"Oh ya, ngomong-ngomong soal kejadian yang tadi, kalian udah nemuin tersangka baru?" tanya Mia saat kami bertiga dalam perjalanan pulang. "Soalnya, Juan kan udah nggak mungkin lagi."
"Kamu nggak akan suka dengerin jawaban aku," dengan nada yang sangat rendah aku menjawab pertanyaan yang seolah tidak diketahui jawabannya, dengan sebuah kode.
"Iya, iya, aku ngerti. Kalo kamu, Kira?" Mia mengalihkan tujuan dari pertanyaannya karena tidak ingin mendangar jawabanku. Yah, salahnya sendiri karena menanyakan hal semacam itu padaku.
"Hmm ... kamu juga nggak akan suka sama jawabanku. Bukan apa-apa, sih. Cuman, aku nggak punya alasan logis buat curigai mereka," jelas Kira. Aku mengernyit, bukankah selama ini dia selalu menjawab 'aku tidak punya gambaran tentang pelaku' kalau ditanyai?
"Ya udah, sebut aja," pinta Mia dengan mata sedikit berbinar karena ada yang mendukungnya. Hahh ... cinta macam apa ini? Seharusnya ia sadar jika anak itu tidak pernah memiliki alibi, bahkan saat insiden Elisa.
"Yang aku curigai adalah ... Ade, teman kelas kita. Selama ini dia sering keliatan aneh. Itu aja sih alasannya. Oh ya, dia juga nggak suka banget sama Steve. Jadi logikanya, mereka berdua nggak mungkin ada di satu pihak." Mia tidak tahu harus bereaksi apa. memang yang dicurigai bukan Steve, tapi teman sekelasnya sendiri.
"Mungkin cuma perasaanku yang bikin dia mencurigakan. Tapi, kalo seandainya Ade ada di pihak kita, yah ... kamu tau sendirilah. Lagian juga, yang aku sebut kedua lebih mencurigakan. Ade kan selalu punya alibi," jelas Kira tanpa rasa beban. Habis sudah harapan Mia menunggu dukungan dari Kira yang pada akhirnya justru memojokkan Steve.
"Nah, aku setuju, Kira!" seruku. "Selain itu, mungkin alasan jadi aneh itu, cuma gara-gara cintanya kamu tolak. Kan Kevin waktu ditolak Mia kan gitu juga," ujarku menimpali.
"Aku nggak pernah nolak dia. Salah sendiri cara nembaknya gaje," sanggah Kira. Dia menoleh untuk memeriksa reaksi Mia yang anehnya tetap diam. Ah, dasar melankolis. "Maaf ya, Mia. Mungkin kamu harus belajar buat lupain dia," ucap gadis itu mencoba menghibur. Mia tidak merespons, tetap menunduk seraya berjalan gontai.
"Iya, yang dibilang Kira itu benar. Ah ya, aku punya kabar baik. Kamu mau denger?" tawarku agar Mia melupakan kesedihannya sebentar.
"Nggak usah, deh. Aku punya dugaan lain." Mia mulai mengangkat wajahnya. Aku heran, apa itu karena dia sudah menduga kabar baik apa yang aku maksud? "Kalian tau film drama 'the Red Rose' yang di tayang tv?" tanyanya. Aku dan Kira serempak menggeleng.
"Sejak kapan kamu suka nonton film dark romance?" tanyaku heran.
"Itu cerita thriller. Dan aku bukannya suka. Tapi karena kebetulan banyak bagian yang mirip sama kasus ini jadi ya aku cari aja sinopsisnya di internet," paparnya.
"Kok bisa kasus pembunuhan berantai kek gini kamu bilang mirip sama film drama?" tanya Kira tidak kalah heran.
"Jadi ceritanya gini. Ada seorang laki-laki dari bangsa vampire, namanya Nichole. Dia adalah salah seorang paling kuat di kaumnya. Suatu hari, dia nggak sengaja ketemu sama cewek yang tinggal di dekat hutan yang namanya sama kek korban pertama. Kalo bagian ini kalian pasti bisa nebak, si cowok jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Tapi karena mereka beda bangsa, Nichole cuma bisa merhatiin si cewek dari jauh. Tapi suatu hari, Rosaline jatuh cinta sama cowok lain dari bangsa werewolf. Itu bikin dia putus asa dan pengen mengakhiri hidup. John, temen deketnya nyaranin cara terbaik buat bunuh diri. Temen macam apa coba dia?
"Nah, Alex kakaknya Nichole yang tau kalo adiknya bunuh diri, balas dendam dengan cara ngebunuh ketiga orang tadi. Setiap dia bunuh satu orang, selalu ada bunga mawar merah yang ditaruh di dekat korbannya. Dan judul film itu diambil dari sana," jelas Mia panjang lebar. Seolah sudah sepakat sebelumnya, aku dan Kira memasang raut wajah yang sama, bingung.
"Miripnya di bagian mana?" tanya Kira.
"Aduh, masa nggak paham? Coba perhatiin. Korbannya ada tiga. Salah satunya bahkan punya nama yang sama persis. Bisa aja kan kalo itu memang Rosaline, terus John itu Juan. Terus, bunga mawar yang ditaruh Alex itu bisa aja surat anonimnya," terangnya.
"Cuma itu?" tanyaku. Mia mengangguk mantap. Aku menepuk dahi. "Asataga Mia, gimana kita mau jelasin analisis ke polisi kalo kita cuma pake kebetulan kek gitu?"
"Kebetulan itu nggak ada. Lagian, 'ada banyak kemiripan dalam kasus-kasus kriminal, dan jika kau punya rinciannya hingga seribu kasus, aneh sekali kalau kau tidak bisa mengungkapkan kasus yang ke seribu satu.' Itu yang dikatakan Sherlock Holmes dalam novel 'the Study in Scarlet.' Artinya, tidak menutup kemungkinan kalo hipotesaku ada benarnya," balas Mia.
"Lama-lama kok kamu mirip sama Kaitou yang suka mikirin kasus sampe ke kemungkinan paling mustahil?" ujar Kira. Mia menghentikan langkah, karena dia memang sudah sampai di depan gerbang rumahnya.
"Nah, kalian pikirin ya dugaanku. Siapa tau kalian juga akhirnya sadar kalo ada cara lain buat ngungkapin kasus kriminal," kata Mia lalu segera membuka pintu gerbang rumahnya. Tanpa berkata apa pun lagi, dia masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan kami yang masih bingung.
"Kok Mia tiba-tiba jadi aneh, ya?" gumam Kira.
"Yah, dia kan memang aneh," sahutku tidak peduli lalu melanjutkan perjalanan pulang. Awan yang mulai berubah warna menjadi merah seolah meminta kami untuk mempercepat langkah. Apalagi rumah kami masih cukup jauh dari sini.
"Oh ya, gimana soal rencana kita? Apa berhasil?" tanyaku mengalihkan topik karena tidak ada yang bisa dibicarakan untuk saat ini. "Rencana yang itu, soal cinta dan kelembutan," jelasku sebelum Kira bertanya.
"Yah, aku nggak tau pasti. Aku kan nggak bisa baca pikiran," jawab Kira seadanya.
"Nggak perlu baca pikiran. Aku yakin, dengan akting kamu yang udah keren, dia pasti bakalan gampang berubah pikiran," balasku meyakinkan. Kira memandang langit dengan sorot mata yang menampakkan keraguan.
"Walaupun ... dia pelakunya?" tanyanya. Aku mengangguk mantap. "Jadi, dia tidak akan membunuhku?" tanya Kira lagi. Aku mengiyakan.
"Ya, nggak usah takut. Kamu cuma perlu bersikap kayak gitu di depan dia. Aku yakin sembilan puluh sembilan persen," ujarku dengan sedikit semangat yang berapi-api di sana. Kira masih saja menatap langit ragu-ragu.
"Gimana kalo yang terjadi justru satu persennya?" tanya gadis itu. Aku heran, kenapa hari ini dia sedikit berbeda?
"Kok kamu jadi aneh, sih?" aku memutuskan untuk bertanya. Yah, siapa tahu dia sedang butuh bantuan. Namun bukannya menjawab, Kira justru menggeleng perlahan lalu tersenyum tipis.
"Aku nggak papa, kok. Cuma ... aku takut kalo dia beneran pelakunya," jawab gadis itu. Aku hanya mengangguk paham. Mungkin sebaiknya aku biarkan saja dia dengan pemikirannya sendiri. Lagipula, prinsip Kira yang cinta damai terkadang bertentangan denganku. Karena itu aku tidak ingin membuatnya semakin khawatir.
"Sejujurnya ... aku juga sama."
*
Hai minna! Readers yang setia maupun yang belum terketuk hatinya untuk setia! 😂😂
Maap ya semuanya. Karena kesibukan di RL, Ichi terpaksa mengurangi kecepatan update yang biasanya dua kali seminggu, sekarang cuma bisa sekali seminggu. Kemungkinan ini Ichi akan lakukan sampai selesai UN, doain aja cepet bulan April ya, eh! 😅.
Mungkin kalo ada kesempatan, Ichi akan usahakan update dua kali. Tapi, Ichi nggak bisa janji kek kemarin-kemarin.
Oke, jangan lupa vote dan comment-nya ya 😊.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Crimson Case
Mystery / Thriller[High School of Mystery 2] "Kebenaran harus ditegakkan apa pun resikonya." Kehidupan Kevin dan teman-temannya kembali terusik dengan kehadiran kasus pembunuhan di sekolah mereka. Dimulai dari mayat seorang siswi yang ditemukan tewas kehabisan darah...