Ruangan minimalis yang terbuat dari dinding kayu. Semua perabotan bernuansa klasik dan berkelas di jamannya. Lemari, meja, kursi, piring dan gelas juga sangat unik. Di semua titik punya nilai sejarah yang terpajang. Lukisan yang memiliki arti mendalam. Semua punya arti tersendiri dan tidak termakan oleh waktu.
Bukan sebuah kafe yang sering di kunjungi anak remaja sekolah, langganannya ada orang-orang yang tahu apa arti seni bernilai tinggi. Menikmati sajian makanan sederhana yang ada. Setiap restoran pasti punya menu andalan, sama seperti kafe tersebut.
Sebagian besar pengunjung adalah lelaki. Menikmati segelas kopi yang di buat secara manual oleh barista handal. Membuat kopi dengan cara tubruk menghasilkan seduhan yang berminyak, tebal dan beraroma. Menggunakan kopi jenis premium dan di hidangkan dengan kematangan sempurna.
Dua jam duduk di sana akhirnya hujan mulai redah. Capta menoleh pelan menyadari ada sosok perempuan yang baru saja turun kemudian berhenti di anak tangga menatapnya. James yang bingung akhirnya mengikuti arah mata Capta.
Perempuan itu tersenyum kecil, berjalan menarik kursi hadapan Capta dan duduk di samping James. Melipat tangannya di dada menatap Capta lekat.
"Waw," Kata Anin takjub.
Capta menyesap kopi terakhirnya. Meletakkan gelas hati-hati di piring kecil. Menatap James sekilas lalu membalas tatapan Anin. Banyak perubahan di perempuan itu setelah delapan tahun. Lebih modis, berkelas dan sexy. Anin lebih cantik dari terakhir Capta bertemu. Sosok pemandu sorak yang selalu menjadi rival di sekolahnya.
"Apa kabar?"
"Kapan lo pulang?" Anin mengabaikan pertanyaan Capta. Pertanyaan seperti itu hanya basa-basi yang tidak perlu di jawab. Anin rasa adanya dia duduk saat ini sudah terlihat bahwa ia baik-baik saja.
"Dua bulan yang lalu,"
Anin mengangguk. Memilih diam sejenak merasakan bahwa lelaki di hadapannya ini berbeda. Tidak ada semangat dalam ia berbicara, setiap hembusan nafas yang Anin dengar terasa menyakitkan. Capta berubah, tampan? Dari dulu lelaki itu sudah tampan. Kepribadiannya yang lebih dingin bisa Anin rasakan.
"Nggak berantem lo berdua?" Katanya membuat keheningan sesaat menjadi canggung. "Kan dulu kalau ketemu pasti berantem, aneh aja lo berdua bisa duduk diam seperti ini dalam waktu berjam-jam. Kesambet petir lo berdua?"
James mendesah pelan, mengeluarkan rokoknya yang langsung di buang oleh Anin tanpa dosa. James menatap perempuan itu dari samping.
"Telpon gue kalau lo butuh teman, karena gue tahu kalau gang satu SMA lo udah memecah belah ke belahan dunia," Anin tersenyum sambil memberikan kartu nama ke meja hadapan Capta. Ia berdiri menenteng tas branded miliknya.
Anin pergi, tidak lama tanpa bicara seperti pertemuan awal. James bangkit dari kursi menyusul Anin. Capta mendesah pelan. Memilih duduk sebentar lagi menikmati malam.
**
Setelah kepulangannya, Capta memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen. Ia tidak nyaman ada orang lain di sekitarnya meskipun keluarganya sendiri. Meski begitu, Mama sering berkunjung untuk memasak ataupun mengisi dapur Capta dengan berbagai macam makanan.
Capta sudah rapih dengan kemejanya bersiap berangkat kerja. Ia memakai jaket sambil menatap satu foto yang ia pajang di dinding kamarnya. Foto yang di lukis oleh salah satu pelukis terkenal. Capta yang memintanya, dan foto itu nyaris sempurna. Semua lekuk wajahnya tidak ada cacat sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAPTAIN PICKA 2 [COMPLATE]
RomansaKamu boleh pergi, bukan jiwamu. Kamu boleh pergi, bukan nafasmu. Kamu boleh kembali, bersama semangatmu. Kamu boleh kembali, bersama aku jejakmu. Bagaimana seorang Captaines bangkit setelah kepergian sosok perempuan bernama Pickaella. 2020. (Update...