Jam menunjukkan pukul 09:55. Lagi-lagi jam kosong. Bu Riska belum masuk kelas dan tidak akan masuk kelas dua jam ke depan karena ada rapat mendadak. Seperti biasa, suasana kelas saat jam kosong tidak akan pernah jauh berbeda sampai kami lulus. Pengecualian untuk Mia yang sedang mati-matian menerjemahkan sebuah teks dalam bahasa Inggris tanpa bantuan kamus.
"Kira, disappoint itu artinya apa?" bisiknya. Aku menatap datar. Kenapa aku harus menjadi kamus hidup untuknya?
"Mengecewakan," jawabku singkat. Mia kembali menghadap depan untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian dia kembali menoleh.
"Kalo responsible?" tanyanya lagi. Aku bahkan baru tahu kalau kemampuan bahasa Inggris Mia tidak sebaik pelajaran lain.
"Bertanggung jawab," sahutku. Mia kembali menghadap depan, untungnya tidak bertanya lebih banyak lagi.
"Jadi, aku mau nanya. Kenapa posisi kamu sebagai pemeran utama harus digantiin sama Elisa?" tanyaku membuka percakapan. "Perasaan, sebagai ketua, akting kamu udah sebagus aktris beneran."
"Aku juga nggak tau. Masa cuma gara-gara aku pake kacamata begini aja dibilangin nggak cocok. Kan yang paling penting itu aktingnya. Lagian, banyak kok yang aktingnya bagusan daripada Elisa yang suka lupa dialog," ujarnya kesal. Aku menjadi sedikit menyesal karena memilih topik pembicaraan ini.
"Jadi, kamu bener-bener nggak suka banget sama dia?" tanyaku lagi.
"Yah, gitu deh. Nggak akan ada orang yang suka sama anak kayak dia yang gayanya selangit, tapi kemampuannya nol besar. Pantesan aja kalo Steve .... Eh! Maksudku si pelaku juga benci sama dia," paparnya. Aku sedikit tertegun ketika Sisi menyebut nama itu.
"Sisi, apa ... kamu yakin kalo Steve adalah pelakunya?" tanyaku ragu-ragu. Sisi menghela napas panjang, tampak berpikir harus menjawab apa.
"Yah, sebenernya aku lebih yakin kalo dia ada di pihak antagonis, sih. Tapi ... semoga aja cuma perasaanku," katanya seraya memperbaiki posisi kacamata tipis itu.
"Dia terlalu tertutup untuk dimengerti. Andai saja ada yang bisa mencairkan hatinya yang beku. Aku juga khawatir kalo apa yang aku takutkan selama ini benar-benar terjadi." Gaya bicaraku selalu berubah menjadi puitis ketika suasana hatiku seperti ini.
"Kamu ngomong apaan sih?" tanya Sisi heran.
"Seperti yang aku katakan, aku berpikir kalau dia adalah seorang psikopat. Aku juga merasa kalau sebenarnya Steve sangat membenciku. Yang aku takutkan adalah dia membunuhku juga untuk balas dendam. Aku khawatir kalau aku ditakdirkan hidup hanya sampai umur tujuh belas." Aku menundukkan wajahku dalam-dalam. "Tapi, jika itu takdir, aku tidak bisa menolaknya."
"Payah!" Aku terkejut karena Sisi tiba-tiba bediri kemudian berseru seraya menggebrak meja. Bukan hanya aku, bahkan Mia ternganga melihat sahabatnya yang mendadak memunculkan sifat terpendam. Untung saja semua penghuni kelas tenggelam dalam kesibukan masing-masing sehingga tidak perlu mendengar seruan Sisi.
"Kamu bukan Kira yang aku kenal! Kira yang aku kenal sama sekali nggak pernah menyerah secepat itu. Aku tau, mati adalah takdir yang tidak bisa kita ubah. Tapi, kalo kamu diem aja kek gitu, sama aja kamu bunuh diri!" serunya tepat di depan wajahku seraya menarik kerah baju seragam, membuatku semakin terlonjak kaget. Aku hanya bisa menahan napas selama beberapa detik.
"Kira, aku juga nggak mau kamu mati secepat itu. Tapi, aku lebih nggak terima kalo kamu mati dibunuh tanpa perlawanan," lirihnya. Kedua tangannya perlahan menurunkan cengkramannya. "Kita harus berusaha, walaupun nggak akan pernah bisa menghindari mati. Dan aku tau gimana caranya."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Crimson Case
Misterio / Suspenso[High School of Mystery 2] "Kebenaran harus ditegakkan apa pun resikonya." Kehidupan Kevin dan teman-temannya kembali terusik dengan kehadiran kasus pembunuhan di sekolah mereka. Dimulai dari mayat seorang siswi yang ditemukan tewas kehabisan darah...