Part 10 Nabila Istriku

6.4K 338 20
                                    


Pov Ravael Rangga Aji

Awal melihat Nabila adalah saat dia tergesa memasuki ruang HRD dengan menenteng sebuah map. Dapat dipastikan dia sedang melamar pekerjaan di kantorku.

Gadis itu terlihat rapi dengan rok panjang, kemeja, serta kerudung. Di kantor ini memang tidak melarang karyawati memakai kerudung, asal penampilan mereka tetap menarik dan sopan.

Ruanganku yang dominan berdinding kaca memungkinkan dapat melihat luar dengan puas. Aku melihat gadis itu keluar dari ruang HRD dengan wajah sumringah.

Dia kemudian bersimpuh dan mencium lantai keramik. Dasar gadis aneh! Eh, tunggu, apa itu yang dinamakan ‘sudut syukur’ seperti penjelasan guru agama Islam saat masih sekolah dulu? Entahlah, sudah lama aku tidak membaca buku-buku seperti itu.

Genap satu bulan Nabila Puspitasari berkerja di kantorku. Posisinya hanya pengawai rendahan yaitu staf akunting. Sesekali waktu tidak sengaja aku melihatnya saat waktu istirahat. Selain pergi ke Musala, dia tidak pernah makan di kantin.

Perempuan itu selalu membawa bekal dari rumah. Mungkin penghematan, dasar orang miskin!

Tanpa sengaja sore itu aku yang sedang dalam perjalanan pulang melihat dia tergesa-gesa. Sedikit rasa penasaran membuatku membuntuttinya.

Perempuan itu menyeberang  jalan menuju  ke rumah sakit. Sedikit tanya di benakku, untuk apa dia ke rumah sakit? Tetapi egoku lebih dominan, segera memutar kemudi. Toh apa perduliku padanya, dia cuma karyawati biasa. Perduli amat dengan apapun kesulitannya, itu urusan dia!

Hingga pagi itu, Nabila datang terlambat dan kepala devisi langsung memarahinya. Aku mendengar semua teguran keras kepala devisi karena saat itu sedang melintas di sana. 

Dalam hati aku bersorak, sudah sepantasnya gadis itu mendapat teguran.

“Hei, Nabila! Ini perusahaan bukan milik nenek moyangmu! Baru satu bulan kamu kerja, sudah terlambat!” ucap kepala devisi memaki.

“Maaf, Pak. Aku harus membawa adek ke rumah sakit. Sakitnya kambuh lagi.”

“Ya sudah, tapi lain kali jangan terlambat lagi!”

“Baik,  Pak.”

Niat awal masuk lift untuk menuju lantai dasar segera kubatalkan. Tiba-tiba otakku mencair, girang rasanya menemukan ide. Segera kuputar haluan kaki ini kembali ke ruang kerja. Sambil menaikkan satu kaki di atas meja, aku memanggil Rina lewat sambungan telpon.

“Rina, ke ruanganku sekarang!”

Tidak sampai dua menit, perempuan modis itu sudah ada di hadapanku. Dia memang sekretarisku yang bisa diandalkan.

“Coba panggil staf akunting kita yang baru, suruh dia menghadapku sekarang juga!”

“Baik, Pak,” jawab Rina sambil membungkukkan badan meminta izin keluar ruanganku.

Aku tersenyum puas. Dengan semua yang aku miliki sekarang apa yang tidak mungkin.

Ide gila itu akhirnya kudapatkan. Oma terus saja mendesakku untuk segera menikah. Dia bahkan terus memaksa agar aku segera membawa calon istri ke rumah.

Masalahnya tidak akan serumit ini, andai Oma merestui hubunganku dengan Amera. Wanita terkasihku itu terang-terangan menolak Amera. Menurut Oma pacarku itu tidak memiliki sopan santun.

Ah, entahlah aku terjebak dalam situasi yang sulit. Antara tetap mempertahankan kekasihku atau menuruti permintaan Oma. Terlebih setelah dokter keluarga mengabarkan Oma ternyata mengidap penyakit tomor otak dan waktu hidupnya tidak lama lagi. Aku semakin bingung.

Deadline Cinta NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang