Part 9 Ravael Suamiku

6.1K 291 9
                                    


POV  Nabila Puspitasari

💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖

Aku bersyukur diterima bekerja di perusahaan ini meskipun hanya sebagai staf akunting. Pekerjaan ini sangat berarti, apalagi kondisi kesehataan Rafasha akhir-akhir ini sering menurun.

Aku sangat memerlukan uang untuk biaya berobat Rafasha. Setelah kedua orang tua kami meninggal, hanya dia keluargaku satu-satunya. Selama ini paman yang telah merawat kami.

Tetapi apalah daya beliau hanya seorang buruh harian tidak sanggup membiayai biaya pengobatan Rafasha.

Subuh tadi mendadak Rafasha kejang-kejang, maka tanpa berpikir panjang kami segera membawanya ke rumah sakit. Hingga pukul 07.00 pagi kondisi adikku baru stabil.

Alhasil hari ini aku terlambat ke kantor. Bukan salah kepala staf jika menegurku dengan tegas. Walaupun malu karena dimarahi di depan karyawan lain, itulah resiko dari kelalaianku  sendiri.

Setelah kusampaikan alasan terlambat hari ini, dia sedikit melunak. Walaupun memalukan, tetapi tidak mengapa asal jangan dipecat.

Setelah insiden memalukan karena dimarahi oleh kepala bagian, aku kembali kerutinitas kerja. Meskipun tak kupungkiri perasaan hari ini sedikit tidak enak. Mencoba menetralisir perasaan yang galau dengan beristirahat sejenak di Musala selepas salat Dzuhur karena memang masih jam istirahat.

Saat akan kembali ke tempat kerjaku, tiba-tiba Bu Rina, sekretaris Pak Ravael melambaikan tangan. Terkejut dan binggung rasanya, akhirnya aku menghampiri dia.

“Ada yang bisa kubantu, Bu?” tanyaku pada Bu Rina.

“Kamu dipanggil Pak Ravael, cepat nanti dia marah kalau kau lambat datang,” jawab Bu Rina sambil memberi kode agar aku segera masuk ruang kerja bos besar.

Aku menelan ludahku yang tiba-tiba terasa pahit. Ada apa lagi ini? Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Semoga saja dia tidak memecatku karena kesalahan tadi pagi.

“Baik, Bu.” Hanya itu yang mampu kuucapkan. Kemudian dengan badan yang gemetar aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Lelaki itu duduk sambil satu kakinya dinaikkan di atas meja.

Baru kali ini aku bertatapan secara langsung dengan bos besar. Walaupun beberapa kali sempat berpapasan, tapi itu hanya sekilas saja. Mana berani aku memandangnya lebih.

Tatapan laki-laki itu bagai menguliti. Diperhatikannya aku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Jengah rasanya, walau jujur tidak kutolak pesonanya  mampu membius kaum hawa. Laki-laki di hadapanku ini memiliki badan yang atletis dengan kulit putih bersih. Sorot matanya tajam dan rahang yang kokoh. Sempurna memang, tapi rumor yang beredar dia pria yang sombong.

“Jadilah istriku untuk 100 hari, setelah itu kita pisah. Sebutkan berapa mahar yang kau minta!”

Deg!

Dada ini bak dihantam palu. Nyeri rasanya!

“Maksud Bapak apa ya?” jawabku tergagap.

“Oh, ternyata selain miskin, kau juga tuli. Kau tidak dengar apa yang kubilang tadi!” Gertaknya membuat nyaliku menciut.

Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Aku memang miskin, tetapi bukan berarti dia bisa semaunya menginjak-injak harga diri ini.

“Maksud Bapak nikah kontrak?” tanyaku memberanikan diri.

“Nah itu kau mengerti.”

Aku menelan saliva, tak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan. Tidak! Ini tidak benar, aku tak mau menikah kontrak karena itu tidak benar.

Deadline Cinta NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang