Part 12 •• Belajar kecewa

21 6 0
                                    

"Kak Gita pulang sama Arsene? Emang kalian saling kenal?"

Gadis cantik semampai itu menghentikan langkahnya saat Biru bertanya di anak tangga rumahnya, Gita tebak pasti Biru melihat Arsene yang mengantarnya tadi. Padahal Gita sudah diam-diam masuk rumah agar tak ketahuan adiknya yang merupakan teman dekat Arsene tapi ternyata Biru lihat dan kini sedang menatapnya dengan pandangan heran.

"Baru kenal."

Biru menuruni tangga sementara Gita menaiki tangga. "Oh, gue lihat kalian udah akrab aja."

"Kita gak ada apa-apa."

"Kalau ada apa-apa juga gak apa, emang gue siapa?" Biru menuruni tangga dan berlalu keluar rumah sehingga Gita bisa bernapas lega.

Mau tahu apa yang Gita selalu khawatirkan? Hanya satu, Gita khawatir Biru muram karenanya. Walau kenyataannya mereka tak akrab bahkan hanya untuk berbincang kecil saja mereka canggung, setidaknya membuat Biru baik-baik saja sudah membuat Gita lega dan bahagia.

Karena Gita sadar, seharusnya dia tidak pernah ada di kehidupan adiknya.

•°•°•

"Tadi aku lihat Arsene anterin kakakku," ujar Biru pada Jeedan, keduanya sedang berada di taman dekat lapangan komplek perumahan Biru.

"Kamu punya kakak? Kok aku gak pernah lihat?"

Iya mereka memutuskan untuk memakai Aku-kamu karena sudah resmi pacaran---walaupun Biru masih agak geli.

Biru terhenyak sebentar. "Kakak tiri, jarang di rumah."

Jeedan yang menyadari perubahan ekspresi wajah ceweknya jadi diam. "Mau jajan gak?"

"Males."

Mampus! Jeedan merutuk. "Beli es krim atau balon?"

Biru nampak berfikir sejenak. "Balon! Tapi maunya semua warna ehh jangan warna hijau deng."

"Kenapa gitu?" tanya Jeedan seraya berdiri, dia melepas jaket lalu memberikannya pada Biru yang hanya memakai kaos pendek.

"Takut meletus."

"Iya nggak lah kocak!"

"Kan di lagu, tuh balon hijaunya meletus."

"Terserah kamu lah dek!" Jeedan geleng-geleng kepala kemudian berlari kecil ke pedagang balon yang mangkal di depan taman, cowok itu memborong semua balon di sana sesuai apa yang diminta Biru, Jeedan tidak membeli balon warna hijau.

"Nih, dipegang ya erat-erat," ucap Jeedan dengan nada jahil ---menyinggung lagu anak-anak yang sedari tadi dibahas gadisnya itu--- sembari menyerahkan seikat balon pada Biru.

"Tapi Kak Jeedan, balonnya di lagu kan cuma lima ini lebih."

Jeedan menuntun Biru untuk berjalan-jalan mengelilingi taman. "Yaudah gak apa, lebih banyak lebih baik."

"Di lagu katanya, merah, kuning, kelabu, merah muda, dan Biru ...." Gadis imut itu bersenandung riang seraya menatap balon-balonnya yang tertiup-tiup angin. "Tapii kok di sini gak ada warna Biru?"

"Kan Biru-nya kamu." Jeedan mencubit hidung gadis di sampingnya.

"Oh iya!" Biru cengengesan. "Kalau Kak Jeedan suka warna apa? Aku, sih warna kuning soalnya bersinar kayak hati aku pas di samping Kak Jeedan."

Jeedan tertawa terbahak-bahak melihat ketidakwarasan Biru. "Aku suka warna Biru."

Biru tertawa ringan karena tahu maksud perkataan Jeedan, berikutnya keduanya kembali berjalan sembari mengobrol kecil.

•°•°•

Di waktu yang sama dengan tempat berbeda, Arsene merunduk pada ponselnya, yang membuat semua orang di jalan menoleh adalah karena kini cowok bertopi terbalik itu duduk di atas pagar semen depan rumah kosong yang sudah nampak cocok menjadi tempat syuting film horor.

Di sampingnya, ada dua gelas Pop ice beda rasa yang sudah agak lama dianggurkan. Tak lama, gadis cantik berbadan semampai menghampirinya dan ikut naik untuk duduk di samping cowok itu.

"Sosis bakarnya tutup."

Jeedan menoleh mendengar ucapan gadis berjaket bomber hitam kebesaran di sampingnya.

"Iya udah lah, lagian masa gue sosis makan sosis--- Aw! Anjir! Kayaknya yang namanya Regita emang hobi nyubit ya?!"

"Lagian ngomongnya ...." Gita terdiam karena bingung untuk melanjutkan apa.

"Apa?" Jeedan menantang membuat Gita hanya berdecak. Cowok itu menoleh pada tangan Gita yang sedang memainkan selembar uang kertas yang sengaja dilipat-lipat. "Jadi lo gak beli apa-apa?"

"Menurut lo?"

"Seharusnya lo beli apa kek, gorengan gitu," protes Arsene agak sewot.

"Gue gak lagi pengen makan gorengan!"

"Iya udah mie ayam," usul Arsene.

"Gak ada ayamnya pada kena virus Corona."

"Lah bego si lo!" Arsene menjitak kening Gita.

Gita hanya berdecak, lalu susananya kembali sepi. Tak ada yang berbicara antara Gita maupun Arsene, ada banyak hal yang ingin Gita katakan---tentang hidupnya, sekolahnya bahkan rasanya namun ia tak cukup berani bagaimana pun dirinya baru mengenal Arsene sejak kemarin sore.

"Eh guys ada yang pacaran!"

Gita dan Arsene kompak menoleh pada seorang bocah dekil dengan beberapa bocah lainnya yang sedang bermain sepeda ketinggian di sekitar sana.

"Ciyeee ...." Mereka bersorak menggoda.

"Yeuu bocah apaan dah?" Arsene yang menanggapi.

"Pajak jadiannya dong!" Salah satu bocah itu menyeletuk.

Bocah lainnya ikut nimbrung, "bener, tuh! Traktir kek bang."

"Gak ada yang jadiaaan." Arsene tampak kesal.

"Halah bilang aja kere!"

"Huuuu ...." Bocah-bocah itu berseru sembari menjauh dari Arsene dan Gita.

"Sial!" umpat Arsene dengan menyeruput Pop ice-nya.

"Anak kecil kok diladenin," ujar Gita yang sedari tadi diam.

"Ini, nih penyebab gue gak mau punya adek, ngeselin!"

"Kayak elo-nya."

"Pengin ngumpat sih tapi lo lebih tua dari gue euy--- adoh! Adoohhh! Iya-iya ampuuun! Canda doang elaaaahhh!" Arsene maraung-raung saat Gita menonjokinya dengan kekuatan penuh.

Di sela-sela itu, Arsene teringat sesuatu. Katanya, tadi Jeedan dan Biru sedang jalan-jalan bersama. Jadi, sekarang bagaimana? Apa benar Arsene di pertemukan dengan Regita dalam maksud lain? Arsene tahu semesta senang bercanda karena hatinya tidak dapat berbohong bahwa kini di dalamnya hanya ada satu nama tercetak jelas, Nama Faradisa Biru.

Dari sini, Arsene mulai harus belajar menelan kecewa dan menyambut duka yang datang menjemputnya.

•°•°•

Tbc.
Aku padamu bang Arsene!

Ethereal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang