Terikat Takdir 4

13.9K 1.2K 17
                                    

Arlita benar-benar merasa bersalah dengan sikapnya tadi pagi, sehingga Abimana setengah hari ini mengabaikannya. Laki-laki itu pura-pura sibuk membaca majalah agrobisnis tanpa sedikitpun menoleh kearahnya, yang dari tadi hilir mudik kayak cacing kepanasan, karena memikirkan cara meminta maaf. Jika Abimana terus mendiamkannya, akan seperti apa nanti hidupnya disini. Menjadi patung hidup atau istri pajangan. Itu jauh lebih membosankan.

Berpikir...berpikir...Arlita menggetok kepalanya kesal. Gengsinya terlalu tinggi kalau harus minta maaf sama laki-laki yang harus disebut suami. Rasanya belum rela, kecuali mereka menikah atas dasar cinta. Maka, ia akan rela minta maaf jika salah.

"Abimana..." akhirnya Arlita menurunkan egonya.

"Hm..." Jawab Abimana tanpa menoleh.

Arghhh...kenapa sikunyuk Abimana cuma merespon 'hm'...Arlita tambah kesal.

"Mulutmu kenapa, sariawan? " tanya Arlita jengkel.

"Bukan urusan kamu!" jawab Abimana datar dan dingin. Matanya tak sedikit pun beralih dari majalah yang sedang dibacanya. Membuat Arlita pingin merebut majalah yang sedang dibaca Abimana.

"Aku mau maaf atas kejadian tadi pagi. Dan sekalian aku mau minta izin untuk pulang kampung."

"Akan di maafkan, asal aku diikut sertakan untuk menemani kamu pulang."

"Kenapa harus itu yang jadi persyaratannya ? "

"Karena aku suami kamu, tentu saja harus tahu kampung dimana istri tinggal. Dan seorang suami yang baik, nggak bakal biarin istrinya bepergian sendirian. Apa kata orang nanti, pasangan yang baru menikah, tapi jalan sendiri-sendiri?"

"Alasan macam apa itu ? Bukannya kamu kemarin bilang, bahwa di antara kita dilarang ikut campur urusan masing-masing?" tanya Arlita sinis.

"Ya sudah, kalau kamu tidak mau mengikut sertakan aku, nanti saat uwakmu bertanya tentang kamu, akan aku bilang kalau kamu kabur dari rumah." ujar Abimana penuh kemenangan.

"Dasar laki-laki licik, penuh modus, bisanya cuma mengadu dan memanfaatkan peluang! " rutuk Arlita geram.

Abimana terkekeh senang. Melihat Arlita sudah kembali kemode semula. Jutek, galak dan sok jual mahal.

"Terserah kamu." akhirnya Arlita menyerah. Apalagi Abimana sudah membawa nama uwaknya, kalau beneran ia pergi sendiri dan uwaknya tahu pasti akan diceramahi sepanjang jalan kenangan.

'Tanggung jawab istri ketika sudah menikah itu, semua sudah ada di suaminya. Begitu pun surganya seorang istri ada dalam ridho suami.'

Suami seperti apa dulu yang harus menerima tulus pengabdiannya. Kalau suaminya macam Abimana, Arlita harus berpikir seribu kali. Masih butuh waktu, untuk mengetahui dia sebaik apa.

"Akhirnya aku bisa pulang kampung." ujar Abimana girang. Arlita mengabaikan kegirangan Abimana.

"Aku pulangnya mau naik kereta." usul Arlita.

"Aku nggak setuju. Lebih baik kita pesan Grabcar aja. Bawa mobil sendiri tentunya akan sangat melelahkan, belum kalau terjebak macet. Dan Pak Herman nggak bisa nganterin kita, karena dia lagi pulang kampung."

Kali ini Arlita tidak membantah apa yang dikatakan Abimana, yang penting ia bisa meluapkan segala kerinduan tentang kampung halamannya.

****

Mobil Grab yang akan membawanya dari Jakarta- Sukabumi terasa sangat membosankan. Diantara Arlita dan Abimana tidak terlibat percakapan sama sekali. Hanya sesekali Abimana menimpali obrolan sang supir. Sedang Arlita sibuk membaca artikel tentang:

Terikat TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang