"Teman-teman, lihat ini!" seru Riyan, menghentikan perdebatan kami berdua. "Bukankah ini bom?! Waktunya tinggal dua setengah menit lagi!"
"Apa?!"
"Ayolah, Steve. Izinkan aku membuka pintu ini atau kita semua akan mati. Biarkan saja jika kakiku harus patah, atau yang lebih dari itu," pintaku. Pemuda itu tampak berpikir selama beberapa saat, seolah tidak sadar jika bom itu bisa menghabisi nyawanya dalam dua menit.
"Baiklah, sekarang satu-satunya cara agar bisa selamat adalah ...." Mataku melebar. Akhirnya, dia mengerti jalan pikiranku yang terlalu pendek ini. Aku rasa dia benar-benar akan mendukungku. "... menjinakkan bom itu!" serunya.
"Tunggu, apa katamu?!" Aku benar-benar tidak percaya. Bagaimana bisa seorang laki-laki dengan IQ seratus delapan puluh sembilan yang tentu tahu jika salah memotong kabel dapat berakibat fatal menyuruh kami menjinakkan bomnya?
"Iya, kau tidak salah dengar," jawabnya lalu berjalan mendekati Riyan yang masih mengamati bom itu. Aku menutup mulut tidak percaya. Sejak kapan dia menjadi segila ini, mengorbankan nyawanya demi melakukan hal gila? Oh, bukan hanya itu, tapi nyawa kami.
"Tunggu, Steve. Aku tahu kau genius. Tapi nekad mencoba menjinakkan ini adalah tindakan gila. Kita bukan ahli dalam hal ini. Jika salah memotong kabel, akibatnya akan sangat fatal." Aku menarik lengan laki-laki itu, menahannya. Mencoba mengingatkan tentang bahaya itu.
"Aku tahu itu, Kira. Jika kita tetap membiarkannya, sebagian sekolah kita. Walaupun kita gagal, setidaknya kita sudah berusaha menyelamatkan nyawa orang lain. Jika kita lari, itu artinya kita mengorbankan nyawa orang lain. Jadi, mana yang akan kau pilih? Mati demi orang lain, atau menyelamatkan diri dengan membunuh orang lain?" tanyanya. Aku hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Jika kau tidak ingin mati, pergilah. Tinggalkan saja aku di sini. Aku tidak pernah memaksamu. Hanya saja, aku tidak ingin melihatmu terluka jika tetap memaksa keluar," katanya sambil memegang kedua bahuku dengan lembut. Memang selama ini aku selalu menaruh curiga padanya. Tapi, untuk kali ini ... aku tidak ingin dia mengorbankan nyawa demi suatu hal gila.
"Steve, aku tidak ingin kau mati ... sendirian," lirihku. Sebuah senyuman kembali mengembang di wajahnya.
"Aku tahu kau akan melakukan hal yang sama denganku, Kira. Terima kasih," ungkapnya. Aku mengangguk samar, tanpa ekspresi berarti.
"Ayo cepat! Tinggal satu menit lagi!" seru Riyan.
"Let's do it," ucapnya sembari mengambil sebuah gunting yang seolah sengaja diletakkan di tempat Riyan menemukan bom.
"Kak Edward, ada petunjuk," kata Riyan sembari menyerahkan selembar kertas yang dia temukan entah dimana. Jika kejadiannya sampai seperti ini, itu artinya pelaku sengaja ingin menantang kami untuk melakukan hal gila.
"Potong salah satu kabel dengan warna dasar. Rosaline, mungkin dia akan membantu kalian. Good luck." Begitulah isi dari petunjuk yang ditemukan Riyan. Argh! Apa maksudnya ini? Rosaline, korban pertama akan membantu kami?
"Aku tahu, pasti yang merah! Rosaline mirip seperti bunga mawar dalam bahasa Inggris," terang Riyan.
"Jika begitu, bagaiamana kalau yang kuning? Mawar ada juga yang berwarna kuning," sanggahku. Riyan kembali berpikir mana yang mungkin benar.
"Ayo cepat putuskan! Waktunya tinggal sepuluh detik lagi!" Steve berseru mengingatkan kami jika timer-nya tidak memberi banyak kesempatan.
"Oh, tidak kita akan mati!" teriak Riyan.
Delapan, tujuh ....
"Potong saja sesukamu, Steve!" aku ikut berteriak panik dengan mata tertutup rapat, meskipun aku sudah meyakinkan dirku jika ini adalah cara terbaik.
Lima ....
Empat ....
Tiga ....
Dua ....
Satu ....
