File 23

1.6K 187 20
                                    

Pagi ini, aku berangkat sekolah saat matahari baru muncul seperempatnya seperti biasa. Seperti biasanya juga, aku tidak sendiri. Aku berangkat dengan teman sekelas, sekaligus tetangga depan rumahku, sekaligus sahabat dekatku setahun terakhir, sekaligus .... Oh, sudahlah. Tanpa banyak sekaligus siapa pun pasti sudah bisa menebak siapa yang sekarang berjalan di samping kiriku. Iyap, tentu saja Kira.

Setiap pagi, dan selalu ada tawaran untuk diantar oleh sang ayah. Namun, dia selalu menolaknya dengan halus. Terkadang, aku iri padanya yang selalu mendapat sambutan hangat saat pulang sekolah. Sedangkan aku? Jangankan sambutan hangat, sarapan terhidang di meja pun hanya ada dalam mimpi.

Ya, sebenarnya aku hanya tinggal sendirian di rumah itu. Kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah sejak setahun lalu. Ayahku sudah tinggal dengan keluarga barunya entah dimana. Sementara, ibuku terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengacara.

Ibu hanya datang setiap akhir bulan, itu pun tidak sampai satu hari penuh. Waktuku untuk menelpon hanya pada hari libur, meskipun tak jarang operator memutusnya karena pulsaku habis. Tapi .... Ah, sudahlah. Lagipula, keluarga Ishida sudah cukup baik padaku. Mereka sering mengajakku untuk ikut makan malam di rumah mereka.

Mereka sudah seperti keluargaku sendiri.

Selain itu, Ibu sering berkata padaku, "ukuran dari sebuah kebahagiaan bukanlah seberapa menyenangkan hidupmu. Tetapi, seberapa kuat dirimu dalam menghadapi situasi buruk."

Lupakan soal yang tadi itu. Sekarang ada hal lain yang cukup aneh di dekatku. Selama sepuluh menit terakhir ini, kami berdua hanya berjalan tanpa melontarkan septaha kata pun. Aku merasa sedikit ganjil. Tidak biasanya Kira jadi pendiam.

"Kira," ucapku pelan. Gadis berwajah oriental itu menoleh.

"Iya, kenapa?"

"Kamu nggak papa? Kok keliatannya pucet banget? Sakit?" tanyaku cemas.

"Aku ... aku nggak papa kok!" serunya dengan penuh semangat. "Mungkin kacamata kamu perlu diganti pake yang ukurannya lebih besar."

"Aku baru aja periksa minggu lalu, minusnya nggak nambah kok. Lagian, tanpa kacamata pun aku masih bisa liat muka kamu dari sini. Kamu sakit ya?" aku kembali mengulangi pertanyaan yang sama.

"Nggak, aku sama sekali nggak sakit kok. Ayo cepetan! Kita bisa telat kalo ngobrol terus," katanya sembari mempercepat langkahnya hingga jauh di depanku. Aku hanya bisa geleng-geleng sambil bertanya-tanya dalam hati. Anak ini kenapa sih?

Kira masih tampak semangat walaupun kulitnya yang memang berwarna putih pucat terlihat semakin pucat. Memang perbedaannya tidak terlalu jelas, sih. Tapi tetap saja sekeras apa pun dia berusaha, dia tidak bisa menyembunyikan itu.

"Hei, Kevin! Tumben banget dateng pagi. Kenapa ya?" tanyaku ketika bayangan anak itu terlihat di salah satu sudut ruang kelas. Sangat jarang, bahkan mungkin hampir tidak pernah dia datang ke sekolah sepagi ini. Ternyata, beberapa hari terakhir ini beberapa orang berhasil merebut "rekor sampai di sekolah tercepat" yang selama sudah lama kupertahankan.

"Eh, Sisi. Kamu sendiri kok cepet banget?" Siapa pun pasti akan kesal jika pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan yang tidak jauh berbeda oleh lawan bicaranya. Termasuk juga aku.

"Aku kan memang biasa dateng jam segini," jawabku sambil meletakkan tasku sembarangan. "Kamu belum jawab pertanyaanku!"

"Oh ya, aku berangkat jam segini nggak ada alasan spesifiknya. Aku cuma mau berpikir serius tanpa gangguan suara melengking Anna. Siapa tahu aku bisa dapet petunjuk seperti kemarin," jelasnya.

"Kamu ini memang punya jalan pikiran yang sulit ditebak ya. Kemarin, aku pikir kamu diinterogasi Polisi. Eh nggak taunya, malah kamu yang interogasi Polisi," sahutku. "Ternyata bener kalo kamu itu gila."

[END] High School of Mystery: Crimson CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang