Terikat Takdir 3

15K 1.3K 33
                                    

Setelah menginap satu hari dirumah mertuanya, Abimana mengajak Arlita untuk menempati rumah laki-laki itu. Rumah Abimana lebih minimalis dibandingkan rumah orang tuanya. Tapi tak jauh berbeda dengan rumah orang tuanya, rumah Abimana pun di hiasi konsep pertanian indoor farming dengan banyak sayuran dan buah-buahan disekeliling rumahnya. Itu yang Arlita lihat sekilas, ketika turun dari mobil. Karena mereka pulang larut, Arlita tidak sempat berjalan-berjalan mengitari rumah Abimana.

"Kalau kamu ingin istirahat, kamu bisa menggunakan kamar tamu. Jika ingin minum atau merasa lapar, kamu bisa mengambilnya di kulkas. Anggap saja seperti di rumah sendiri. Dan kalau butuh apa-apa, kamu bisa panggil aku di kamar sebelah." jelas Abimana, setelah mengantar Arlita ke depan kamar.

"Baiklah." jawab Arlita singkat. Dia malas berbasa-basi dengan Abimana.

"Seperti janjiku sebelumnya, kita tidak akan tidur bersama, kecuali jika diantara kita sudah bisa menerima pernikahan ini. Tapi aku akan tetap bertanggung jawab dalam soal nafkah."

"Baiklah. Selain itu apa lagi? " jawab Arlita malas. Mulutnya sudah beberapa kali menguap. Pulau kapuk lebih menarik minatnya ketimbang mendengar ucapan Abimana.

"Aku cuma minta sama kamu, apapun yang terjadi dengan hidupku, kamu nggak usah ikut campur."

"Hanya itu?" Arlita menatap Abimana dengan bosan.

"Cukup hanya itu." jawab Abimana singkat.

"Oke, jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku izin pamit untuk tidur. Dan jangan khawatir aku bakal ikut campur urusan kamu, karena aku nggak tertarik untuk melibatkan diri dalam urusan hidupmu. Bertahan dipernikahan ini saja bagi aku sudah cukup pelik." ujar Arlita datar. Setelah itu dia meninggalkan Abimana yang terlihat kesal.

Abimana mengepalkan tangannya, menahan kekesalan. Harga dirinya merasa terusik dengan sikap Arlita yang tidak menghargainya, mengabaikannya, bahkan enggan menatapnya. Padahal selama ini, ia merasa sudah menjadi laki-laki yang paling menarik, karena secara face memiliki tingkat kegantengan diatas rata-rata. Hanya perempuan itu yang sok jual mahal, dan kesalnya perempuan itu adalah istrinya, yang terpaksa menikah dengan dirinya.

Setelah masuk kedalam kamar, Arlita tidak langsung berbaring seperti keinginannya tadi. Gadis itu berdiri ditepi jendela, dengan jendela dibiarkan terbuka. Menatap samping halaman rumah dengan perasaan sedih. Menghabiskan satu tahun dengan orang yang tidak bisa mencintai pasangannya, itu menyesakan. Karena akan banyak kesempatan yang hilang, padahal itu bisa diraihnya. Pernikahan dalam adat timur, pasti yang banyak disorot adalah perempuannya. Seberapa banyak apapun perempuan berkorban, pasti perempuan berada diposisi yang serba dilematis. Belum hadirnya anak, pasti akan dipertanyakan. Begitupun ketika penceraian terjadi, pasti yang disalahkan perempuan, karena tidak bisa memikat hati suami. Sedih bukan jika hidup dalam kungkungan masyarakat yang pandai menghakimi? Sedangkan kesalahan laki-laki selalu dianggap normal dan wajar.

Memikirkan hal itu, membuat hati Arlita perih. Ia tidak ingin seperti Ibu yang meninggalkan ayahnya, karena cinta tak kunjung hadir. Pernikahan mereka yang dipaksakan orang tua, menimbulkan keretakan dikemudian hari. Dan anak selalu jadi pihak yang dikorbankan. Arlita tidak ingin anaknya kelak mengalami nasib yang sama seperti yang pernah dialaminya. Hidup tanpa orang tua yang lengkap itu menyakitkan. Tidak ada tempat mengadu untuk membagi semua rasa sedih dan lelahnya. Disaat anak lain punya tempat berlindung, ia harus menantang dunia sendirian. Mengingat semua masalalu itu, membuat Arlita tergugu dalam tangis. Andai ayahnya masih ada, mungkin Arlita nggak bakal sesedih ini.

Jadi untuk apa pernikahan ini terjadi, jika luka dihatinya makin melebar? Karena ini bukan pernikahan yang diimpikannya.

****

Terikat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang