💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖“Sah!”
“Sah!”
“Sah!”
Gemuruh suara orang-orang yang ada di ruangan menyatakan sah ijab qobul yang diucapkan oleh Ravael. Penghulu kemudian membacakan doa pernikahan dan diaminkan oleh semuanya.
Nabila terhenyak dari lamunannya. Lengkap sudah sandiwara besar yang dilakukan oleh bosnya. Nabila menggigit bibir bawah dan ternyata terasa nyeri. Berati ijab qobul barusan adalah nyata, hati kecilnya berkata demikian.
Tak mengira dia akan berada pada pilihan hidup yang sulit seperti sekarang. Tetapi di dalam hati kecilnya tetap menerima ini sebagai sebuah takdir. Walaupun bosnya menganggap pernikahan ini hanya untuk sandiwara, tetapi tidak untuk. Nabila.
Dia berusaha menerima pernikahan ini, walaupun pada awalnya ada unsur keterpaksaan.
“Cium tangan suamimu, Bila,” ucap paman membuat dia mendongakkan wajah. Menatap wajah lelaki yang selalu bersikap dingin padanya. Nabila lalu mengulurkan tangan meraih tangan itu dan mencium takjim. Dua tangan itu akhirnya bertemu walau hanya sesaat karena Ravael buru-buru menarik kembali tangannya.
Kilatan mata sang Oma meolah memberi kode agar cucunya mencium pucuk kepala istrinya. Dengan ragu Ravael melakukannya tanpa rasa. Wajahnya tetap terlihat tenang dan datar, bertolak belakang dengan Nabila. Untuk pertama kali dalam hidupnya dicium oleh seorang lelaki, jelas membuat Nabila merasa gugup. Apalagi laki-laki ini sekarang berstatus seorang suami.
“Kemarilah cucu-cucu, Oma,” pinta Oma sambil membentangkan kedua tangan. Ravael kemudian beringsut mendekat kepada Omanya, begitu juga dengan Nabila.
Kedua pasangan yang baru menikah ini kemudian duduk bersimpuh di hadapan Nyonya besar keluarga Aji Wijaya.
“Kalian sudah mengikat janji suci. Maka berjanjilah kalian akan saling bersama dan menjaga, agar Oma kelak bisa pulang dengan tenang,” pinta Oma sambil menautkan tangan cucu kesayangannya dengan jemari Nabila.
“Oma, please jangan berkata begitu. Oma akan selalu bersamaku,” ucap Ravael.
“Oma bahagia, Sayang. Tolong bimbing Vael jadi suami yang baik,” kata Oma kepada Nabila dengan buliran air mata. Sekali lagi Nabila hanya mampu mengangguk tanda setuju.
Paman Nabila, Mang Dirman, Pak Pengulu dan semua pembantu Ravael yang ada di ruangan menatap haru pada mereka.
Acara selanjutnya adalah jamuan makan siang. Para pembantu sudah menyiapkan beraneka masakan. Mereka semua menyantap hidangan dengan lahap dan riang gembira di meja makan panjang yang melingkar.
Kehangatan di keluarga ini sangat terasa, seakan tiada sekat antara majikan dan pembantu. Begitulah Oma, orang yang sangat hangat kepada siapapun. Berbeda dengan cucunya, Ravael yang kaku dan dingin.
Jika yang lain menikmati hidangan makan siang dengan lahap, berbeda halnya dengan Nabila. Dia tidak dapat konsentrasi pada makanannya, terlalu banyak yang menjadi beban pikirannya.
Apa yang harus dia lakukan setelah ini? Apakah Ravael serius dengan ucapannya bahwa pernikahan ini hanya untuk 100 hari? Memikirkan semua itu membuat kepalanya berdenyut nyeri. Oma seakan menyadari kondisi Nabila.
“Nabila, kalau kau kurang enak badan, beristirahat saja di kamar, Sayang. Biar makananmu dibawakan oleh Mbok Nah. Vael bawa istrimu ke kamar,” ucap Oma.
Ravael yang mendengar perintah Omanya hanya dapat mematuhi seraya bangkit dari kursinya. Diraih lengan Nabila dan membimbingnya ke kamar. Dia harus berakting sempurna di hadapan Oma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline Cinta Nabila
RomanceNabila Puspitasari, gadis sholehah yang sudah yatim piatu terpaksa menerima tawaran pernikahan seratus hari dari bosnya. Setidaknya itu lebih baik dari pada nikah kontrak. Dia pasrah walaupun kelak harus diceraikan dalam waktu seratus hari. Tetapi b...