Negara ini katanya Berketuhanan Yang Maha Esa, namun hari ini masih banyak orang susah menemui Tuhannya, ketakutan jiwa dan raganya diluluhlantakkan. Acap ditemui agama yang didera dan dipinggirkan. Jamak dijumpai tempat ibadah untuk memuji Tuhannya yang ditolak berdiri, digusur atas nama ketertiban. Sering didengar kitab-kitab mereka yang memuji Tuhannya dicela, sering terindera maki terhadap nabi dan pemimpin rohaninya. Padahal sesaudara, satu Indonesia. Entah ke mana negara saat amoral dan laku tak bernorma beranak pinak.
Bangsa ini klaimnya berkemanusiaan yang adil dan beradab. Tapi masih saja ditemui kemanusiaan yang dibedil dan dibiadabkan. Hukum mencincang yang lemah, menjadi boneka yang menggenggam belati penguasa agar semua bungkam dan mati dalam diam. Adil hanya bual. Usut dosa masa lalu hanya rencana kusut. Marah dan buas terhadap rakyat sendiri, ramah dan berbelas kasih terhadap pencuri yang telah menyuntikkan pundi-pundi. Kerangkeng besi dirakit ulang penindasan direstui sambil mereka bersulang, atas nama ketertiban katanya, atas nama penumpasan makar dalihnya. Adab patah berganti biadab.
Negeri ini ujarnya bersatu dalam Indonesia. Tapi telinga hampir saja tuli mendengar orang-orang saling memaki karena sekadar berbeda pilihan pemimpin tertinggi. Mata melihat banyak yang saling mendengki karena berbeda bentuk raga dan asal tanah kelahiran, terkotak-kotak. Banyak menjadikan agama menjadi syarat bersaudara. Jamak pulu asal suka diwajibkan dalam sebuah ukhuwah. Saling mencela ras dan etnosentris mengalir di sekujur pembuluh darah. Entah ke mana negara saat persatuan telah robek diganti persabungan Indonesia.
Tanah airku ini bilangnya kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Namun apalah daya yang sehari-hari dirasakan adalah kemelaratan rakyat di bawah para dewan wakilnya yang entah sedang sibuk apa di gedung parlemen sana. Demokrasi menjelma democrazy. Politisi dan partai sibuk menikam lawan. Politik menjadi kubangan keruh dan kotor. Bagi-bagi jabatan menjadi keharusan selepas hajat Pemilu. Amnesia terhadap janji kampanye, kepada rakyat yang mengantarkannya merebut kursi diucapkan selamat bersengsara ria.
Ah keadilan sosial hanya utopis saja. Adil untuk para penguasa, bedil untuk kami kaum kecil.
XXIII/I/MMXX