“Timer-nya ... berhenti ...," ucap Steve dengan napas terengah, yang akhirnya membuatku sadar jika tidak terjadi ledakan apa-apa. Aku memberanikan diri untuk membuka mata, menatap tidak percaya pada timer yang berhenti tepat ketika waktu tersisa dua detik lagi. Oh, syukurlah. Tebakanku tidak salah, Steve memang memotong kabel berwarna kuning.
"Ergh ... Kak Kira, kenapa kita tiba-tiba ...." Riyan berkata demikian sembari menoleh ke arah kedua tanganku. Aku ikut melakukan hal yang sama, menemukan satu kesamaan. Ternyata kami benar-benar tidak sadar jika sejak tadi kami berpegangan pada lengan Steve erat-erat.
"Maaf, kami tidak bermaksud ...," ucap kami secara bersamaan seraya melapaskan lengannya.
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Satu-satunya masalah kita yang tersisa sekarang adalah bagaimana cara keluar dari sini," sahutnya. "Semoga saja ada sesuatu yang bisa kita gunakan untuk membuka pintu."
------x---x-----
Pukul lima sore, pintu gudang penyimpanan akhirnya terbuka. Setelah empat puluh lima menit terjebak dalam situasi menegangkan, kami akhirnya bisa keluar dari ruangan pengap itu dengan bantuan sebuah ... benda apa ya tadi? Ah sudahlah. Napas kami tersengal setelah berlari menuju ruang UKS, mecari yang lainnya. Anehnya, yang kami temukan justru beberapa mobil polisi dan ambulans.
"Apa ... apa yang ... baru saja terjadi?" tanya Riyan dengan napas yang masih tidak teratur.
"Aku harap ... aku harap bukan ... bukan hal buruk," sahutku seraya berpegangan pada dinding ruang UKS.
"Tidak ..., sepertinya hal buruk telah terjadi," kata Steve tanpa intonasi.
Hening beberapa saat. Menyisakan suara napas kami yang masih terdengar menderu. Ayolah, yang benar saja. Kami baru saja berhadapan dengan situasi antara hidup dan mati. Sekarang kami harus bertemu dengan hal buruk lagi? Apakah pelakunya memang sekejam itu hingga tidak mau memberi kami waktu istirahat?
"Ternyata kalian di sini." Mia berlari menghampiri kami. "Aku pikir suatu hal buruk terjadi pada kalian juga."
"Hal buruk memang terjadi pada kami," kata Riyan.
"Apa?! Lalu, apa kalian terluka?" tanya Mia khawatir. Aku menggeleng lemah.
"Kami tidak apa-apa. Bisa kau jelaskan pada kami apa yang terjadi sebenarnya?" tanyaku penasaran.
"Ceritanya panjang, aku tidak bsia menjelaskannya sekarang." Guratan-guratan kepanikan terlihat dengan sangat jelas di wajahnya.
"Katakan saja apa yang terjadi, Kak Mia," pinta Riyan yang tak kalah penasaran.
"Iya, katakan saja," kataku menimpali. Aku ini memang orang yang sangat tidak suka dibuat penasaran.
"Kita sudah terlambat. Semua sudah berakhir, teman-teman," lirih Mia dengan wajah tertunduk dalam.
"Terlambat? Apa maksudmu? Bisa kau perjelas lagi?" tanyaku seraya mengguncangkan bahu gadis itu.
"Kita gagal menghentikan pelaku. Dengan kata lain, semuanya akan berakhir mengerikan," jawabnya. Lidahku seketika terasa kelu. Kakiku terasa melemah. Bagaimana bisa secepat ini?
"Apa semuanya memang benar-benar akan berakhir mengerikan?" tanyaku frustasi.
*
Yo, minnasan!
Inilah akhir dari perjuangan mereka (eh, bukan woi). Maksudnya, inilah awal dari semua thrilling scene yang akan muncul di chapter berikutnya. Gimana? Apakah ada yang deg-degan?
Makin deket ending, makin banyak scene-scene kek gitu. Jadi, siep-siep aja.
Menurut kalian, apa maksudnya 'berakhir mengerikan'? Jawab di komen ya, please jangan dikacangin. Ichi nggak suka kacang.
Atau kalo kalian punya spekulasi nih, misalnya kalian mikir kalo pelakunya adalah Kevin sendiri sebagai main character, atau mungkin Kira karena dia nggak suka sama korban pertama. Kasi tau dong lewat DM. Ichi penasaran apakah plot twist-nya bisa kalian tebak atau nggak
Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] High School of Mystery: Crimson Case
غموض / إثارة[High School of Mystery 2] "Kebenaran harus ditegakkan apa pun resikonya." Kehidupan Kevin dan teman-temannya kembali terusik dengan kehadiran kasus pembunuhan di sekolah mereka. Dimulai dari mayat seorang siswi yang ditemukan tewas kehabisan darah...