Terikat Takdir 7

13.6K 1.2K 16
                                    

"Menangislah." Abimana menarik kepala Arlita bersandar didadanya, dan laki-laki itu dengan lembut mengusap-usap kepala istrinya.

Arlita masih sesenggukan, dia tidak menolak perhatian Abimana. Justeru dia merasa nyaman, karena menemukan tempat bersandar yang membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Sikap Abimana, mengingatkan akan kelembutan ayahnya. Sosok yang selalu ada disaat ia sedang mengalami kesedihan yang luar biasa.

"Pasti hidupmu sudah cukup berat, menghadapi situasi seperti ini di masalalu. Berceritalah kepadaku, jika kamu merasa nggak kuat menghadapi segala masalah sendirian." Abimana mengusap lembut butiran airmata yang mengalir dipipi istrinya.

Sikap lembut Abimana membuat Arlita merasa canggung. Ia lebih suka Abimana bersikap seperti biasa, bukan perhatian seperti ini. Karena sikap lembut dan manis akan membuat dia jinak dan mempengaruhi suasana hatinya. Apalagi sosok seperti Abimana sangat mudah untuk dicintai, jika Arlita mau membuka hati. Abimana sangat manis, dengan kulit ekskotisnya. Dia terlihat dewasa, dan penyayang. Dia juga laki-laki yang sederhana, meski kalau Arlita lihat dari silsilah keluarganya, Abimana berasal dari keluarga yang cukup mapan.

Arlita melepaskan diri dari pelukan Abimana, ketika sudah merasa lega. Bebannya sudah sedikit berkurang.

"Kamu sudah merasa baikan?" tanya Abimana dengan sorot khawatir. Dia tidak suka melihat Arlita menangis. Lebih baik melihat istrinya marah-marah, karena itu sangat menggemaskan.

Arlita mengangguk. " Maaf sudah membuatmu khawatir." ujar Arlita merasa tidak nyaman.

"Jangan bicara seperti itu. Aku ini suami kamu, yang sudah sepantasnya selalu ada disaat sedih dan bahagia." Abimana menatap Arlita dengan lembut.

Tatapan Abimana dan kata-katanya yang manis membuat Arlita gelagapan. Ini tidak baik untuk pertahanan hatinya. Berada dalam ruang yang sama, masih dalam suasana pengantin baru dan juga sudah halal, rasanya sangat menyesakan, karena cinta belum hadir dari masing-masing pasangan.

Sebuah kekuatan yang entah datang dari mana, membuat Abimana memiliki kekuatan untuk menatap istrinya lebih intens. Laki-laki itu merangkum wajah Arlita. Wajah cantik yang tidak membosankan untuk dilihat. Mata bulatnya sangat indah, dipadu dengan alis hitam bertaut. Hidung mancungnya sangat pas, dan Abimana semakin mendekatkan wajahnya. Namun, sayang Arlita dengan cepat menghindar.

"Aku harus kembali ke dapur." ujar Arlita dengan gugup, dan ia buru-buru berdiri. Berlama-lama dekat Abimana akan tidak baik untuk kesehatan hatinya yang sedang membangun benteng yang kokoh agar tidak tergapai.

Ada sorot kecewa dalam tatapan Abimana, dan laki-laki itu hanya diam, tidak merespon ucapan Arlita. Ia sadar kalau dirinya tidak diinginkan.

Tanpa menunggu persetujuan Abimana, Arlita kembali kedapur untuk membantu Bik Cicih memasak.

"Maafkan atas sikap cengengku tadi, bikin Bibik jadi kerepotan seperti ini. Aku jadi merasa sebagai tamu yang tidak tahu diri." ungkap Arlita pada Bik Cicih.

"Ih, enggak atuh Eneng. Eneng itu sudah Bibik anggap seperti anak sendiri. Bibik paham banget dengan perasaan Eneng sekarang. Bibik aja kesal lihat kelakuan Jamilah yang tidak punya malu dan tidak merasa bersalah. Eneng harus sabar menghadapi sikap Jamilah, ya?"

Arlita hanya mengangguk. Ia tidak punya banyak kekuatan jika membicarakan sifat Ibunya yang buruk. Kalau anak-anak lain selalu sedih jika membicarakan Ibunya, saat lama tidak berjumpa, sedang ia sedih karena kelakuan Ibunya yang sulit untuk dimaafkan.

"Sekarang panggil si ujang kasepnya, dia pasti sudah lapar. Nanti pas Eneng makan, Bibik tinggal dulu ya, Bibik mau keluar sebentar."

"Lho kenapa nggak makan bareng, Bik?"

Terikat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang