Televisi di sebuah republik menyuguhkan sinema api yang membutakan mata, membakar moral, merusak jiwa hingga sedalam-dalamnya. Menjajakan sampah kepada generasi muda. Mendermakan racun kepada orang-orang yang mencari hiburan dan pengetahuan. Menawarkan ragam pikiran dan tindakan amoral kepada segenap insan. Sinema api lahir karena makhluk rakus yang peduli setan dengan moral memberhalakan rating, menyembahnya dengan begitu khidmat. Di tangan berhala itu terdapat takdir yang menentukan sebuah sinema api bakal abadi atau fana.
Sinema api yang tengik. Goyangan erotis dipamerkan mengiringi musik penuli telinga, norma menguap entah ke mana. Cumbu mencumbu meriah dipertontonkan, adab patah berganti biadab, norma dikubur dalam-dalam. Ghibah dan ghibah yang busuk menghancurkan privasi dan kehidupan. Saluran lain menghidangkan pergulatan kata dan aksi konyol debat kusir antar politisi yang mereka anggap keren dan kritis padahal nol substansi.
Bagi para budak sinema api mereka berdalih, ini kesukaan kami, kalau tidak suka ya tinggal ganti. Racun bertahta di nalar. Benar-benar substansi televisi telah berganti. Hiburan dan informasi dijadikan jubah. Tontonan bercumbu, goyangan erotis, ghibah nasional, sandiwara amoral dikatakan menghibur padahal membuat jiwa dan etika hancur. Debat kusir politisi dibilang berinformasi padahal nirsubtansi dan ajang adu emosi.
Dalih lain bilang selama sinema itu tetap tayang bukankah tidak masalah karena KPI setuju-setuju saja. Beberapa bilang KPI berada di barisan pemuja sinema api, yang lain berujar, "Bukankah selama ini mereka hanya mitos?"
XXII/I/MMXX
![](https://img.wattpad.com/cover/210777007-288-k36327.jpg)