File 5

2.3K 242 0
                                    

Aku akan tetap di sini sampai bantuan datang. Aku tidak ingin pelaku kembali dan menghilangkan barang bukti. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Bahkan, seandainya diperbolehkan, aku ingin membantu polisi menyelidiki kasus ini hingga tuntas. Karena bagiku, kebenaran harus ditegakkan apapun resikonya.

"Mia, coba kau lihat ini." Kira menunjukkan selembar kertas. Tak lupa dia melapisi tangannya dengan saputangan yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku membaca tulisan di kertas itu dengan cepat hingga menemukan nama Kevin di bagian paling bawah.

"Sini berikan padaku. Surat ini pasti ditujukan untuk kita. Jadi sepertinya tidak perlu khawatir ada sidik jari yang menempel," ucapku seraya megambil alih kertas itu dari tangan Kira yang hanya menatapku heran. Lihat ini. "Apa kau pernah mendengar seseorang yang bernama Kevin Alfyan selain teman kelas kita? Tidak pernah, kan?" jelasku tanpa diminta.

"Apa kau tidak takut jika dia marah?" tanya Kira ragu-ragu. Aku tersenyum miring. Untuk apa aku takut padanya? Biasanya dia yang takut padaku, kan?

"Tenang saja. Yang penting kita segera memberikan ini padanya." Aku mencoba menyembunyikan kepanikan karena baru saja menemukan sesuatu yang lebih mengerikan daripada mayat depan mataku.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah mendekat dari luar. Dari suaranya, aku bisa menduga jika orang yang datang kemari lebih dari dua orang. Itu pasti mereka! Tanpa pikir panjang, aku segera menarik lengan Kira keluar dari TKP. Dugaanku tidak salah. Kedua gadis itu datang kemari bersama Pak Anwar, guru BK.

"Maaf, Pak. Kami kembali ke kelas dulu ya," ucapku yang hampir saja jatuh terpeleset karena terlalu terburu-buru. Kira terus berusaha menyamai langkah lebarku meskipun tali sepatunya lepas karena terinjak.

"Aduh, Mia. Santai dikit bisa nggak sih? Kamu kek orang dikejar tsunami aja," sahut Kira setelah cukup jauh dari TKP. Aku berhenti lalu menatap manik coklat kemerahan itu lekat-lekat.

"Kira, di saat-saat genting begini kamu masih bisa santai? Kamu tau tidak? Meninggalkan TKP bahkan sebelum kita selesai diinterogasi bukan tindakan yang bisa dibenarkan. Tapi jika kita tidak pergi sebelum polisi datang, yakin saja, Kevin tidak akan sempat membaca surat ini karena polisi akan memintanya," jelasku panjang lebar.

"Ya ampun, Mia. Kamu tau kan kalo jarak kantor polisi dari sekolah kita itu satu setengah kilometer? Memangnya ada mobil polisi yang bisa teleportasi?" tanya Kira santai. Seperti yang kuduga, dia sama sekali tidak mengerti penjelasanku.

"Terserah kamu aja. Kalo mau dimarahin Kevin ya ... diem aja di situ. Aku mau masuk kelas dulu." Tanpa mempedulikan ekspresinya, aku berbalik dan berjalan meninggalkan Kira.

"Eh! Tunggu aku!" serunya sambil berlari cepat menyusulku. Tanpa berkomentar apa-apa, aku segera mendorong pintu kelas yang sudah di depan mata. Alhasil, Kevin yang masih diam di tempat duduknya tersentak kaget lalu menghampiri kami yang masih terengah-engah dengan wajah seperti udang rebus.

"Kalian baru kembali? Apa saja yang kalian lakukan?! Ini sudah hampir pergantian jam!" serunya kesal. Aku masih diam sambil mengatur napasku yang tersengal.

"Udahlah ... Kevin. Marahnya nanti aja, deh," ucap Kira sambil berpegangan pada kedua lututnya.

"Kalian kenapa, sih?" tanya Kevin yang sudah kehilangan separuh dari kekesalannya yang sempat meledak-ledak. Aku masih berusaha mengatur napasku sembari menyerahkan surat yang kutemukan di TKP.

"Kita ... kita nemuin ini di toilet," ucapku. Tanpa pikir panjang, Kevin segera membacanya dengan cepat. Dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, sekuat apapun ia mencoba.

"Apa ini? Aku tidak pernah membiarkan orang lain menang dariku tanpa syarat." Nada sarkastis yang benar-benar membuat telingaku terasa panas mendengarnya. Ingin sekali aku membalas kalimat sarkas itu walaupun tidak ditujukan untukku. "Apa hanya karena ini kalian jadi terlambat masuk kelas?" tanyanya lagi.

"Sebenarnya bukan karena itu." Aku berjalan mendekat kemudian membisikkan apa yang baru saja kami alami di toilet. "Rosaline, si penerima surat ancaman sudah tidak bernyawa. Tidak salah lagi. Ini pasti pembunuhan," jelasku. Kevin mengusap lengannya berulang kali, entah karena apa.

"Oh, ini benar-benar mengerikan," katanya samar sebelum akhirnya ucapannya tidak terdengar lagi karena suara sirine mobil polisi yang memenuhi atmosfer kelas ini, membuat seisi kelas menjadi heboh. Aku menoleh ke arah Kira, menatapnya dengan tatapan seribu makna. Kira hanya membalasnya dengan pandangan bingung. Dia pasti tidak mengerti maksudku, lagi.

------x---x------

Ruang BK yang memang sudah menjadi ruangan palilng menyeramkan di sekolah diubah menjadi ruang interogasi yang tak kalah menyeramkan. Seorang Komisaris Polisi menatap dengan tatapan intensif sebelum memulai pertanyaannya. Kulirik Kira yang tampak tegang karena tatapan itu. Beberapa kali menyenggol kakinya agar tidak terlalu tegang. Namun, tetap saja tidak ada bedanya.

"Baiklah, kita mulai. Kami tidak punya banyak waktu, ucap Komisaris Polisi itu. Masih dengan tatapan intensifnya. Ishida Kira?" Yang disebut namanya seketika menunjukkan reaksi panik tanpa ia sadari.

"I-iya sa-ya?" Kira sedikit tergagap mendengar namanya disebut lalu menunjuk dirinya sendiri dengan ragu-ragu.

"Perkiraan kematian korban sekitar pukul delapan pagi. Apa yang Anda lakukan pada saat itu?" Polisi itu memulai interogasinya. Jika begini terus, aku jadi khawatir karena Kira bisa saja dicurigai jika terus gugup seperti itu.

"Saya mengerjakan tugas biologi, Pak," jawabnya cepat. "Saya tidak keluar dari kelas sampai pukul sembilan."

"Ada yang bisa memastikan keberadaan Anda?"

"Anda bisa bertanya padanya," ucapnya sambil menunjuk ke arahku. Aku mengangguk mantap, memastikan jika Kira punya alibi.

"Apakah Anda kenal dekat dengan korban?"

"Sejujurnya tidak, Pak. Kami dulunya memang satu SMP. Tapi semenjak saya lulus, kami tidak saling bertemu lagi," jelas Kira apa adanya. Maskipun aku ragu jika tidak ada yang ia sembunyikan.

"Baiklah, selanjutnya ... Mia?" tanya Komisaris Polisi itu sedikit tidak percaya ketika memperhatikan wajahku.

"Iya, Pak. Ada apa?"

"Kamu anaknya Pak Hary, kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk mantap. Memang itu adalah nama ayahku yang bekerja sebagai dokter forensik. "Kenapa kamu terlibat masalah seperti ini?"

"Saya juga tidak tahu, Pak. Anda pikir saya suka dengan hal ini?" aku bertanya balik.

"Baiklah, langsung saja. Apa yang kamu lakukan sekitar pukul delapan pagi?"

"Saya mengerjakan tugas biologi, Pak," jawabku. Tidak jauh berbeda dengan jawaban Kira karena itu memang benar. Oh, aku harap aku tidak menjadi tersangka utama dalam kasus ini. Apa yang akan ayah katakan jika itu sampai terjadi?

"Ada yang bisa memastikan keberadaanmu?" Dia sampai lupa memakai bahasa formal saking bosannya melihatku di kantor polisi.

"Tidak ada satu pun siswa di kelas kami yang keluar sebelum pukul sembilan pagi. Kami semua mengerjakan tugas," jelasku. Meskipun ada sedikit dari kalimatku yang sama sekali tidak benar. Tentu saja tidak semuanya yang mengerjakan tugas.

"Kamu kenal dengan korban?" Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Saya baru tahu jika dia yang bernama Rosaline setelah melihat name tag-nya tadi pagi. Saya bahkan tidak bisa melihat wajahnya yang sudah hancur," jelasku. Polisi itu mengangguk-angguk kemudian bangkit dari kursinya.

"Baiklah, kalian boleh keluar," ucapnya singkat. Kira menghela napas lega. Aku juga melakukan hal yang sama meskipun aku tidak sepanik Kira.

"Apa kami tetap jadi tersangka?" tanyaku memastikan sebelum keluar.

"Tidak ada alasan untuk mencurigai kalian. Hanya saja, mungkin kami akan bertanya lebih jauh tentang kasus ini pada kalian," ucapnya. Aku tersenyum senang mendengarnya. Itu artinya, mereka tidak akan mencurigai kami jika kami ikut menyelidiki kasus ini diam-diam.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

[END] High School of Mystery: Crimson CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang