Marhaen Merajah Puisi

115 5 0
                                    

Seumpama nanti udara alergi bersuaka di selasar alveolus sebab paru-paru disesaki rombeng sejak seminggu dikudap koloni virus maka berkenanlah tuan menjabat saksi atas bapak hamba yang dadanya disarati nyeri terpanggang sisa-sosa dagingnya mengkhatam bumi sebab penghabisan usia adalah perihal ibadah bersetia memikul perut istri dan anak yang dicamil asam lambung memastikan lapar tak menghibah kafan hingga bulan depan supaya kelak semisal sempat berbiak cucu pada petilasan berbata subur sengsaranya si cicit dapat mengkhatami babad buyut yang maha fakir dalam membibit jarak dari si maut di tengah wabah yang keranjingan menyelendupkan sepi ke dalam perut.
     
Semisal kelak ibu menyusul bapak restui lambung bercerai dari kenyang sebab pandemi candu menyunat upah sang rodi maka ikhlaslah puan mempledoi ibu hamba yang hobinya sarapan berlauk angin supaya gawai bisa dibeli sambil menghibah sesaji biar bangku sekolah anaknya urung dipersekusi kala tiap jampi impoten menjawab kapan papan tulis dan meja rujuk kepada guru juga siswa. Bagi ibu cukup ia saja yang menjelma pengantin untuk kemelararan biar si cucu yang mendaras hikayatnya kerongkongannya tak dijajah maki sebab si moyang sekadar berkempes perut tak restui nalar lagi juang berhilir susut pada wabah yang fobia terhadap surut.
     
Seandainya hari esok kepunahan pikun mengetuk gubuk kami maka sudilah tuan dan puan menshahihkan nanti bahwa wabah sekadar kemelaratan yang bersolek dan mengganti wajah sedari dulu rutin menjenguk kami sebagai karib. Sebab itulah hidup selalu dikhusyuki proletar sambil menyuap anak dan istri juga umat Marhaen yang mengharamkan anaknya bercerai dari sekolah. Kabarkan bahwa ahli melarat menolak menutup riwayat sambil kedua tangannya khusyuk di pasar mengangkat beban, asing sepuluh jarinya terhadap upacara mementaskan kesengsaraan agar memanen belas kasihan.
    
     
     
     
      
      
1/6/2021

Abad Inersia RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang