Part 5 Sandiwara Cinta

5.5K 264 7
                                    


💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖

Nabila kaget saat membuka mata sudah berada di kamar suaminya. Padahal yang dia ingat terakhir kali sedang rebahan di sofa ruang keluarga. Artinya ada yang telah memindahkan dirinya ke kamar.

Nabila bersungut memikirkannya. Tiba-tiba suara bariton membuyarkan lamunannya.

“Kenapa, kamu kaget sudah ada di kamar?” tanya Ravael yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar mandi.

Nabila tergagap dengan pertanyaan suaminya.

“Jadi Mas yang sudah memindahkanku ke kamar?” tanya Nabila dengan wajah serius.

“Jika iya, memangnya mengapa?  Jangan besar kepala dulu, aku memindahkanmu karena tidak ingin Oma curiga dengan pernikahan kita. Kau paham, Nabilong?” jawab Ravael.

“Terima kasih Mas sudah repot-repot membopongku. Tapi kumohon jangan panggil aku dengan sebutan Nabilong. Aku tidak suka,” ucap Nabila sambil memalingkan wajah.

Alih-alih meminta maaf pada istrinya, Ravael berlalu dengan mengangkat pundaknya. Ucapan Nabila tidak sedikitpun berpengaruh  baginya.

Nabila merasakan ada yang nyeri di dalam hatinya Mengetahui alasan Ravael membopong tubuhnya ke kamar. Bukan karena perasaan perduli atau rasa sayang seorang suami kepada istrinya. Melainkan demi mulusnya sandiwara di hadapan Oma.

Hati Nabila nelangsa memikirkan nasip pernikahannya.  Ditariknya nafas dan hembuskan perlahan, mencoba menghalau sesak di dada.

Setelah berhasil menetralisir rasa kecewa, Nabila segera bangkit menuju kamar mandi. Sudah menjadi kebiasaan gadis ini, dia akan selalu mandi sebelum salat Subuh.

Setelah beberapa saat, Nabila keluar dari kamar mandi dengan memakai gamis kaos tanpa kerudung. Dia sengaja keramas untuk menghilangkan rasa sakit kepala akibat kurang istirahat.

Rambutnya yang basah dililit dengan handuk kecil. Penampilan Nabila yang tanpa kerudung, membuat leher jenjangnya terlihat indah.

Ravael memandang takjup ke arah Nabila, inilah kali pertama dia melihat Nabila tanpa kerudung. Hanya sesaat pikirannya dibiarkan kacau, selebihnya dia memilih menyibukkan diri dengan berkas dan gawainya. Hingga suara Nabila membuyarkan konsentrasi yang sedang dibangunnya.

“Mas sudah salat Subuh? Jika belum mari salat berjamaah denganku,” ajak Nabila pada suaminya.

Ravael yang mendapat ajakan salat, kembali tergagap. Serba salah dia menjawab ajakan istrinya.

“Kau salat saja sendiri. Aku akan ke ruang kerjaku sebentar. Ada berkas penting yang diperlukan sekretarisku.” Ravael berlalu keluar kamar, meninggalkan Nabila yang menatapnya dengan perasaan aneh.

Hati kecil Nabila menjerit, menerima kenyataan suaminya sulit sekali diajak beribadah. Tetapi bukankah hidayah adalah semata-mata kuasa-Nya? Dan manusia hanyalah sebagai pelantara. Dia tidak boleh berkecil hati, semoga suatu saat Ravael mendapatkan hidayah.

Nabila akhirnya membentangkan sajadah dan memakai mukena untuk menghadapkan wajahnya kepada sang pemilik hidup. Usai salat, dibacanya Al Qur’an saku yang senantiasa ditaruh di tasnya.

Membaca lembar demi lembar sabda Allah Swt yang mampu menggetarkan hati bagi yang membacanya. Air mata Nabila pun meleleh, meresapi setiap kata demi kata makna yang terkandung.

Betapa dia sangat malu, acap kali kurang bersyukur dan masih sering mengeluh. Perasaan kecewa dengan takdir yang dijalaninya. Termasuk kecewa dengan sikap dingin suaminya.

Hal ini seakan menamparnya, tidak seharusnya dia berputus asa  menasehati suaminya. Padahal usaha yang dilakukan bisa jadi belum maksimal. Mulai saat ini dia bertekat akan selalu menasehati suaminya dengan kesabaran. Dan menyerahkan semuanya kepada Allah Swt, karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.

Deadline Cinta NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang