Satu-satunya suguhan lebaran kali ini adalah air mata keluarga kami yang berpuasa dari rasa suka. Sabuk di pinggang lagi-lagi dililit erat agar kami tak tamat oleh rasa lapar yang kerap menghebat.
Bapak kami buruh pabrik, menghamba lama menggemukkan pemilik laba dalam hari-hari outsourcing penuh dera. Kemarin di-PHK.
Semenjak itu air mata menjelma mata air. Mengisi seiisi rumah termasuk pula dapur, tak luput loyang demi loyang. PHK nihil pesangon, dipaksa menghuni rumah berkarib lapar sementara iba penguasa sebatas utopia.
Dan air mata kami jugalah mata air duka manusia Indonesia, dipecundangi di bumi sendiri.
Kue lebaran kali ini beberapa loyang air mata. Bukan karena ibu kami tak pandai memasak. Namun ia kini tengah mengerang sakit sementara BPJS melangit.
Banjir air mata di rumah, mengisi pula dapur berikut tungku dan oven, terendam. Air mata dinanak oleh keduanya menjadi panganan untuk kami kelak.
Dan air mata kami suguhkan ke banyak orang agar kelak istana berniat pula mencicipnya dan membuat insyaf penghuninya.
XXVI/V/MMXX