jika anaknya telah menjual diri ke pemuda lain? Sekalipun untuk menyelamatkannya dari dinginnya jeruji besi?
Fakta itu seakan semakin memperburuk keadaan Jeongin sekarang, selama berhari-hari Jeongin tak bisa tidur dengan tenang, bahkan obat tidur pun tidak banyak membantu Jeongin. Hah, kenapa alam semesta sekarang serasa tengah berpaling dari Jeongin?
Jeongin kemudian mendongkakkan kepalanya, menatap langit malam yang ditaburi banyak bintang, tanpa sang rembulan yang menemani. Angin malam kali ini justru tak membuat Jeongin ingin masuk ke kamar sekalipun, Jeongin masih ingin berlindung dari suara-suara yang terngiang dalam kepalanya di keheningan malam kali ini, berharap sang angin akan berbaik hati dan membawa serta beban Jeongin untuk berhembus pergi.
Di atas pagar balkon lantai tiga kamarnya, Jeongin mengeratkan pegangannya, sedikit banyak menyalurkan emosi yang berkecamuk di benaknya, tenang saja, meski terdengar seperti ide bagus, namun Jeongin belum berminat untuk melompat dari sana.
"Hahh...kenapa semua ini terasa berat sekali?" Jeongin menghela nafasnya kemudian menundukkan kepala, pikirannya kosong namun terasa sangat berat dan beban.
Jeongin mulai memikirkan hal-hal unik sekarang, seperti 'apakah ia akan mati jika terjatuh dari sini?' atau 'kira-kira bagaimana reaksi teman-teman jika aku tak ada?'. Haha Jeongin ingin tertawa.
Jika ada yang bertanya apakah Jeongin depresi sekarang, maka pemuda manis tersebut pasti akan menjawabnya dengan sebuah tawa dan juga senyum tipis, biar aku menterjemahkannya untuk kalian, itu artinya iya, Jeongin tengah depresi.
Keadaan paling membahayakan saat kau tengah down adalah kesendirian, apapun bisa terjadi, bukankah begitu?
Grebb...
"APA YANG KAU LAKUKAN BODOH!?"
Jeongin tersentak terkejut saat merasa tubuhnya tertarik ke belakang, ditambah dengan suara bentakan yang ia dapatkan. Jeongin yang terkejut masih belum bisa mencerna apa yang terjadi, namun satu hal yang ia bisa tangkap, saat ini Hyunjin tengah menatapnya dengan pandangan marah dan juga nafas yang terengah-engah.
"Hah?" Jeongin memasang wajah bingungnya, yang mana hal itu semakin membuat Hyunjin emosi. Oh ayolah, saat pulang berkerja barusan, Hyunjin merasa sangat terkejut saat melihat Jeongin duduk di pagar balkon lantai tiga, Hyunjin sudah berusaha memanggil rubah tersebut namun sayang satupun panggilannya tak digubris oleh Jeongin.
Hyunjin panik, ia kemudian segera berlari ke kamar Jeongin dan segera menarik tubuh Jeongin sebelum sesuatu buruk yang selamanya akan ia sesali terjadi.
"Aku benar-benar kecewa padamu."
Ah Hyunjin bodoh, kenapa kau mengatakannya di saat seperti ini?
Jeongin yang semula diam tak mengerti, sekarang mulai merasakan ledakan emosi di dalam dirinya.
"Ya benar, aku memang telah mengecewakan semua orang." ucap Jeongin yang diselingi tawa mirisnya. Jeongin kemudian mendongkakkan kepalanya dan menatap Hyunjin dengan pandangan kosong.
"Jin, bolehkan aku mengakhiri kontrak kita?" tanya Jeongin dengan suara paling putus asa yang ia punya, hey Jeongin sudah lelah oke.
Di sisi lain, Hyunjin benar-benar terdiam mendengar ucapan Jeongin. Hyunjin tahu dan paham betul jika Jeongin sangat terbebani dengan kontrak mereka, namun salahkan Hyunjin jika sekali ini ia menjadi egois? Demi membuat Jeongin terus berada di sisinya.
Ya kau memang berasalah Jin, caramu sungguh tak masuk akal, jika saja kau mau jujur sejak awal, mungkin Jeongin tak akan merasa sesakit ini.
Namun sayangnya, ketakutan Hyunjin jauh lebih besar, ia takut Jeongin akan pergi meninggalkannya jika tahu hal yang sebenarnya, Hyunjin takut, sangat takut.
"Tidak."
Jeongin tersenyum miris, harusnya ia tahu jawaban itu tanpa perlu menanyakannya.
"Apakah hutang ayahku sangat besar? Lebih baik aku menjual ginjalku daripada harus terus hidup seperti ini."
Hyunjin secara tiba-tiba tersulut emosi, ia tanpa sadar kini telah mencengkram dagu Jeongin dengan cukup kuat, namun belum terlalu kuat sehingga bisa membuat Jeongin meringis.
"Aku tak akan membiarkannya." ucap Hyunjin dengan nada mutlak yang tak bisa dibantah siapapun.
Jeongi sungguh muak. "SIAPA KAU SEHINGGA BISA MENENTUKAN HIDUPKU!?"
Jeongin hanya lelah. "KAU TAK TAHU APA YANG KURASAKAN."
Dan Jeongin ingin mengakhiri semua ini. "AKU MEMBENCIMU!"
Pandangan Hyunjin seketika berubah, pandangan yang tersirat luka teramat dalam. Jika kalian berpikir hanya Jeongin yang tersakiti, maka kalian salah karena pada kenyataannya, Hyunjin juga merasakan sakit yang sama.
Jeongin memang tak menginginkan kematian, namun sepertinya takdir kini tengah bercanda dengannya.
Karena terlalu terbawa emosi, Jeongin segera bangkit dan juga hendak berlari pergi guna menenangkan dirinya, namun sayang, satu hal yang tak diingat oleh dirinya, kondisi fisik Jeongin sekarang tak terlalu baik, menyebabkannya terhuyung ke samping, tersandung kaki kursi dan berakhir dengan dirinya yang terjun bebas dari lantai tiga.
Sungguh, ini tidak disengaja.
Kejadiannya terlalu cepat, bahkan Hyunjin belum sempat menarik nafasnya.
"JEONGIN!?"
Hyunjin panik, ia segera melihat ke arah bawah dan mendapati Jeongin terbaring di sana, dengan darah yang mulai merembes di sekitarnya.
Dunia Hyunjin serasa berhenti berputar, cobaan apa lagi ini?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.